Tante Sinta mematung, kikuk tetapi berusaha tersenyum sewajar mungkin untuk menutupi kegugupannya. Pertemuan kami yang disaksikan putranya tentunya bukan sesuatu yang ia harapkan. Aku lebih dari mengerti apa dikhawatirkan perempuan paruh baya itu.
"Eh ini, Ibu tidak sengaja bertemu Damara sewaktu mau ke tempat indekos kamu. Ada yang ingin Ibu bicarakan. Handphone kamu susah di hubungi dari siang jadi Ibu datang sekalian ingin melihat tempat kos mu."
Priya memandangi kami bergantian. "Kita bicara di kamar Priya saja. Nanti Ibu masuk ke kamar nomor enam kalau sudah selesai ngobrolnya." Laki-laki tinggi itu berjalan melewati kami, memasuki bangunan yang salah satu kamarnya ia sewa.
"Kalau begitu saya juga permisi dulu, Tante," ucapku pamit.
"Tunggu sebentar, Dama. Apa kamu mengetahui masalah yang di hadapai Priya? Maksud Tante, apa Priya memberitahumu tentang hubungannya dengan Leorin?"
Kepalaku mendongkak ke arah balkon bangunan indekos yang Priya tinggali. Laki-laki itu tengah bersandar pada salah satu pilar dengan pandangan tepat ke arah kami. Dari mulutnya terlihat asap rokok. "Kami hanya bicara seperlunya. Itu pun karena saya dan Priya bekerja di kantor yang sama. Saya sudah mengetahui hubungan Priya dan Leorin dari karyawan lain. Soal apa yang terjadi pada hubungan mereka, saya tidak pernah mencampurinya."
Tante Sinta mengangguk pelan. Senyumannya masih canggung. Aku sulit membencinya atas peristiwa perpisahan beberapa tahun lalu. Selama mengenal Priya dan keluarganya cukup lama, Tante Sinta tidak pernah mempermasalahkan latar belakang keluargaku.
"Apa kabar Mimih? Dia tinggal bersamamu?"
"Mimih sudah meninggal, Tante. Saya sekarang tinggal sendiri."
"Ah maaf, Tante ikut berduka dan terima kasih untuk tidak memberitahu Priya tentang... ."
"Tante tidak perlu berterima kasih. Saya sudah cukup senang bila Priya akhirnya bahagia dengan pasangan hidupnya, siapapun itu. Maaf bukannya saya tidak ingin bicara lebih lama tapu hari sudah malam, saya masuk dulu, Tante. Permisi," ucapku memotong perkataannya. Sosok Priya tak lagi berada di balkon saat tubuhku berbalik.
Keadaan di antara kami semakin menegangkan sekaligus menakutkan. Aku seolah sedang menggali kuburan sendiri. Diantara begitu banyak kejutan, pertemuan kembali dengan Priya membuka semua kemungkinan bila kebohongan yang selama ini tersembunyi. Berhenti bekerja atau pindah ke kota lain mungkin bisa menjadi salah satu jalan keluar tetapi hatiku sudah teramat lelah melarikan diri dari kenyataan.
***
Semenjak sore itu, pertemuan demi pertemuan dengan Priya bukan lagi hitungan jari. Setiap hari kecuali weekend, ia berada di tempat kosnya. Keberadaan laki-laki itu terlihat hanya setelah jam kantor usai. Kadang ia berjalan di belakangku bila kami kebetulan bertemu di depan gang.
Aku mencoba meredam berbagai harap yang tidak pada tempatnya. Terlepas dari masalah yang terjadi pada Priya dan Leorin, impian pada masa kuliah itu sudah runtuh. Jarak di antara kami semakin jauh untuk bersatu lagi meski hanya jalinan persahabatan.
Entah karena dendam atau kebencian, Priya tidak membuat hubungan kami lebih mudah. Ia memang jarang mengajak bicara kecuali sesuatu yang penting. Sikapnya di kantor masih dingin dan tak acuh. Hanya saja tatapannya selalu berhasil membuatku gelisah.
Hari ini pun begitu, setelah selama dua minggu kami selalu pulang dalam waktu bersamaan. Membayangkan ia tengah menatap tajam di belakang menghadirkan perasaan tidak nyaman. Kedua tanganku mengepal, mengurungkan niat pulang dan mencari tempat untuk mengisi perut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika (completed)
RomanceDamara, gadis keras kepala yang selalu bersikap seenaknya tidak pernah mengetahui akan ada banyai kejutan yang hadir dalam hidupnya. Takdir yang menuntunnya pada laki-laki yang tidak pernah disadarinya. Tapi kenyataan tidak seindah bayangan saat har...