| 11 hari sebelumnya |
Saat jam istirahat makan siang berlangsung, kami bertiga duduk di tribune lapangan basket indoor sekolah yang kosong. Kami jarang ke kantin karena baik aku, Bian, atau Canda lebih suka menghabiskan makan siang dengan tenang. Dan tribune ini adalah pilihan tepat.
"Kira-kira hari ini makan apa, ya?" gumam Canda tidak penting sambil menimbang-nimbang kotak bekalnya kelihatan lumayan berat. "Kayaknya banyak, nih. Pantesan Bunda bawain tiga sendok."
Canda membuka kotak bekal Hello Kitty-nya dan tersenyum sumringah ketika mendapati omelet keju dan nasi goreng kesukaannya—kesukaan kami bertiga—dalam porsi besar. Kemudian dia mengeluarkan tiga buah sendok dan dua di antaranya diangsurkan padaku dan Bian.
Bundanya Canda selalu begitu. Dia tahu ini makanan favorit kami bertiga, makanya dia membuat porsi untuk kami bertiga. Bunda memperlakukan aku dan Bian seperti dia memperlakukan Canda. Tidak pernah dibedakan.
Aku melupakan roti isi milikku karena masakan Bunda lebih menggiurkan.
Kami berdua makan dengan lahap sehingga hampir lupa dengan Bian yang duduk di sisi kiri Canda, memain-mainkan Sari Roti di tangannya yang belum dibuka.
"Bian nggak makan?" tanya Canda dengan mulut penuh.
Bian menggeleng-geleng kecil—tapi bukan untuk menjawab pertanyaan Canda. "Telan dulu makanannya baru ngomong," ucapnya.
Setelah mengunyah nasi goreng di mulutnya dan menelannya, Canda kembali bertanya, "Lo nggak makan?"
"Nggak lapar," jawab Bian sekenanya.
"Kok bisa? Padahal tadi lo bilang belum makan." Canda menyuap sesendok lagi ke mulutnya. Sementara dia berbicara dengan Bian, aku mengambil alih kotak bekalnya.
"Tiba-tiba aja nggak lapar."
Kedua alis Canda terangkat. "Yakiiin?"
Dia menyendok nasi goreng lagi, tapi kali ini dimainkannya di udara sebelum disodorkan pada Bian. "Pesawatnya mau mendarat, ngeeeeeng, buka mulut, Yan," kata Canda, seperti menyuapi anak umur lima tahun.
"Apaan sih, bocah banget lo, Nda," gerutu Bian, namun akhirnya membuka mulut juga dan membiarkan Canda menyuapinya.
"Anak pinter," ucap Canda bangga.
Bian memberengut. "Dasar bocah."
Setelah bekal Canda habis, aku bangkit dari tempat dudukku. "Cuci tangan dulu, ya," izinku pada keduanya. Canda tidak merespon karena sibuk menenggak air putihnya.
Saat hendak beranjak, Bian menahan tanganku—membuatku berhenti dan menoleh kepadanya. "Kenapa?"
"Jangan lama-lama, ya," ucap Bian pelan.
Bian ini kenapa, sih? Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu di kepalanya yang korslet. Oke, mungkin di kepalaku juga—karena setelah beranjak tanpa menghiraukan Bian, pipiku mulai memerah dan udara di sekitar mulai terasa sesak. Aku kesulitan bernapas.
Bekas sentuhan Bian di tanganku masih terasa hangat, maka aku mengurungkan niat untuk mencuci tangan. Sebagai gantinya, aku melangkah ke kelas dan mengirim pesan ke Canda untuk memberitahu aku pergi duluan ke kelas.
Selang beberapa detik kemudian, ponselku bergetar. Telepon dari Canda.
"Ih lo jahat! Katanya mau nemenin gue ke koperasi?!" Rengekan Canda terdengar jelas bahkan sebelum aku menempelkan ponsel ke telinga.
Tiba-tiba aku ingat janjiku tadi menemani Canda ke koperasi untuk membeli permen—karena jam pelajaran terakhir di kelasnya adalah Kimia dan dia butuh sesuatu yang membantunya agar tetap terjaga.
"Sorry, Nda, gue tiba-tiba pusing," aku berbohong. "Lo minta ditemenin Bian aja, ya?"
"Bian juga nggak mau, katanya pusing. Kok kalian pusingnya barengan?!" tanya Canda penuh selidik, seakan kami merencanakan sesuatu yang disembunyikan darinya.
Mendengar jawaban Canda, aku kembali tersenyum seperti orang bodoh yang otaknya korslet.
"Ya udah, gue temenin." Aku mengalah, membuat Canda di seberang sana bergumam bahagia. "Tapi ketemu di koperasi langsung, ya. Terus jangan ajak Bian."
"Sip!" sahut Canda semangat. "Sana lo, balik ke kelas, hus, hus," aku mendengarnya mengusir Bian.
Sambungan telepon terputus dan aku mematung beberapa saat di tempatku berdiri. Entah perasaan aneh apa yang kurasakan ini; tapi rasanya menyenangkan. Senyumku masih mengembang, dan mengingat lembut suara Bian berkata "jangan lama-lama" padaku tadi membuat jantungku berdegup kencang.
Aku tidak yakin akan bisa bersikap biasa saja pada Bian saat ini, makanya aku meminta Canda untuk tidak mengajaknya.
Tapi ketika jam digital di samping tempat tidurku menunjukkan pukul 11:11 malam nanti, aku akan berdoa semoga perasaan ini tidak mengubah persahabatan kami bertiga.
______
KAMU SEDANG MEMBACA
11:11
Short StoryIni cerita tentang seseorang yang berharap. Seseorang yang memejamkan mata dan membuat doa di tengah keheningan malam. Seseorang yang menanti keajaiban harapan dalam diam. Seseorang yang tidak berhenti percaya suatu saat pengharapannya jadi nyata. M...