| 7 hari sebelumnya |
"Lama banget sih Bian, beli air doang," keluh Canda sambil menggerak-gerakkan kakinya tidak sabar. Seperti biasa, jam makan siang kami habiskan di tribune lapangan basket indoor sekolah. Bunda memasak ayam teriyaki untuk kami bertiga siang ini, namun Canda lupa membawa air minum. Jadi Bian terpaksa harus membeli air kemasan di kantin, padahal anak itu paling malas berada dekat kantin di jam makan siang. Tapi apa boleh buat, daripada kami bertiga tidak makan.
"Makan duluan yuk," ajak Canda, sejak tadi melirik-lirik kotak bekal Hello Kitty di pangkuannya. Tatapannya gelisah. Kalau begini, Canda pasti tidak sarapan karena buru-buru datang ke sekolah.
"Tunggu 5 menit lagi, Nda," ujarku. "Kalau Bian belum balik juga, kita makan duluan aja."
Canda memberengut, namun menurut juga. Dia menimang-nimang kotak bekalnya, memain-mainkannya, menatapinya sampai bosan, seperti anak kecil yang menunggu ibunya pulang. "Bian lama," gumamnya pelan. Bibirnya mengerucut.
Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya. "Sabar," kataku.
Canda berdiri dari, berjalan mondar-mandir di sekitar tribune. Setelah beberapa kali bolak-balik seperti bandul, mungkin karena lelah, dia kembali duduk di dekatku. "Din." Canda memanggilku, nadanya serius.
"Hm?"
"Lo ngerasa nggak sih, Bian berubah?"
Ngerasa banget, Nda, jawabku dalam hati nyaris seketika. Namun aku terdiam sejenak, tidak menyuarakannya. "Berubah gimana maksud lo?"
"Ya... berubah." Canda mendesah. "Nggak ngerasa ya? Gue doang yang ngerasa?"
Aku mengangkat bahu.
"Bian aneh akhir-akhir ini," cerita Canda. "Nggak tahu kenapa dia kayak ngehindarin gue, Din. Kalau dipanggil sukanya pura-pura nggak denger. Terus kalau jalan suka jaga jarak. Kalau bisa nggak bareng gue, ya gue ditinggalin sama dia. Gue ada salah, ya?"
Menyimak cerita Canda, aku jadi berpikir. "Sama sih, gue juga ngerasa Bian aneh akhir-akhir ini." Aku mengakui pada akhirnya.
"Nah, kan." Canda langsung semangat, mengetahui dia tidak sendirian. "Bukan cuma gue kan yang ngerasa? Lo juga?"
"Iya," kataku. "Tapi, Nda, kebalikan sama lo, dia malah makin deket ke gue deh kayaknya."
"Iya, sih. Gue juga ngerasa." Canda mengangguk-angguk pelan. Pandangannya menerawang ke depan. "Kemarin pas Bian belajar ke rumah lo, di situ feeling gue nggak enak. Kenapa ya gue nggak diajak? Mungkin karena itu kali ya gue jadi susah tidur," katanya asal. Cengiran ceria khasnya kembali menghiasi sudut-sudut bibirnya.
"Ngawur lo, Nda," tanggapku.
"Bian ada cerita nggak tentang gue?" tanya Canda penasaran.
Aku mengernyit, mengingat-ngingat. "Seingat gue sih nggak ada."
Canda kembali menghela napas. "Din, emang gue ada salah ya selama ini sama Bian?"
"Nggak tahu. Itu anak lagi banyak pikiran kali."
"Ya tapi kok gue doang yang dijauhin?" Canda bersungut-sungut.
"Udah, nggak usah dibahas lagi. Itu orangnya udah dateng," kataku dengan suara pelan sembari memberi isyarat dengan mata bahwa Bian kini tengah berjalan ke arah kami.
Canda menoleh ke arab Bian. "Lama banget sih Biaaan!" rajuknya seperti biasa, berusaha bersikap normal saja kepada Bian.
"Di kantin rame banget," tanggap Bian sekenanya.
"Gue udah laper banget, tau."
"Ya siapa suruh nungguin gue," kata Bian cuek.
"Ih, nyesel gue nungguin lo."
"Udah, udah." Aku menengahi. "Mending kita makan aja deh, ntar keburu bel."
Lalu Canda dengan cepat melupakan pertengkaran kecilnya dengan Bian dan segera membuka kotak bekal Hello Kitty-nya dengan semangat. "Selamat makan!" gumamnya senang lalu mengangsurkan dua sendok lainnya kepadaku dan Bian.
Selanjutnya aku dan Canda makan dengan tenang, sementara Bian hanya menatap kami sambil memain-mainkan botol air di tangannya.
Dan seperti sebelumnya, Canda bertanya, "Bian nggak makan?"
"Nggak lapar," jawab Bian hampir seketika, seolah jawaban itu memang sejak tadi disiapkannya jika ditanya.
"Emang udah sarapan, Yan?" tanyaku. Sebenarnya aku tahu jawabannya, tidak. Bian tidak pernah terbiasa sarapan pagi karena seringnya perutnya mual jika ada makanan yang masuk sebelum jam makan siang.
"Belum, sih," jawab Bian. "Tapi tadi udah makan roti kok di kantin."
"Pantesan lama," ungkit Canda sembari melirik Bian dan mengunyah makanannya.
Bian tidak menanggapi.
"Gue suapin ya, Yan?" Canda berinisiatif, entah mendapat ide darimana.
"Nggak."
"Nggak boleh! Harus mau." Canda menyodorkan sendok ke mulut Bian, meminta cowok itu membuka mulut. Namun cowok itu bergeming dan menatap Canda aneh. "Buka mulut dong, Yan, tangan gue pegel nih."
"Gue nggak mau makan, Canda," kata Bian pelan.
Tapi Canda tetap ngotot menyuapinya dan—ups, tanpa sengaja isi sendok di tangan Canda jatuh mengenai baju seragam Bian.
"Ck, tuh kan jadi tumpah," gerutu Bian sambil menggeleng-geleng kecil.
"Sorry," ucap Canda muram. Rasa bersalah terlihat kental di raut wajahnya. "Biar gue bersihin."
"Nggak usah. Lo diem aja di tempat," perintah Bian dan kali ini Canda menurut, takut menimbulkan kekacauan yang baru. "Din, ada tisu gak?"
"Nggak ada," jawabku. "Lo ke toilet aja bersihinnya. Kasih sabun sedikit biar nodanya hilang."
"Oke," ucap Bian. "Gue sekalian balik ke kelas ya."
Tanpa menunggu respon dari kami, Bian langsung melenggang pergi. Kami menatap punggungnya yang semakin menjauh dalam diam.
"Nah, kan. Gue bilang juga apa. Bian makin aneh," cetus Canda tiba-tiba. Kotak bekal di pangkuannya terlupakan seketika, nafsu makannya hilang.
"Nggak usah dipikirin, itu anak lagi banyak pikiran, Nda." Aku berusaha menenangkan. "Mungkin karena sebentar lagi olimpiade makanya dia jadi begitu."
Canda tersenyum tipis. "Grogi kali ya, dia?"
"Mungkin," jawabku. "Udah ah, yuk makan lagi."
Dan kami melanjutkan makan dalam diam berdua.
Sementara dalam hati aku berpikir, ketika jam digital di samping tempat tidurku menunjukkan pukul 11:11 malam ini, aku akan berdoa agar situasi canggung yang ada di antara Canda dan Bian ini segera berakhir dan tentu saja, agar Bian diberi kemudahan dalam mengerjakan soal-soal olimpiade nanti.
______
KAMU SEDANG MEMBACA
11:11
Short StoryIni cerita tentang seseorang yang berharap. Seseorang yang memejamkan mata dan membuat doa di tengah keheningan malam. Seseorang yang menanti keajaiban harapan dalam diam. Seseorang yang tidak berhenti percaya suatu saat pengharapannya jadi nyata. M...