Perdebatan apapun menuju kata pisah,
Jangan paksakan genggamanmu.Di Boston sekarang sedang Salju, hari ini, pas seminggu setelah Clay berkata bahwa ia tidak ingin diganggu. Tepat ketika aku sedang jalan di bawah salju, dia menelfonku.
"Hai, Clay." Sapaku seperti biasanya. Tetapi dia tidak membalas sapaanku seperti dahulu kala.
"Clay, disini dingin banget. Aku harus ngomong cepet-cepet," kataku tanpa respond darinya.
"Ayo kita udahan, kalau kamu mikir tempat kamu bahagia bukan di aku lagi, tempat kamu nyaman, dan kalau kamu mikir aku bukan yang dulu lagi. Ayo. Aku ikhlas, Clay," kataku dengan cepat. Sungguh, berjalan dengan hujan salju ini sangatlah tidak enak.
Tanganku sudah gemetaran memegang ponselku. "Clay, aku butuh kamu mutusin itu sekarang."
Clay masih terdiam di tempatnya, mungkin dia merenung. Terlintas kembali lagi diotakku ketika kita masih bersama-sama dahulu. Lalu, dengan bodohnya aku menghancurkan semua kepercayaan yang sudah ia berikan kepadaku, oh Tuhan, bodoh sekali aku ini.
"Clay, tanganku udah shaking banget dan nggak bisa tahan lagi. Talk to you la--"
"Jangan." Akhirnya dia buka suara. Kurasa sebentar lagi tanganku mati rasa karena kedinginan.
"Dari awal aku nggak mau kita lanjut, Dam. Kebahagiaanku masih ada di kamu, cuman semuanya udah berubah. Aku nggak bisa bikin kebahagiaan itu keluar dari kamu, padahal ada di diri kamu."
"Aku minta maaf juga, Dam. Menurutku kita harus udahan." Dia menutup telfonnya.
Ya sudahlah, mungkin ini akhirnya. Aku terima saja daripada aku harus memaksakan yang seharusnya sudah lama aku lepas. Sekarang, hanya aku yang berjuang mempertahankan hubungan ini dan Clay? Dia sudah tidak mau hubungan ini lanjut kembali.
Selamat tinggal, Clairine. Aku tetap menyayangimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pamit
Short Story"Perdebatan apapun menuju kata pisah. Jangan paksakan genggamanmu." TERINSPIRASI DARI LAGU PAMIT - TULUS. © 2016 by Shania Angelista.