Part 14

31.3K 3.6K 173
                                    

Kepala terasa sangat pusing. Sepanjang sisa malam, sakitnya semakin menganggu. Berbaring dan merebahkan diri tak cukup mampu mengusir apa yang di rasa.

Bola mata berputar, memandangi langit-langit yang warnanya mulai pudar. Beberapa kali mencoba memejamkan indra penglihatan, memusatkan pikiran pada hal lain. Sayang, jalan hidupku di warnai kesedihan hingga sulit mencari secercah ingatan yang membahagiakan.

" Apa sih maksud Priya? Apa perpisahan kami membuat otaknya mulai tak waras? " gerutuku sambil bangkit untuk duduk.

Peristiwa sore tadi masih membayang. Setiap kalimat terulang dalam adegan lambat. Setengah memaksa diri untuk berdiri dan menguatkan hati, aku berniat menemui Priya. Sudah cukup selama ini diriku terombang-ambing masalah ini.

Tanpa menelepon lebih dulu, kaki mulai melangkah meninggalkan kamar menuju tempat indekos laki-laki yang pernah menjadi kekasihku. Sepanjang jalan, berbagai pertanyaan bermunculan. Bagaimana bisa Priya meminta sesuatu hal yang tak lazim? Seenaknya meminta diriku menjadi kekasihnya selagi ia masih berhubungan dengan perempuan lain.

Aku menghela napas panjang berulang kali. Berusaha meneguhkan niat ketika melihat lampu kamar Priya masih menyala. Ketegangan menyatu dengan debaran jantung yang berpacu sangat cepat. Semua harus di akhiri sekarang atau keadaan akan semakin rumit.

"Pry." Dua menit berlalu tanpa jawaban. Ketukan maupun panggilan memanggil namanya tidak mendapat balasan dari balik pintu.

Suara kunci di buka terdengar sesaat sebelum tubuhku berbalik. Pemandangan di hadapan menyentak kesadaran sepenuhnya. Priya berdiri hanya dengan menggunakan celana panjang. Dada bidangnya terekpos tanpa sehelai benang. Aroma sabun menguar dari pemilik bola mata hitam itu.

Belum sepenuhnya tersadar, sosok yang berada di dalam kamar Priya kembali menghadirkan perasaan perih.  Leorin tengah berdiri menghadap ke arah kami. Rambutnya berantakan dan ia mengenakan kaos yang kuduga milik Priya.

"Jangan mengambil kesimpulan hanya berdasar apa yang kamu lihat."

"Apa peduliku? Kehidupan pribadimu bukan sesuatu yang harus kupusingkan."

"Oh ya? Lalu kenapa wajahmu pucat begitu? Jarak tidak serta merta membuatku lupa dengan reaksimu saat sedang marah." Priya menahan lenganku yang bersiap pergi dari hadapannya. "Leorin, pulanglah. Jangan menambah masalah lagi. Kita bicarakan hal ini besok."

Perempuan berambut panjang yang sudah berada di dekat kami menatap lirih ke arahku. Kedua bola matanya sembap dengan ujung hidung agak memerah. Tatapannya sangat datar bahkan terkesan tidak peduli. Ia berjalan melewati kami tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Dan, kamu masuklah. Kita bicarakan hal yang membawamu datang kemari."

Aku mendadak menjadi penurut meski kata hati mengatakan sebaliknya. Tapi keadaan di antara kami semakin menganggu. Hampir saja membuat akal sehat terganti menjadi kegilaan akibat stres.

Kupandangi ruangan yang di tempati Priya sekilas. Bergerak ke arah sudut dinding dekat jendela lalu duduk pada lantai yang di lapisi karpet hijau. Perabotan tidak banyak, hanya barang yang diperlukan hingga ruangan terasa kosong.

Televisi, meja, kulas kecil dan rak buku. Dua pintu di sudut ruangan mungkin kamar tidur dan kamar tidur. Entahlah, aku tidak terlalu tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh. Apalagi bila harus membayangkan apa yang sudah terjadi pada pasangan itu tadi.

Priya bergerak ke arah kulkas lalu kembali dengan membawa satu kaleng minuman susu coklat. Sepersekian detik pandangan mata tertuju pada minuman dingin yang ia sodorkan. Semenjak mengenalnya, aku tahu kalau Priya bukan penyuka minuman yang berasal dari susu sapi, rasa soklat lagi. Dan, merek minuman ini tidak lain kesukaanku.

Jika (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang