Part 14. Sebuah Permohonan

2.4K 82 4
                                    

Ify menghela nafas kesal sambil melipat tangan nya di depan dada. “Lo bener-bener ngelukain hati gue.” Cakka menyungingkan senyum nya kaku. Ia yang tadinya duduk di atas sofa pun akhirnya turun ke bawah dan duduk di atas karpet bersebelahan dengan Ify. Ia menatap Ify yang sama sekali tak mau menatapnya. “Fy, ngertiin gue ya?” Cakka mengatupkan tangannya sambil menatap Ify memelas. Ify masih diam. Tak menggubris omongan Cakka. “Please.” Cakka menundukkan kepalanya. Berharap Ify akan memaafkan kesalahannya kali ini.
 
Semua yang ada di basecamp hanya terdiam melihat pemandangan di depannya. Ketua mereka yang angkuh di depan musuh, menundukan kepala dan memohon maaf kepada seorang gadis. Hal yang sangat langka bukan?
 
Ify hanya melirik Cakka. Sebenarnya ia tak marah. Justru ia sangat bahagia. Shilla akhirnya mau menemui Cakka meski hanya sebentar. Ia merasa lega. Luka di lengan Cakka, pasti tak berefek lagi pada hatinya. Karena jujur ia sangat khawatir, Cakka yang terluka akibat jatuh dari motor, membuatnya takut Cakka tidak dapat menerima kenyataan dan terus mencoba mengendarai motor lagi. Tapi ia dapat bernafas lega sekarang. Shilla telah menutup luka lama yang muncul kembali di hati Cakka.
 
Ify tersenyum dan mengacak-acak rambut Cakka. Satu perlakuan yang hanya Ify dan Shilla yang boleh melakukannya.
 
Cakka mendongak, menatap Ify yang tengah tersenyum padanya. “Mana mungkin gue marah sama lo yang terlihat bahagia kaya gini.” Cakka tersenyum mendengar itu. Ia menurunkan tangannya dan balik mengacak-acak rambut Ify. “Gue tahu lo pasti ngerti.”
 
Ify tersenyum. Ia pun menoleh ke arah meja yang telah terisi penuh tumpukan kotak pizza yang masih tertutup dengan berbagai macam rasa dan puluhan kaleng soda. Yah, benar kata Sion, Cakka pasti mentraktir mereka setelah bertemu dengan Shilla. Dan pizza lah menu yang mereka pilih untuk acara makan-makan mereka. Tapi berhubung Ify yang marah akibat cerita Cakka mengenai perbannya, tak ada yang berani menyentuh apalagi membuka pizza itu.
 
“Ambilin gue yang rasa keju.” Ify menunjuk salah satu kotak yang berada di tengah tumpukan pizza itu. Cakka tersenyum dan dengan cepat mengangguk. Ia beranjak dan mengambil kotak pizza yang dimaksud Ify. Cakka menaruh kotak itu di depan Ify dan dengan cepat dibuka oleh wanita itu. Semua pun beraksi. Mereka semua membuka kotak pizza yang mereka inginkan.
 
“Waaahh, Fy. Jadi acara ngambek tadi acting?” Ify melirik ke arah Irsyad sambil mengunyah pizza nya. Tak lama, Ify mengangguk.
 
Angel tertawa sekilas. “Lo bener-bener pantes jadi artis.”
 
Kini giliran Zahra yang tertawa mendengar ucapan Angel. “Mana bisa preman kaya dia jadi artis. Ada juga kesandung skandal terus.”
Semua orang yang ada di basecamp tertawa. Sedangkan Ify mendesis dan melempar bantal sofa ke arah Zahra.
 
Sion merangkul pundak Gabriel. “Lo siap nggak ngadepin nih cewek dengan segala skandalnya?” Gabriel langsung melepaskan tangan Sion yang ada di pundaknya. “Apaan sih lo?”
 
“Ciee muka nya merah.” Sion menunjuk wajah Gabriel yang memang sedikit merona.
 
“Cieeeeee” sorakan semua orang pun tak terelakan.
 
Gabriel menutupi kesaltingan nya dengan mencomot kembali pizza di atas meja, sedangkan Ify, ia hanya bersingut kesal sambil mengunyah pizza di tangannya lagi.
 
Ray yang tengah membagikan minuman kepada teman-teman nya itu pun menyodorkan 1 kaleng ke arah Sion.
 
Sion langsung menerimanya. “Thanks, kebetulan gue lagi aaakkkhh....” Sion langsung menjauhkan kaleng di tangannya karena saat ia membuka kaleng itu, busa langsung menyembur mengenai wajah nya.
 
Semua orang langsung terbahak melihat hal itu. Dan tawa Ify lah yang paling mendominasi. Saat Ray duduk di dekat Ify, mereka berdua pun langsung bertos ria. Sion pun berdecak kesal. “Lo berkhianat sama gue, Ray.”
 
Ray pun menuliskan sesuatu di kertas HVS yang ada di bawah meja. Setelah selesai, ia pun menunjukan ke arah Sion.
-Sejak kapan gue di pihak lo?-
 
Semua orang langsung tertawa lagi setelah membaca tulisan Ray. Sion langsung mengerucutkan bibir nya. “Najis banget sih lo.” Gabriel langsung menggeser duduk nya menjauhi Sion.
 
Sion langsung menoleh ke arah Cakka dengan wajah merajuk.
“Apa? Mau gue jitak lo.”
Mendengar ucapan Cakka itu membuat Sion tambah mengerucutkan bibirnya. Semua orang tak dapat berhenti untuk tertawa. Hal yang sangat menggelikan untuk mereka melihat orang yang tak dapat menahan emosinya ini menampakan raut wajah seperti sekarang.
 
 
 
***
 
 
 
Rio, Alvin dan yang lain langsung beranjak dan menghambur ke arah dokter yang keluar dari ruangan Ozy. Dokter itu menarik maskernya ke bawah dagu. Wajah nya penuh dengan pelu.
 
“Gimana dok?” Pertanyaan Rio mewakilkan semua orang.
 
Dokter itu menghela nafas. “Teman kalian masih kritis.”
 
Ucapan dokter itu membuat semua orang menghembuskan nafas kecewa. Doa mereka ternyata belum terkabul. “Tapi....” Semua orang langsung menatap dokter itu yang berbicara kembali.
 
“Kemungkinan teman kalian bisa hidup, yang tadinya hanya 30%, kini menjadi 80%.” Wajah berseri langsung terpampang di wajah mereka. “Serius dok?”
 
Dokter itu mengangguki pertanyaan Goldi. “Dengan menggerakan jarinya, itu pertanda bahwa otaknya kembali bekerja. Jika 80% ini dapat meningkat menjadi 100%, teman kalian akan melewati masa kritisnya. Dan dapat dipastikan, teman kalian akan segera siuman.”
 
Mereka semua tersenyum bahagia. “Makasih dok.” Dokter itu mengangguk. Dokter itu pun pergi meninggalkan kerumunan preman Expend.
 
Alvin pun langsung merangkul Debo. “Lo bilang apa sama Ozy? Kenapa setelah lo masuk, dia bisa gerakin jarinya?”
 
“Gue nangis di dalem.”
 
Semua terperanjat dan langsung menoleh ke arah Debo. Debo hanya tersenyum tipis. “Gue genggam tangan dia. Gue bilang kalo kita kangen sama dia. Kita pengen dia sembuh. Kita pengen dia balik lagi kumpul lagi sama kita. Yah, dan gue nangis di sana.”
 
Semua terdiam. Ia hanya menunduk meresapi ucapan Debo. Memang, itulah yang mereka inginkan. Berkumpul bersama. Tertawa bersama. Bertarung bersama. Mereka menginginkan Ozy dapat kembali lagi.
 
Rio menepuk bahu Debo beberapa kali. “Gue bangga sama lo, Deb. Waktu kelas satu dulu, lo nggak peduli sama sekeliling lo. Lo gabung karena lo punya dendam pribadi sama Sion. Lo nggak pernah bersosialisasi sama kita. Tapi sekarang, lo berubah.”
 
“Ini semua berkat lo. Lo bahkan tetep nyapa gue saat semua orang ngejauhin gue. Lo tetep ngajak gue ngomong meski gue sering nyuekin lo. Lo ngebuat gue tahu gimana nyamannya punya seorang teman. Lo juga yang ngebuat gue tahu rasanya punya sahabat.” Debo menatap Irsyad dan Alvin bergantian. Juga mengingat Ozy yang kini masih terbaring di dalam. Mereka ber3 yang sering bersama Rio sejak awal, adalah orang yang juga dapat menerima kehadirannya. Rio dan mereka bertiga sering mengajaknya bicara, mengajaknya keluar bersama, dan membuatnya membagikan kisahnya pada mereka. Mereka sangat berharga dalam hidupnya. Debo kembali menatap Rio. “Makasih.” Rio tersenyum menanggapinya.
 
Semua hanya terdiam. Semua orang di sana juga mengetahui bagaimana Debo dulu. Mereka semua juga menyaksikan bagaimana Debo berubah. Mereka semua dapat memahami mengapa hanya Rio yang dapat menahan emosi Debo. Membuat Debo langsung terdiam meski Rio hanya mengeluarkan sepatah kata. Yah, mereka semua tahu itu.
 
“Ozy pasti sadar kan?”
 
Rio terdiam. Sesaat kemudian, ia tersenyum dan mengangguk mantap. “Pasti.”
 
 
 
***
 
 
 
“Bangun. Perban lo mesti diganti.” Cakka membuka matanya dan menatap Ify yang sudah membawa sebaskom air dan kotak p3k nya. Cakka pun membalikan tubuhnya menghadap badan sofa. “Nggak, gue nggak mau.”
 
Ify menghela nafas. Ia pun menaruh kotak p3k nya dan baskomnya di atas meja. “Kka?”
 
“Gue nggak mau, Ify.”
 
Ify mendengus kesal. Ia menatap Gabriel dan Irsyad yang bermain tennis meja. Mereka berdua menghendikan bahu nya tanda tak tahu harus berbuat apa. Ify menendang pelan lutut Ray yang bermain catur bersama Sion di lantai bawah dekat sofa. Mereka berdua mendongak dan kompak menghendikan bahu. Ify menatap Angel dan Zahra yang sedang memainkan hp mereka, mereka berdua juga menunjukan reaksi yang sama dengan keempat temannya.
 
Ify menghembuskan nafas kuat. “Kka, kalo perban lo nggak diganti, luka lo bisa infeksi.”
 
Cakka tak menyahut. Ia tetap berbaring di atas sofa sambil membelakanginya.
 
“Lo inget nasehat Shilla kan? Lo harus jaga diri lo baik-baik. Lo nggak boleh terluka. Jadi ganti perban lo ya.” Ify berujar sehalus mungkin.
 
Cakka terdengar menghela nafas. Ia pun bangkit dari tidurnya dan duduk menghadap Ify, membuat Ify tersenyum lega melihatnya. “Fy?” Cakka menatap Ify yang juga tengah menatapnya. “Gue pengen tidur tenang malem ini.” Otot wajah Ify mengendur. “Gue pengen tidur nyenyak. Gue pengen mimpi indah. Jadi ijinin gue ngeliat balutan perban hasil karya Shilla sampe gue nutup mata. Biarin gue terlelap dan tidur sambil ditemenin ini.” Cakka mengangkat tangan kirinya. Menunjukan perban yang memabalut lengannya. “Boleh ya? Gue janji besok perban nya bakal gue lepas.”
 
Ify terdiam. Begitu juga yang lain. Sebesar inikah rasa cinta Cakka pada Shilla? Sedalam inikah perasaan rindunya pada Shilla? Jujur mereka semua tak tega dengan keadaan Cakka yang sekarang. Ingin sekali mereka menyalahkan Shilla, yang tidak mempedulikan perasaan Cakka sama sekali. Tapi ini semua bukan salah Shilla, bukan Shilla yang memulai. Entahlah, mereka hanya bisa menjadi penonton dalam kisah mereka. Mereka berharap semua nya akan kembali seperti dulu.
 
Ify tersenyum sambil menatap Cakka. “Sekarang lo tidur di atas. Besok pagi gue ke sini untuk ngeganti perban lo. Kita berangkat sekolah bareng.”
 
Cakka tersenyum mendengarnya. Ia pun mengangguk dan beranjak pergi menuju kamar basecamp nya.
 
Semua orang menoleh ke arah Ify. “Lo yakin nggak papa?” Angel bertanya mewakili semua orang.
 
“Nggak papa. Lagi pula luka nya baru di ganti tadi sore. Gue yakin nggak akan infeksi.”
 
Semua orang mengangguk.
 
“Yaudah, gue balik dulu ya. Deva nitip martabak, dia nungguin gue pulang.” Ify mengambil tas nya di sofa dekat dengan tempat Zahra.
 
“Mau gue anter?” Ify, Zahra dan yang lain menoleh ke arah Gabriel yang bicara. Mereka pun menatap Ify, berharap wanita itu akan mengangguk.
 
Ify tersenyum. “Lain kali aja, Yel.” Ify pun menyelempangkan tas nya di pundaknya. “Gue duluan ya?”
 
Semua orang mengangguk. Ify pun berjalan keluar basecamp. Mereka mendengar deru suara mobil Ify yang perlahan menghilang. Menandakan bahwa wanita itu benar-benar sudah pergi.
 
“Sabar, Yel. Harus pelan-pelan.” Gabriel tersenyum menanggapi ucapan Irsyad.
 
“Jangan sedih gitu dong. Sekarang Ify lebih kalem sama lo. Nggak ketus kaya dulu. Dia juga udah mulai bicara dan mau senyum sama lo. Itu udah kemajuan.” Sion, Ray dan Angel mengangguki ucapan Zahra.
 
Irsyad merangkul pundak Gabriel. “Jangan nyerah. Kita semua bakal bantu lo.” Gabriel tersenyum. Melihat semua orang yang mendukungnya saat ini, ia tidak merasa jatuh sama sekali. Ia akan berusaha, untuk mendapatkan hati Ify kembali.
 
 
 
***
 
 
 
Rio berjalan memasuki rumahnya sambil menyelempangkan tas di pundaknya. Saat ia melewati ruang keluarga, langkahnya terhenti sejenak. Ia menoleh ke atas lemari pendek yang berisikan foto-foto dirinya saat masih kecil. Ia menghampiri lemari itu. Di antara foto-foto itu, pajangan yang terdapat ukiran tangan dan kaki nya pun juga ada di sana. Ia menatap pajangan itu sejenak. Tak lama tangan nya pun langsung mengambil pajangan itu dan membawa nya masuk dalam kamar. Manda yang tak sengaja melihat itu pun mengikuti langkah anaknya dan mengintip anaknya dari balik pintu kamar yang masih terbuka sedikit.
 
 
Rio menghempaskan tubuh nya di atas ranjang nya. Ia melihat pajangan yang kini ada di tangannya. Meraba ukiran yang sangat sempurna itu dengan mata menerawang. Sungguh menyakitkan bila ia melihat benda ini. Ia selalu membandingkan kehidupan indah nya dulu dengan kehidupan suramnya yang sekarang. Membuatnya semakin benci dengan orang tuanya yang telah menjauhkan dirinya dengan sumber kebahagiaannya. Yang teah membentangkan jarak yang tak mungkin ia lalui sendirian untuk mencapai rumah sahabat tersayangnya. Yang telah merubah hidupnya dengan tak peduli kepadanya.
 
Manda yang melihat raut wajah anaknya hanya menghela nafas. Kenangan masa lalu itu pun muncul dalam ingatannya. Kenangan dibalik pajangan itu. Kenangan yang membuat nya ingin mempertemukan anak nya dengan Rara kembali.
 
 
“Adit, ayo ikut Mama.” Adit yang tengah menonton tv di rumah Rara pun menoleh. “Kemana?”
 
“Udah, nanti kamu juga tau.” Adit menoleh ke arah Rara yang sedang menatapnya. Ia lalu menoleh ke arah Mama. “Adit nggak mau,ah. Adit mau maen sama Rara.” Manda melirik Wilda sekilas. Wilda hanya menghendikan bahunya. Ia pun menatap anaknya kembali. “Rara ikut aja.”
 
Wajah Adit langsung berseri. Ia menoleh ke arah Rara sambil tersenyum. “Kamu ikut ya?” Rara terdiam. Ia pun menoleh ke arah Mama nya. “Boleh,Ma?” Wilda tersenyum dan mengangguk. “Yeee” Adit langsung bersorak gembira. Ia pun bangkit dari duduknya dan membantu Rara berdiri. Mereka berdua langsung berlari keluar rumah dan langsung menaiki mobil papa nya.
 
Mobil yang dikendarai suaminya pun berhenti di sebuah toko. Manda dan Haling turun dari mobil diikuti Adit dan Rara. Adit dan Rara berjalan di depan Mama dan Papanya sambil berpegangan tangan. Mereka berdua mengamati keadaan toko itu yang penuh dengan pajangan 3 dimensi.
 
Manda dan suami nya berbincang sebentar dengan pemilik toko itu. Pemilik toko yang bernama Agus itu pun menghampiri Adit. “Ayo ikut om.” Rara dan Adit saling berpandangan. Mereka berdua pun mengikuti om Agus yang membawa nya memasuki bagian dalam toko itu. Manda dan Haling pun mengikuti anaknya.
 
“Nah, sini tangan nya Adit, ditempelin di kertas ini.”
 
Adit mengerutkan dahi bingung. “Buat apa?”
 
“Sayang, tangan sama kaki kamu mau di buat pajangan kaya itu.” Mama nya menunjuk ke arah pajangan yang ada ukiran tangan dan kaki milik orang lain yang terpajang di dinding toko.
 
Wajah Adit sumringah. “Bener, Ma? Pa?”
 
Haling dan Manda hanya mengangguk. Adit menoleh ke aah Rara. “Tangan kamu juga dibuat pajangan ya?”
 
“Hah?” Rara menggeleng. “Nggak mau.”
 
“Harus mau.” Adit mengambil tangan kiri Rara dan menempelkan nya di atas kertas yang tadi ditunjukan oleh om Agus. Ia pun menaruh tangan kanan nya di samping tangan kiri Rara. “Udah, om. Sekarang gambar tangan kita.”
 
Om Agus hanya tersenyum geli melihat 2 bocah di depannya. Om Agus menatap kedua orang tua Adit. Mereka hanya menganggukan kepalanya tanda setuju dengan usulan anaknya. Om Agus pun menggambar tangan Adit dan Rara di atas kertas itu. Setelah selesai, mereka mengangkat tangan nya.
“Tuhkan jelek, masa tangan nya gede sebelah. Tangan kamu kan lebih gede dari aku.”Rara merengut kesal.
 
“Nggak papa kali. Walaupun beda yang penting kan sepasang. Kanan sama kiri. Kaya kita nanti waktu gede.Ya kan om?” Adit menoleh ke arah Om Agus meminta pendapat. Om Agus tersenyum dan mengangguk. “Iya bener. Tangan kalian yang sepasang ini diabadiin di pajangan ini. Waktu kalian gede, foto kalian yang sepasang akan diabadiin di buku nikah?”
 
Rara dan Adit mengerutkan keningnya. “Apa itu buku nikah?” Adit menganguki pertanyaan Rara.
 
Om Agus tersenyum lebar. “Kalo kalian udah gede, pasti kalian tau.” Om Agus mengacak-acak rambut Rara dan Adit bersamaan. Ia melirik Manda dan Haling sekilas, mereka hanya tersenyum dan mengamini dalam hati doa anak dan teman SMA nya itu.
 
“Oh ya, sekarang kaki Adit sini, di ukir juga. Kaki nya Rara mau?” Rara menggeleng. “Nggak ah. Tangan aja.” Om Agus mengangguk. Om Agus pun mengukir kedua kaki Adit. Setelah itu, Om Agus berdiri menghampiri Manda dan Haling.
 
“Kira-kira 1 sampai 2 bulan jadinya.”
 
Haling mengangguk. “Inget ya, harus dari emas asli.”
 
“Sip.” Om Agus mengacungkan jempolnya.
 
 
 
Sejak saat itu Rara dan Adit sering meminta nya dan suami nya untuk pergi ke toko om Agus. Meski hanya sekedar melihat bagaimana pembuatan pajangan itu yang terlihat sangat rumit sekali. Anaknya terkadang menumpang makan dan tidur di toko itu. Bermain dan bercanda dengan om Agus. Om Agus yang menurut Rara dan Adit menyenangkan, membuat mereka berdua nyaman berada di dekatnya. Rara dan Adit yang menurut om Agus sangat lucu, menjadi hiburan tersendiri untuk nya. Ucapan yang selalu Adit lontarkan bahwa dirinya akan menjadi sepasang dengan Rara tak henti-hentinya membuatnya tersenyum. Manda yang selalu menemani anaknya itu ikut bahagia melihat anaknya yang begitu senang dengan adanya pembuatan pajangan itu.
 
Tawa bahagia anaknya bersama Rara saat pembuatan pajangan itu, yang membuat pajangan itu berharga untuknya. Melihat pajangan itu, membuat nya ingin sekali mewujudkan ucapan anaknya agar menjadi sepasang dengan Rara. Ia ingin mengembalikan kebahagian anaknya. Sejak kepindahannya ke villa itu, Rio terlihat sering sekali murung. Dan saat mereka pindah lagi ke rumah besarnya yang sekarang, ia sama sekali tak pernah melihat senyum apalagi tawa anaknya. Ia tahu ia dan suami nya yang merubah Rio. Kesibukan nya yang menjadikan pribadi Rio saat ini. Tapi harus bagaimana, ia tak dapat meninggalkan pekerjaan nya.
 
Manda pun menghembuskan nafas. Ia melangkahkan kaki nya menjauhi kamar anaknya. Sebelum Rio tahu akan kehadiran yang tak diinginkan anak nya itu.
 
 
Rio meraba ukiran tangan sebelah kiri yang merupakan tangan Rara.
 
-“Yo, tangan kiri lo lebih kecil dari tangan kanan lo, ya?”-
 
Rio tersenyum miris mengingat pertanyaan Shilla saat ia menemukan pajangan di villa nya.
“Seandainya pajangan ini udah jadi sebelum gue pindah. Seandainya gue bisa nunjukin ke lo sebelum gue pergi. Lo pasti sadar kalo gue Adit saat lo ngeliat ukiran ini pertama kali di villa. Gue pasti udah tahu lama kalo lo itu sahabat kecil gue, Shilla.” Rio terdiam sejenak. Ia pun menghela nafas kecewa. Sudahlah, ia tak perlu menyesali apa yang sudah terjadi. Percuma, semua sudah berlalu, semua kenangan itu tak kan mungkin bisa terulang kembali.
 
 
 
***
 
 
 
Kelas XI IPS 3 kini sunyi. Meski terdiam, hanya sedikit orang yang memperhatikan Bu Ana -guru sosiologi- yang sedang mengajar di depan. Kebanyakan dari mereka hanya menopang dagu  sambil mencoret-coret kertas di atas meja.
 
Bu Ana melihat arlogi yang melingkar di pergelangan tangannya. “Baiklah, ibu akan membagikan kelompok untuk persentasi di pertemuan yang akan datang. Kapan ada jam ibu lagi?”
 
“Bulan depan,bu.” Satu kelas langsung tertawa mendengar celetukan Alvin. Ibu itu hanya berdecak kesal. Ia menghampiri meja nya lalu membolak-balikan lembar kerja sambil mencari jadwal ia mengajar. Setelah menemukan nya dan mengamati jadwal nya, Ibu Ana pun kembali menatap murid-muridnya. “Ibu ada jam 3 hari lagi. Jadi 2 kelompok yang ibu bagikan sekarang akan maju 3 hari lagi ya. Dan pertemuan ke depan, ibu akan membagikan 2 kelompok lagi begitu seterusnya sampai pembahasan kita selesai. Oke.” Tak ada yang menyahut ucapan ibu itu. Ibu itu hanya menghela nafas, menghadapi kelas ini harus membutuhkan kesabaran ekstra. Ibu itu mengambil absen nya dan berjalan ke depan murid-muridnya.
 
“1 kelompok 3 orang dan ibu yang tentukan kelompoknya. Kelompok 1, emm...” Ibu itu memilih nama-nama di lembar absennya. “Alvin jonathan.”
 
Alvin mendelik seketika saat nama nya disebut pertama kali. Debo langsung menjerit kegirangan sambil menunjuk-nunjuk wajah Alvin. Semua di kelas hanya tersenyum geli.
 
“Debo Andryos.”
 
Debo langsung terdiam dan menoleh ibu itu. Kini giliran Alvin yang menjerit kegirangan. Ia tertawa disertai tawa teman-temannya.
 
“Sivia Azizah.”
 
Alvin langsung terdiam dan Debo langsung menoleh ke belakang –tempat Alvin duduk-. Mereka langsung tersenyum penuh arti dan tos bersama. Sedangkan Sivia, ia menoleh ke arah Shilla sambil menunjukan wajah tak sukanya.
 
“Pembahasan kalian tentang faktor-faktor penyebab konflik.”Mau tak mau, Sivia mencatat pembahasan yang harus ia kerjakan. Ibu itu kembali menatap nama-nama di absenya. “Kelompok yang kedua.”
 
Semua orang 1 kelas memanjatkan doa dalam hati agar bukan namanya yang dipanggil ibu itu.
 
“Ashilla Zahrantiara.” Semua orang menoleh ke arah Shilla. Mereka menatap maklum wanita itu yang tak kaget sama sekali atau keberatan karena kepandaian yang ia miliki.
 
“Goldi Senna.” Goldi refleks menepuk jidatnya. Alvin dan Debo tertawa bahagia melihat bahwa yang menderita bukan hanya dirinya.
 
“Mario Stevano.” Semua orang langsung terdiam. Alvin, Goldi dan Debo kompak menoleh. Sedetik kemudian, tawa mereka meledak disertai tawa satu kelas. Mereka sangat bahagia ternyata ketua nya itu juga ikut menderita bersama mereka. Sedangkan Rio, ia berdecak kesal. Ia langsung menggebrak meja 1 kali yang langsung membuat seluruh orang di kelas menutup mulutnya.
 
“Berisik tau nggak lo.”
 
“Maaf, Yo.” Alvin menunduk dengan tawa yang ia tahan. Debo dan Goldi menoleh ke belakang ke tempat Alvin sambil menahan tawa nya. Mereka tau Rio saat ini sedang kesal. Gebrakan meja itu bukan hanya ditujukan untuk mereka yang menertawakannya tapi juga pada bu Ana yang bisa-bisa nya memilhnya untuk persentasi minggu depan.
 
“Pembahasan kalian tentang bentuk-bentuk konflik.”  Shilla pun mencatat judul pembahasannya itu dibukunya. “Baiklah. 3 hari lagi nama yang ibu sebutkan harus persentasi ke depan. Tidak ada yang tidak bekerja. Semua harus memahami isi dari pembahasan kalian. Buat makalah dan powerpoint nya. Ada yang belum jelas?”
 
Tak ada yang menyahut.
 
“Baiklah. Ibu anggap kalian mengerti. Sekian yang dapat ibu sampaikan hari ini. Sampai jumpa dipertemuan yang akan mendatang.” Ibu itu pun kembali ke meja nya dan memberesi buku-buku yang ada di meja. Ia lalu berjalan ke luar meninggalkan kelas XI IPS 3.
 
Shilla dan Sivia pun berjalan ke belakang tempat duduk Rio dan yang lain. Mereka hanya menatap kedatangan dua wanita itu heran.
 
“Ada apa, Vi?”
 
Sivia menoleh ke arah Alvin. “Ah, ini. Kita mau ngerjain nya kapan?”
 
“Hari ini bisa.” Debo menjawab nya dengan cepat. Alvin mengangguki ucapan Debo.
 
“Oke. Hari ini.” Sivia tersenyum lega karena mengajak Debo dan Alvin tidak sesuah yang ia duga.
 
Shilla menatap Rio yang sama sekali tak menatapnya. “Kita ngerjain nya kapan?”
 
“Kita? Lo aja kali.” Shilla yang mendengar jawaban Rio langsung tersulut emosinya. Ia hampir saja meledak jika saja Goldi tak bicara. “Gimana kalo kita ngerjain bareng kelompok 1?”
 
Shilla melirik Goldi lalu menoleh ke arah Sivia. Sivia yang mendengar usulan Goldi itu langsung mengangguk. “Boleh-boleh. Gimana kalo di villa lo aja.”
Shilla menoleh ke arah Rio yang masih terdiam. “Oke. Gue setuju.”
 
 
 
***
 
 
 
Sepulang sekolah, Rio, Debo, Alvin dan Goldi pun langsung menggerakan mobilnya ke villa yang ditinggali Shilla. Sedangkan Shilla dan Sivia pergi diantar oleh sopir Sivia yang telah menjemputnya di sekolah. Shilla dan Sivia turun dari mobil. Di sana mereka berempat telah berkumpul di depan villa.
 
“Lama banget sih lo.” Shilla berdesis kesal mendengar rutukan Rio. “Lo jangan samain sama mobil sport lo dong. Jelas lo yang nyampe duluan lah.” Shilla membuka kunci pintu itu dan langsung masuk diikuti dengan yang lain.
 
 
Di dalam, Sivia, Debo dan Alvin duduk memisah dengan Goldi, Rio dan Shilla. Sivia, Debo dan Alvin di ruang tamu sedangkan Rio, Shilla dan Goldi duduk di depan tv. Shilla yang sibuk menggarisbawahi buku sosiologi nya melirik Goldi dan Rio yang duduk di depannya. Rio bersender di kaki sofa sambil mendengarkan musik lewat headset nya sedangkan Goldi malah bermain game di hp nya.
 
Shila melirik kelompok Sivia yang ada di ruang tamu. Alvin duduk lesehan di karpet sambil menghadap ke arah laptop, sedangkan Sivia dan Debo membaca buku mereka masing-masing.
“Kalo menurut kalian faktornya itu dibagi menurut beberapa ahli apa dijadiin satu gitu?”

BondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang