| 8 hari sebelumnya |
Vashanda P: andin
Vashanda P: andin
Vashanda P: andin
Vashanda P: andin
Vashanda P: andinAku mengernyit begitu melihat notifikasi chat di ponselku. Sudah lewat pukul sepuluh, tidak biasanya Canda masih bangun.
andini melisya: Kenapa nda?
andini melisya: Tumben belum tidurVashanda P: gabisa tiduuur
Vashanda P: padahal udah cuci tangan cuci kaki sama gosok gigi:(andini melisya: Matiin lampu
andini melisya: Terus meremVashanda P: udah nyoba tadi
Vashanda P: tapi gabisa bisa"Dini."
Mendengar namaku dipanggil, aku mendongak. Tampak Papa sedang berdiri di ambang pintu kamarku yang terbuka sedikit, dasi yang awalnya tersimpul rapi di bawah kerah kemejanya kini dilonggarkan—khas Papa ketika baru pulang dari kantor.
"Iya, Pa?" Kuletakkan ponselku di meja kecil di samping tempat tidurku sembari mengalihkan fokus penuh kepada Papa.
"Kok belum tidur?"
"Dini belum ngantuk," jawabku. "Kenapa, Pa?" Aku balik bertanya. Biasanya, sepulang dari kantor, Papa akan langsung masuk ke ruang kerja atau kamar tidurnya. Kalau dia mampir ke kamar tidurku, artinya—
"Nggak, Papa cuma mau ngasih tahu kalau besok Papa ke Bangkok. Ada meeting dengan relasi di sana," ujarnya.
Benar. Artinya Papa mau pergi lagi.
Aku mengangguk-angguk kecil, seolah Papa pergi meninggalkanku adalah hal yang biasa—kenyataannya memang sudah biasa, tapi ada sebagian dari diriku yang menolak untuk terbiasa. Rasanya ada yang hilang setiap kali Papa pamit untuk pergi. "Berapa lama, Pa?"
"Cuma tiga hari, kok," jawab Papa sembari memasang senyum tanda meminta maaf. "Dini baik-baik ya di rumah."
Aku mengangguk kecil. "Papa juga hati-hati. Cepat pulang," ujarku. "Flight jam berapa? Mau Dini anter?"
"Jam 4 subuh, Din. Nggak usah, biar Papa sama Pak Mahmud aja." Papa bergerak maju, mengecup puncak kepalaku. "Papa balik ke kamar, ya. Dini tidurnya jangan kemaleman."
"Iya, Pa."
Papa berlalu setelah menutup pintu kamarku pelan. Aku menghela napas yang entah sejak kapan kutahan. Sejak Mama pergi, aku memang harus terbiasa dengan keadaan rumah yang seperti ini. Sepi. Kadang aku bertanya, untuk apa Papa membangun rumah sebesar ini kalau dirinya lebih sering menghabiskan waktu di kursi-kursi bisnis pesawat atau kamar-kamar hotel di kota atau bahkan negara berbeda?
Perhatianku kembali teralihkan ke ponsel yang sejak tadi kuabaikan melihat notifikasi chat dari Canda yang membanjiri layar utama.
Vashanda P: andin
Vashanda P: yah kok ga diread:(
Vashanda P: udah tidur ya?
Vashanda P: :(
Vashanda P: jahat ih
Vashanda P: gue ditinggal tidur
Vashanda P: andinn
Vashanda P: andin
Vashanda P: andin
Vashanda P: andin
Vashanda P: andin
Vashanda P: :(
Vashanda P: :;
Vashanda P: :(
Vashanda P: :(andini melisya: Apasi bocah
andini melisya: Tadi lagi ngomong sama papaVashanda P: oooh kirain ehehe:)
Vashanda P: boleh nelfon gak?Sebelum sempat kubalas chat Canda, layar ponselku menampilkan panggilan masuk. Dari Bian. Refleks aku melompat ke balkon, menyibak tirainya. Benar saja, mobil Bian sudah terparkir manis di depan pagar. Kaca jendelanya diturunkan setengah—seperti waktu itu.
Ragu-ragu, aku mengangkat telepon darinya. "H-halo?"
"Andin," sapa Bian di seberang. "Gue di depan rumah lo, nih."
"Iya, gue liat kok." Kemudian Bian mengarahkan pandanannya ke jendela kamarku. Mata kami bertemu, lalu dia melambaikan tangan.
"Keluar lagi yuk, Din?" ajaknya.
"Sorry, Yan, kayaknya gue nggak bisa keluar malam ini. Soalnya Papa lagi di rumah."
"Oh gitu," kata Bian. Kemudian diam sebentar sebelum mencetuskan ide yang lain, "Kalau gue masuk, boleh nggak?"
"Ah?" Aku sedikit kaget mendengarnya.
"Kalau nggak boleh juga nggak papa kok," tambah Bian buru-buru.
"Nggak, bukan begitu. Boleh, kok. Masuk aja," kataku cepat.
"Bener, ya? Gue turun nih." Bian memutuskan sambungan telepon. Dari jendela kamarku, kulihat Bian turun dari mobilnya.
Aku panik. Lantas berlari ke cermin, memeriksa tampilanku saat ini. Kularikan jemariku di sela-sela rambut, merapikannya sedikit. Setelah itu, aku bergegas turun ke ruang tamu untuk membukakan pintu untuk Bian.
"Siapa yang bertamu malem-malem gini?" tanya Bi Nur, pengurus rumah, saat aku menuruni tangga. Bi Nur tampaknya terbangun mendengar suara dari luar—kelihatan dari matanya yang tampak menyipit dari biasanya.
"Temen Dini, Bi," jawabku. "Bi Nur tidur aja lagi, biar Dini yang bukain pintu."
Bi Nur mengangguk. "Mau disiapin minum, Non?"
"Nggak usah, Bi. Nanti Dini aja." Aku lalu berderap ke ruang tamu.
"Lama banget bukainnya," adalah kata pertama Bian saat aku membuka pintu.
"Habis lo datengnya nggak bilang-bilang," jawabku setelah mempersilakannya masuk. "Mau di ruang tengah atau di sini aja?"
"Di sini aja deh," kata Bian sembari meletakkan buku-buku yang dibawanya ke atas meja ruang tamu.
"Mau belajar?"
Bian mengangguk. "Besok ulangan Kimia."
"Terus ngapain tadi ngajak keluar?"
"Sebenarnya mau minta ditemenin belajar doang, sih."
Aku mengernyit. "Kenapa nggak ajak Canda aja? Kan bisa sekalian belajar bareng."
"Nggak ah, mending sama lo," ujar Bian acuh tak acuh.
Sebelum sempat kutanggapi perkataannya, ponsel di tanganku berdering. "Eh panjang umur nih anak, baru aja diomongin," kataku, melihat nama Canda terpampang di layar. "Ha—"
"ANDIN! Chat gue kok dikacangin daritadi?!" sembur Canda segera sebelum aku sempat mengatakan 'halo'.
"Iya, ini baru mau dibales tapi lo-nya keburu nelfon duluan." Aku memberi alasan.
"Canda, ya?" tanya Bian yang duduk di sebelahku, mengalihkan sejenak perhatiannya dari buku yang baru saja dibukanya.
"Iya," jawabku. Lalu aku me-loudspeaker ponselku agar Bian juga dapat mendengar.
"Matiin aja telfonnya, Din," kata Bian. "Ganggu banget."
"Loh kok kayak ada suaranya Bian? Lo di mana, sih?"
"Di rumah kok," jawabku.
"Bohong, ish. Kalian dimana? Jahat banget nggak ngajak!" rengek Canda di seberang.
Bian lalu mengambil alih ponsel di tanganku. "Belajar, Nda, besok ulangan Kimia. Nggak lupa, kan?"
"Iya, iya." Canda menjawab malas-malasan. "Lo sama Andini lagi di mana, sih? Kok pergi nggak ngajak gue?"
"Sengaja nggak ngajak, ini kan udah jam tidur lo," jawab Bian. "Sekarang tidur ya, Canda, biar besok nggak telat."
"Hm."
"Gue matiin ya teleponnya? Good night." Setelah sambungan telepon terputus, Bian mengembalikan ponselku. "Beres."
Aku nyengir. "Lain kali belajarnya sore aja, terus ajak bocah satu itu biar nggak rewel."
"Kapan-kapan deh." Bian tersenyum tipis. "Malam ini berdua aja dulu."
Dan demi apapun, ketika jam digital di samping tempat tidurku menunjukkan pukul 11:11 malam ini, aku akan berdoa agar dapat melihat senyum itu untuk waktu yang lama.
______
KAMU SEDANG MEMBACA
11:11
Short StoryIni cerita tentang seseorang yang berharap. Seseorang yang memejamkan mata dan membuat doa di tengah keheningan malam. Seseorang yang menanti keajaiban harapan dalam diam. Seseorang yang tidak berhenti percaya suatu saat pengharapannya jadi nyata. M...