Prolog

76 5 0
                                    

Ia membungkukkan tubuhnya ke makam yang ditimbun dengan tanah dua jam yang lalu.

Hiruk pikuk orang yang menangis di belakang tubuhnya perlahan menghilang, digantikan oleh suara senyap khas pemakaman.

Ia benci datang ke pemakaman. Ia juga benci menangis. Namun hari ini, di bawah langit mendung dan hembusan angin Oktober, ia datang ke pemakaman dan menangis sampai matanya lelah.

Orang-orang sering berkata: ketika kau kehilangan orang yang kau sayangi, kau tidak peduli lagi dengan hal yang kau sukai atau yang kau benci.

Dan mereka memang benar, buktinya ia diam saja ketika orang yang paling ia benci sampai ke ubun-ubun masuk ke dalam kamarnya pagi ini dan memakaikannya pakaian serba hitam mahal yang sudah dipersiapkan olehnya untuk menghadapi hal semacam ini.

Ia juga tidak peduli ketika satu keluarga yang paling ia benci di dunia ini duduk bersebelahan dengannya di dalam mobil dan mengusap bahu untuk menenangkannya.

Ia benar-benar tidak akan peduli dengan apapun hari ini.

"Kami akan kembali ke sini lagi, telpon kami jika kau sudah siap untuk pulang." Seorang pria berkacamata ikut membungkuk di sebelahnya, setelah menepuk-nepuk bahunya, pria itu bangkit dan berbicara sebentar dengan wanita kurus di belakangnya.

Suara deru mesin mobil perlahan menjauh meninggalkan pemakaman, lalu ia mulai menangis lagi. Bukan, kali ini ia bukan menangis karena merasa kehilangan, ia sudah menumpahkan tangisnya untuk itu kemarin.

Kali ini ia menangis karena tidak ada seorang pun yang menyempatkan diri untuk menanyakan keadaannya, semua terlalu sibuk untuk mempersiapkan pemakaman yang akan mereka datangi.

Baju seperti apa yang akan dipakai, sepatu apa yang cocok dipakai di hari mendung seperti ini, dan buket bunga seperti apa yang cocok dengan namanya.

Di hari yang lalu, jika ia mendapatkan kemalangan semacam itu, seseorang akan merengkuhkan bahu untuk memeluknya, tidak peduli apakah belakang bajunya sobek atau sepatunya bolong.

Namun hari ini, ketika seluruh dunia berbalik dan tidak bisa dikendalikan, ia sendirian mendekap kedua kakinya.

Alasannya jelas: karena satu-satunya orang yang peduli itulah yang meninggalkannya sekarang.

Rintik-rintik hujan perlahan menyapu tanah di hadapannya namun tubuhnya masih kering. Ia mendengar suara rintikan air hujan yang ditampung di atas kepala lalu membalikkan tubuhnya.

Seseorang memegangi payung merah cerah di belakangnya.

"Maaf aku terlambat."

Ia membulatkan mata, tak bisa mempercayai kedua matanya sendiri ketika menyadari siapa yang datang.

Stay at HomesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang