Part 9

27.4K 3.3K 163
                                    

Ah sepertinya menjadi semut menyenangkan, masuk dalam tanah dan menghindari tatapan yang terkesan menuduh dari orang-orang. Kurang lebih seperti itu perasaanku saat ini setelah peristiwa semalam. Keributan yang terjadi membuat tetangga berdatangan. Suasana menjadi kacau terlebih dengan kondisi Gaharu. Dia terkulai lemas, darah segar mengalir dari hidungnya akibat pukulan Priya. Andai tidak ada yang membantu melerai, bukan hanya hidungnya yang berdarah.

Entah bagaimana, beberapa orang berpakaian polisi datang dan membawa Priya sementara Gaharu dilarikan ke rumah sakit. Seolah mengerti kebingunganku, Priya memintaku menemani Gaharu. Emosinya memang mereda tetapi akibatnya diluar dugaan. Semua menjadi lebih rumit.

Orang tua Gaharu yang menyusul ke rumah sakit tampak sangat marah melihat kondisi putranya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Mimih yang ikut datang bersama mereka mengusap punggungku. Dia pun merasa serba salah mengingat posisinya hanya sebagai pekerja rumah tangga biasa.

Gaharu yang sudah siuman meminta ibundanya untuk tetap tenang. "Sudah Bun, nanti menganggu pasien lain."

"Tidak bisa. Orang yang membuatmu seperti ini harus mendapat balasannya. Bunda akan pastikan dia tidak akan bisa bebas dalam waktu dekat," geram Tante Leora.

Pandangan Gaharu berputar padaku yang duduk di sofa. Seringai licik terlukis sekilas di wajahnya sebelum berubah kembali menjadi senyuman. Entah berpura-pura atau memang ada maksud lain, dia berusaha membujuk ibundanya untuk mengurungkan niatnya. Rintihan Gaharu setiap akan menggerakan badan justru semakin membulatkan keinginan Tante Leora untuk meneruskan laporan pada polisi tentang perbuatan tidak menyenangkan. Dalam sekejap empatiku menghilang berganti kebencian.

Kehidupan keluarga Priya sudah cukup sulit tanpa perlu menambahi dengan masalah baru. Jemariku bergetar, tidak sanggup membayangkan hal buruk yang mungkin terjadi. Sekuat tenaga diriku harus menahan sesak mengingat pancaran kepedihan di sorot mata Priya semalam. Ini semua salahku yang terlalu lemah.

Mimih memintaku menemani Gaharu sementara dia pergi menemui dokter bersama Tante Leora. Aku terpaksa menurut meskipun enggan. "Untuk apa kamu datang padahal tau rumah sedang kosong? Kalaupun ada keperluan penting setidaknya bisa mengabari lebih dulu. Apa kamu memang sengaja memancing kemarahan Priya."

"Apapun alasannya keadaan kekasihmu lebih menderita sekarang. Kamu pasti ingin menolongnya, bukan begitu?"

"Cukup basa-basinya. Katakan terus terang apa mau kamu?"

Senyuman Gaharu semakin lebar. Dia bersikap layaknya orang sehat. "Kalau kamu meninggalkan dia, aku akan menjamin dia akan melanjutkan hidup di luar penjara dan foto-foto itu tetap berada di tempatnya. Aku rasa kamu cukup pintar untuk memahami tawaranku."

Kedua tanganku mengepal kuat disisi tubuh. Amarah dan sedih bercampur menjadi satu. Dia tidak mengerti kenapa Gaharu melakukan hal seburuk itu pada dirinya. Selama ini keduanya memang kadang selisih paham tetapi masih dalam kontek wajar.
"Keputusan semua ada pada dirimu tapi ingat baik-baik siapa saja yang akan terkena imbas masalah ini. Aku akan berbaik hati memberimu waktu hingga tiga hari kedepan." Gaharu kembali memejamkan mata.

Setiap helaan nafas terasa bagaikan tertusuk ribuan pisau. Menyesakan mengingat tidak ada yang bisa lakukan untuk memperbaiki keadaan. Semua pertanyaan terpaksa harus tersimpan begitu pintu ruangan kembali terbuka. Tante Leora muncul bersama seorang dokter dan suster. Mimih yang berjalan di belakangnya menatapku sedih.

Situasi semakin sulit, Tante Leora mendesakku memberi keterangan yang bisa memberatkan posisi Priya. Pihak keluarga Gaharu tidak akan diam saja dengan peristiwa ini. Permintaan basa-basi Gaharu untuk tidak memperpanjang di anggap angin lalu. Aku tau dia tidak bersungguh-sungguh, laki-laki itu justru tengah tertawa di atas penderitaanku.

Jika (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang