Part 12

28.8K 3.4K 172
                                    

Suara detik jam terdengar jelas memecah keheningan. Pertemuan tak terduga dengan Priya tadi sore masih terbayang. Mood  seketika memburuk, sekuat apapun usaha untuk mengembalikan semangat. Kini tinggalah diriku sendiri, duduk dilantai dingin sambil memeluk lutut yang tertekuk.

Bagaimana caranya mengusir rasa bila  sayang itu ternyata tak juga menghilang. Belum lagi betapa beratnya  bersikap tak acuh di saat sebagian dari diri masih berharap lebih. Dan harus dengan cara apa melupakannya jika sakit di hati tidak mampu membebaskan diriku dari kenangan masa lalu.

Kepalaku mendongkak, menatap kesekeliling ruangan. Selain barang yang nilai dan jumlahnya tidak seberapa, pengisi ruangan ini menyisakan kesunyian. Rangkulan di lutut semakin menguat ketika sadar akan kesepian. Mimih, aku rindu.

Ketegaran itu runtuh seiring bergulirnya butiran bening dari sudut mata. Tubuhku bangkit sambil mengigit bibir. Menahan isakan yang meronta ingin keluar.  Kaki berjalan menuju tempat tidur. Perlahan kurebahkan tubuh, mengusap jejak tangis lalu memejamkan mata seraya tak henti berdoa, berharap semua ketidaknyaman akan hilang saat terbangun nanti.

Keesokan pagi aku memulai hari dengan wajah sembab. Semalam entah berapa kali terjaga dari mimpi buruk. Di kala terbangun,aku habiskan waktu dengan melamun lalu kembali mencoba memejamkan mata. Niat untuk menemui Tante Micha pun terpaksa di batalkan karena ingin mengurung diri di kamar.

Meta tiba-tiba muncul di depan pintu kamar kos. Ia mengomeli karena diriku tidak mengangkat telepon atau membalas pesan darinya sejak kemarin malam. Kekesalannya semakin bertambah melihat mataku yang memerah. Tanpa perlu banyak bertanya atau mendesak, ia sudah bisa menebak apa penyebabnya.

"Ayolah, Dam. Jujur saja pada Priya. Seburuk apapun reaksinya nanti, itu lebih baik daripada terus menerus menutupi kebenaran. Sekalipun sikapnya jadi menyebalkan, ia berhak mengetahui kejadian yang sebenarnya."

"Keadaannya nggak semudah itu, Ta. Ini menyangkut pihak lain selain aku dan Priya. Apalagi saat ini Priya sudah memiliki tunangan. Aku tidak ingin mengacaukan hubungan keduanya. Menjadi orang ketiga bukan caraku memecahkan masalah."

"Maksudmu pihak lain itu ibunya priya atau Leorin? Cepat atau lambat kebohongan yang kamu sembunyikan akan terkuak juga. Tuhan memiliki jalan sendiri untuk memperlihatkannya. Dan apa tidak lebih menyedihkan bila Priya mengetahui soal ini nanti, menghadapi kenyataan bahwa ibunya adalah pihak yang justru menjauhkannya dari kekasihnya. Ini yang kamu maksud  untuk kebaikannya?"

"Semua sudah menjadi bubur. Aku tidak bisa menarik apa yang sudah terjadi. Lepas dari permintaan ibunya Priya, suka tak suka Leorin lebih pantas bersama Priya. Perempuan itu memiliki apa yang Priya butuhkan dari seorang pasangan. Kecantikan, latar belakang keluarga bahkan pendidikan. Sementara aku, asal usulku saja tidak jelas. Meskipun aku tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, rasanya mudah untuk di pahami kalau setiap ibu pasti ingin yang terbaik untuk putranya."

"Ini nih yang aku nggak suka dari kamu. Berapa lama kita berteman dengan Priya sampai kamu belum paham dengan caranya menilai seseorang. Ia pasti lebih memilih teman tapi mesra atau friend with benefit denganmu bila pikirannya picik. Tapi sepenglihatanku dulu, perasaannya tulus padamu tanpa memandang latar belakang dirimu. Cobalah untuk tidak selalu merendahkan diri sendiri. Sekalipun dunia memandang kecil arti dirimu tapi Tuhan menciptakan semua manusia sama rata, semua istimewa dengan kelebihan masing-masing. Hanya saja terkadang kita lupa bersyukur dan selalu merasa kurang ini dan itu. Sekalipun ibunya tidak menyukaimu tapi Priya berhak mendapat penjelasan. Setidaknya kalaupun keputusannya adalah perpisahan, hal itu  menjadi keputusan bersama bukan sepihak."

Aku tertegun, meresapi perkataan Meta. "Tapi dunia mempunyai aturan sendiri dimana kekayaan, fisik dan kekuasaan masih begitu di agungkan."

"Benar tapi tidak semua orang berpendapat sama, setidaknya masih banyak orang yang mempunyai empati dan hati nurani. Salah satunya dirimu. Setelah melewati rangkaian kehidupan yang sulit, kamu masih bisa bertahan. Aku sendiri belum tentu sanggup." Meta menghela napas sesaat. Jemarinya menggenggam erat tanganku. "Bila keputusanmu sudah bulat untuk tetap merahasiakan hal ini,  kenapa tidak mencoba untuk membangun kehidupan baru. Menjalin hubungan dengan laki-laki lain misalnya."

Jika (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang