Part 36. The Impact For Them

2.5K 62 5
                                    

Rio memukul pipi Cakka kiri lalu kanan.
"Lo nggak akan bisa ngalahin gue." Rio memukul pipi Cakka lagi. "Lo nggak akan pernah bisa ketemu Shilla lagi." Rio memukul lagi. "Lo yang akan kehilangan dia."
 
Cakka langsung tersulut amarah, entah kekuatan ajaib dari mana, tangan Cakka dapat terlepas dari kuncian Rio dan langsung mendorong Rio jatuh dari tubuhnya.
 
Dengan cepat Cakka langsung berdiri, begitupun dengan Rio
 
Mata mereka saling bertatapan tajam.
 
"Gue yang akan dapetin, Shilla."
 
Rio menarik ujung bibirnya. "Nggak usah mimpi. Gue yang akan ngedapetin dia."
 
"Nggak usah banyak omong!"
 
"Lo yang nggak usah banyak omong!"
 
 
Mereka berlari saling menghampiri dengan tangan yang mengepal. Siap untuk menghantam pipi dari mereka yang lebih lambat memukulnya.
 
Namun belum juga tinjuan itu mengenai salah satu dari mereka, pekikan keras membelah konsentrasi mereka semua.
 
 
"STOOOOOOOOPPPPP!!!!"
 
 
Tinjuan itu melayang di udara, pergerakan mereka semua terhenti dan kompak menoleh ke sumber suara.
 
Mata mereka sontak mendelik, melihat gadis yang berdiri di pinggir lapangan yang seakan nyaris kehabisan napas.
 
 
 
"I-ify?"
 
Rio melirik Cakka yang berucap lirih.
 
Seketika wajah pemuda itu pias.
"LO NGAPAIN DI SINI, BODOH! CEPET PERGI!!"
 
Sangat kasar memang, tapi demi apapun ia tidak ingin gadis itu malah terluka jika berada disini.
 
Ucapan Cakka tidak dicerna otak Ify. Pikirannya yang terbagi malah membuat gadis itu terlihat linglung.
 
"IFY, GUE BILANG PERGI!!"
 
 
BUUGGH!!
 
 
Ify mendelik melihat pukulan keras menghantam pipi Cakka. Tak usah ditanya lagi siapa pemukulnya.
 
Dan hal itu, membuat perkelahian yang sempat terhenti kembali berlanjut. Mereka kembali memukul lagi, menendang lagi, tanpa peduli Ify disana.
 
Ify semakin frustasi melihat nya. Ucapan nya tidak di dengar. Dengan mata berair, tangan nya menutup kedua telinganya dan menjerit lebih keras dari tadi.
 
 
 
"SHILLA KECELAKAAN!!!"
 
 
 
DEG!!
 
 
 
Bagai mesin waktu yang dihentikan, mereka refleks mematung dengan posisi terakhir mereka.
 
Cakka yang mencengkram kerah Rio dan Rio yang berusaha melepaskan tangan Cakka dibuat membeku. Wajah mereka memucat dan jantung mereka seakan berhenti berdetak.
 
Dengan kompak mereka menoleh pada Ify yang mengangkat kepalanya dengan airmata yang mengalir deras. Menunjukan kesedihan yang teramat sangat.
 
Dengan mengontrol isakan nya, Ify berucap lagi. Mengulang ucapan yang menambah remuk hati Rio dan Cakka.
"Shilla kecelakaan. Gue mohon berhenti."
 
 
 
***
 
 
 
Sivia, Angel, dan Zahra duduk di depan ruang UGD, ruang dimana Shilla sedang ditangani. Darah segar Shilla masih melekat di seragam mereka.
 
Detak jantung mereka belum kembali normal sejak mereka melihat Shilla dihantam mobil. Aliran air mata mereka tak dapat berhenti mengingat tubuh Shilla yang terpelanting dan tergelatak tak berdaya.
 
Ya, Shilla tertabrak di depan mata mereka berempat. Saat kedua mobil sport yang mereka kendarai keluar dari jalan pintas, mereka melihat Shilla keluar dari taksi dan langsung menyebrang. Mereka yakin Shilla akan ke lapangan tak jauh dari jalan raya itu, dimana tempat sekolah mereka bertarung.
 
Naas nya Shilla langsung berlari saat keluar dari taksi itu, tanpa menoleh ke kanan atau kiri. Mobil yang sedang melaju kencang itu akhirnya menabrak tubuh Shilla, membuat Shilla terpental dan berguling di jalan raya.
 
Mereka langsung keluar dan berlari ke arah tubuh Shilla yang sudah dikerumuni banyak orang. Dengan tangan bergetar Zahra langsung menghubungi ambulance. Sedangkan Ify langsung berlari ke medan pertarungan sekolah mereka.
 
Ketika ambulance datang, Sivia menemani Shilla di ambulance itu, diikuti Zahra dan Angel yang menyusul dengan mobil sportnya.
 
 
Dan disini lah mereka sekarang. Dokter belum keluar dari ruangan Shilla, dan mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalam. Ketakutan mereka belum menghilang, ketakutan kehilangan sahabat mereka.
 
Derap kaki yang bergemuruh keras ke arah mereka membuat mereka menoleh. Ify, Cakka, Rio, dan orang-orang kedua sekolah yang saling bermusuhan itu berlari bersama dengan wajah cemas mereka.
 
Setelah dekat, mereka bertiga berdiri. Ify langsung mencengkram bahu Angel.
"Gimana keadaan Shilla? Apa kata dokter?"
 
Mata Ify memerah dan terlihat takut, membuat air mata Angel kembali mengalir.
 
"Nggak tahu, Fy. Dokter belum keluar."
 
Jawaban itu membuat desahan keras dari mereka semua. Mereka sangat berharap bahwa saat mereka datang, akan ada kabar bahwa Shilla baik-baik saja.
 
Namun belum sempat mereka menarik nafas nya kembali, pintu ruangan itu terbuka. Menampakan dokter yang menampakan wajah panik.
 
Belum mereka bertanya, dokter itu sudah menginterupsi.
"Keadaan pasien semakin memburuk, dia harus segera dioperasi. Tapi persediaan darah yang sama dengan dia baru dipakai oleh pasien yang melakukan operasi sebelumnya. Apa diantara kalian ada yang memiliki darah yang sama dengan pasien?"
 
"Saya, dokter!" Semua menoleh ke arah Cakka yang berseru cepat. "Darah saya sama dengan Shilla. Ambil sebanyak yang diperlukan, dokter!"
 
Dokter itu mengangguk. "Ikut saya!"
 
Cakka langsung berjalan cepat mengekori dokter itu.
 
Semua bernapas lega. Setidak nya Shilla masih bisa diselamatkan meski darah Cakka yang akan mengalir pada tubuh Shilla.
 
Rio terdiam menunduk, ia merasa tak berguna sekarang. Darahnya berbeda dengan Shilla, ia tak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan gadis itu.
 
"Apa diantara kalian ada wali dari pasien? Harus ada yang menandatangani surat izin operasinya."
 
Semua saling berpandangan.
 
"Saya."
 
Kompak mereka semua berpaling pada Rio.
 
Pemuda itu mengangkat kepalanya yang beberapa waktu lalu tertunduk.
 
Hanya ini. Mungkin hanya ini yang bisa ia lakukan.
 
"Orang tua Shilla telah menitipkan Shilla pada saya. Saya yang akan menandatanganinya."
 
Awalnya suster itu ragu, namun karena tak ada waktu lagi dan sorot mata Rio yang meyakinkan, suster itu mengangguk.
 
"Mari ikut saya."
 
Rio mengangguk pelan lalu berjalan meninggalkan kerumunan orang disana. Tak ada yang bisa mencegah atau menolak. Kedua kubu itu sudah tahu Rio lah satu-satu nya orang yang telah mengenal seluk beluk orang tua Shilla dari luar maupun dalam. Tak dapat dipungkiri, hanya Rio lah orang yang paling dipercaya untuk melakukan hal tadi.
 
 
 
***
 
 
 
Waktu terus bergulir. Kedua kubu itu sudah berpindah didepan ruang operasi menunggu Shilla tanpa peduli siapa yang ada di samping mereka. Apa itu lawan atau kawan, sama sekali tak mereka pikirkan untuk sekarang.
 
Derap kaki yang melangkah cepat ke arah mereka membuat mereka menoleh. Refleks Rio langsung berdiri melihat dua orang yang muncul dari pintu kaca yang menjadi pembatas koridor ruang operasi dengan koridor umum biasa.
 
Diikuti dengan yang lain yang terduduk, dan mereka refleks menegakan tubuh nya yang hanya bersender.
 
Kedua orang itu, adalah orang tua Shilla. Wilda dan Andreas.
 
Semua seakan terintimidasi dengan datang nya mereka, terlebih Andreas yang merupakan sosok fenomenal di dunia bisnis, yang hanya mereka lihat dari media cetak dan media social, mereka sama sekali tak menyangka bertemu beliau dalam keadaan seperti ini.
 
Meski mereka tahu Andreas adalah papa Shilla. Tapi baru kali ini mereka melihat sosok tegap berkharisma itu secara langsung.
 
Termasuk Rio. Sekian belas tahun, ia baru bertemu dengan papa Shilla sekarang.
 
 
Wilda langsung menghambur ke arah Rio dengan memegang dua pundak pemuda itu. Wajah khawatir dan takut tercetak jelas di wajah cantik wanita yang matanya sama mirip dengan Shilla.
"Gimana Shilla? Gimana keadaannya?"
 
Dengan menyesal Rio menggeleng. "Kami belum tahu, tante. Shilla masih di operasi."
 
Tangan Wilda melemas. Ia menunduk lalu menutupi wajah dengan dua telapak tangan nya, menangis dengan isakan kecil di sana. Andreas yang berdiri di samping nya hanya merangkul dan mengusap bahu mantan istrinya itu. Memberi sedikit ketenangan meski ia tak yakin akan berhasil.
 
Rio menunduk. "Maaf, om, tante. Rio nggak bisa jaga Shilla dengan baik."
 
 
Andreas terdiam sesaat, matanya terus mengarah pada Rio yang masih menunduk di depannya.
"Kamu sudah besar."
 
Jawaban itu justru mengagetkan Rio. Ditambah tangan besar dan kokoh itu menepuk salah satu pundaknya, membuatnya mau tak mau mengangkat kepalanya dan menatap papa Shilla.
 
"Shilla kuat. Kamu yang paling tahu itu."
 
Rio mengerjap mendengarnya. Kenangan masa kecil nya saat ia bersama Shilla mulai muncul. Gadis kecil yang masih sempat tertawa meski ia terjatuh. Yang masih sempat tersenyum meski ia terluka. Yang berusaha untuk berjalan lagi meski ada kesakitan di kakinya.
 
Rio ingin mempercayai hal itu lagi. Ia ingin percaya bahwa Shilla akan berjuang melawan kesakitannya. Ia akan percaya Shilla bisa melewati operasinya.
 
Rio mengangguk sambil menatap Andreas.
"Shilla pasti bertahan."
 
Andreas mengangguk dengan tangan yang masih dipundak Rio. Meski Rio merasakan ada yang lain dari tangan Andreas sekarang, tangan nya sedikit mencengkram pundak Rio, seakan pria itu juga berusaha meyakinkan hatinya bahwa anaknya bisa bertahan di dalam sana.
 
"Kamu .... yang menandatangani surat izin operasi?" Meski sedikit serak, Wilda bersuara sambil melepas kedua tangan yang tadi menutupi wajahnya.
 
"Iya, tante. Maaf kalo Rio lancang. Tapi nggak ada pilihan lain lagi, tadi keadaan Shilla-
 
"Nggak papa." putus Wilda. Ia tersenyum tipis ditengah kesedihannya. "Kamu ngelakuin hal yang tepat."
 
Rio tersenyum lega.
Pikiran negative nya yang tadi sempat ia pikirkan akhirnya hilang.
 
"Apa sebegitu seriusnya keadaan Shilla?"
 
"Rio kira begitu, om. Operasi nya bahkan membutuhkan darah yang sama dengan Shilla karena persediaan di Rumah Sakit ini habis."
 
"Lalu?" Seketika wajah Andreas panik. Karena darah Shilla sama dengan dirinya, sedangkan ia tadi belum datang.
 
"Cakka mendonorkan darahnya."
 
Andreas dan Wilda menoleh pada arah tunjukan Rio. Pemuda yang bediri didekat dinding disebrang Rio itu tersenyum sopan lalu sedikit menundukan kepalanya, tanda hormat.
 
Wilda tersenyum sambil menghembuskan napas lega.
"Terimakasih ya."
 
"Sama-sama, tante. Sudah kewajiban saya."
 
Andreas dan Wilda terdiam bingung. Sedangkan Rio hanya memalingkan wajahnya, hanya bisa membisu dengan kata-kata itu.
 
Sedetik kemudian pintu ruang operasi terbuka.
 
Semua orang tersentak lalu berkumpul pada dokter yang masih mengenakan masker operasi.
 
"Gimana keadaan anak saya, dokter?" Wilda berseru panik dengan matanya yang basah.
 
Dokter itu melepas maskernya. Berekspresi yang sangat sulit diartikan.
 
"Apa pasien sebelum ini sedang sakit?"
 
Semua nya tersentak mendengar ucapan itu.
 
"Iya, dokter." Ify yang menjawab.
 
"Shilla sakit?" Wilda menatap Ify penuh tanya, seakan memastikan bahwa yang ia dengar tidaklah salah.
 
"Iya, tante."
 
" Apa yang terjadi?" Andreas membuat semua orang kembali terfokus pada dokter itu.
 
"Tulang rusuk nya patah dan menciderai paru-parunya, tulang belakangnya juga mengalami pergeseran. Banyak terjadi pendarahan di organ dalam nya. Imun nya sangat lemah, dan hal itu memperburuk keadaan nya saat operasi. Sangat sulit untuk mempertahankan nya karena keadaan pasien yang memang kurang sehat sebelum ini. Kami beberapa kali sempat kehilangan denyut jantungnya, tapi dia mampu berjuang, meski tidak seperti yang kita inginkan."
 
"Apa maksud, dokter?" Suara Wilda tercekik ditenggorokannya, sangat sulit berucap karena dadanya terasa sesak.
 
Dokter itu menghembuskan napas dan sedikit menunduk.
 
"Anak anda ..... koma."
 
 
JDaar!!
 
 
Beton terasa menghantam jantung semua orang yang ada disana. Semua orang mendelik dengan napas tercekat ditenggorokan.
 
Belum sadar sepenuh nya dari kabar itu, mereka dibuat kaget dengan Wilda yang ambruk namun sempat ditangkap oleh Andreas.
 
Andreas menepuk pelan pipi mantan istri nya itu.
"Wilda? WILDA?!"
 
Ia langsung menoleh pada suster yang ada disana.
"Tunjukan kamar kosong, cepat!!"
 
Suster itu mengangguk, dengan sigap Andreas membopong Wilda dan berjalan mengikuti suster itu, meninggalkan mereka yang sedang kacau disana.
 
 
Ify langsung memeluk Sivia yang ada di sampingnya, begitu pula Angel yang langsung memeluk Zahra. Mereka berempat menangis.
 
Mereka tak bisa melakukan apapun. Mereka hanya bisa menjadi penonton saat Shilla tertabrak, mereka bahkan tak sempat untuk menjerit memperingatkan Shilla.
 
Harusnya mereka tak menyembunyikan penyerangan itu. Harusnya mereka memberitahukannya lebih awal agar Shilla bisa menghentikan tawuran tanpa harus datang ke sana.
 
Dan sekarang apa yang telah mereka lakukan?
Sahabatnya itu berada di tengah-tengah antara hidup dan mati.
 
Dan mereka tak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkannya.
 
 
Cakka mundur beberapa langkah hingga tubuhnya membentur dinding. Wajahnya kacau dan tangannya mengepal. Tanpa ia sadar air itu mengalir di pipinya. Membayangkan betapa sakitnya Shilla sekarang. Melawan perih dan berjuang sendirian untuk hidup.
 
Apa guna dirinya?
Apa bukti ucapannya yang selalu mengatakan bahwa ia sangat manyayangi Shilla?
Bahkan gadis itu tak dapat ia jaga.
Gadis itu harus ia biarkan terluka.
 
Kakinya melemas dan merosot jatuh. Tangis nya benar tak bisa ia tahan. Isakannya bahkan keluar tak peduli ada musuh besar nya disana yang melihat kerapuhannya.
 
 
Masih ditempat awal Rio hanya bisa berdiri mematung sambil menunduk. Ia seakan kehilangan 3/4 nyawanya. Ia bahkan tak bisa merasakan jantungnya berdetak. Otak nya kosong, begitupula tatapannya.
 
Hanya sakit di dadanya yang menandakan pada dirinya bahwa ia masih hidup. Hanya airmatanya yang mengalir yang memperlihatkan ke orang lain bahwa ia juga bersedih.
 
Tapi jauh dilubuk hatinya lebih dari itu. Hatinya meraung-raung menyebut nama Shilla. Menyalahkan dirinya karena ia adalah sebab Shilla seperti sekarang.
 
Ia sama sekali tak bisa melindungi nya.
Ia hanya bisa menambah sakit di hatinya.
 
Harus nya ia memang tak usah bertemu lagi dengan gadis itu.
Kehadiran nya hanya menjadi sebuah masalah besar di hidup Shilla.
 
 
Alvin yang melihat Rio begitu terpukul akhirnya menuntun Rio dan membimbingnya duduk. Rio yang sama sekali tak memiliki tenaga itu hanya bisa pasrah.
 
Ia menurut dan duduk di kursi tunggu yang kosong. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya menjambak keras rambutnya. Ia membatin dalam hati, mengucapkan kata maaf berulang kali pada gadis itu.
 
 
 
 
***
 
 
 
Waktu terus bergulir. Mereka terus menunggu di depan ruangan Shilla yang telah dipindahkan ke ruang ICU. Dengan kepala tertunduk, dengan tangisan tertahan, mereka diam berucap doa untuk Shilla.
 
Hanya Cakka dan Rio serta sahabat-sahabat terdekat mereka saja yang masih duduk menunggu. Semua orang yang bertarung di lapangan tadi sebagian besar telah pulang ke basecamp karena permintaan dari ketua mereka.
 
Yah, hanya Rio, Alvin, Ozy, Debo, Goldi dan Sivia serta Cakka, Gabriel, Ray, Sion, Irsyad, Ify, Zahra dan Angel yang ada di sana.
 
Tidak seperti tadi yang menunggu tanpa peduli siapa di samping mereka, kini mereka duduk sesuai dengan sekolah mereka, kecuali Ify, Sivia, Zahra, dan Angel yang tetap memilih duduk bersama.
 
 
Dilain tempat, tepat nya didalam ruangan Shilla, Wilda duduk di samping ranjang Shilla dan Andreas berdiri di samping mantan istrinya.
 
Tangis itu belum berhenti sejak mereka masuk ke dalam, Wilda terus menggenggam tangan Shilla yang tidak di infus sambil menunduk menyentuhkan dahinya ke punggung tangan anaknya yang sangat dingin itu.
 
"Maafin Mama, Shilla. Maafin mama. Mama selalu ninggalin kamu. Mama selalu biarin kamu sendirian. Maafin Mama, sayang. Maaf." Wilda terus menangis, meski Andreas terus mengusap punggungnya, kesedihannya sama sekali tidak berkurang.
 
Wilda mengangkat kepalanya, menatap wajah anaknya yang penuh luka gores dengan mulut dan hidung yang tertutup alat bantu pernapasan.
 
"Shilla sayang, bangun nak. Mama janji nggak akan ninggalin kamu setelah ini. Mama akan terus disamping kamu. Mama akan turutin semua keinginan kamu. Bangun, sayang. Jangan siksa Mama dengan cara begini."
 
Andreas yang mendengar ucapan itu merunduk sedih. Ia seperti ditampar keras dengan keadaan anaknya sekarang.
 
Ia memang hebat. Semua orang memandang kagum dirinya.
 
Tapi apa guna popularitas itu, anaknya sendiri kini malah terbaring koma di depannya.
 
Ia gagal menjadi seorang ayah.
Ia gagal menjadi orang yang harus nya selalu menjaga Shilla.
 
Tangan nya bergerak dan menangkup tangan anaknya yang masih digenggam oleh mantan Istrinya. Menggenggam erat kedua tangan wanita yang sangat berharga di hidupnya.
 
Wilda sedikit tersentak pada awalnya, namun ia hanya membiarkan tanpa mampu menolak.
 
"Shilla ...." Andreas menatap tangannya yang sedang menggenggam.
 
"Andaikan papa selalu genggam tangan kamu kaya gini, papa yakin kamu nggak akan ngerasain sakit kaya sekarang.
 
Andaikan papa selalu di depan kamu untuk melindungi kamu, kamu nggak akan pernah ngalamin hal mengerikan kaya gini."
 
Wilda hanya membisu mendengarnya.
 
"Papa sayang sama kamu, Shilla." Andreas mengeratkan genggamannya. "Jangan tinggalin papa."
 
 
 
Putih.
 
Tak ada apapun disini.
 
Tak ada yang berwarna atau sedikitpun noda.
 
Tak ada yang bisa menunjukan sedang dimana ia.
 
 
Ada apa ini?
Mengapa pundak nya begitu ringan?
Mengapa otaknya begitu jernih seakan tak ada beban pikiran?
 
Sebenarnya apa yang terjadi?
 
Ia merasakan hangat dari telapak tangan nya.
 
Ketika ia menunduk, kedua telapak tangan lain tengah menggenggam nya.
 
Begitu ia mendongak lagi, sosok orang yang sangat disayanginya itu hadir.
 
"Papa? Mama?"
 
Orangtua nya menatap nya begitu sedih, membuatnya mengernyit tak mengerti.
 
"Mama janji nggak akan ninggalin kamu setelah ini. Mama akan terus disamping kamu. Mama akan turutin semua keinginan kamu."
 
Ia tersenyum mendengarnya. "Benarkah?"
 
"Papa sayang sama kamu, Shilla." Shilla menunduk sebentar karena genggaman di tangannya semakin erat, membuat nya hangat sekaligus nyaman. "Jangan tinggalin papa."
 
 
Ia memperlebar senyumannya. Bahagia teramat sangat mendengarnya.
 
Orang tua nya yang bercerai kembali bergenggaman sambil menggenggam tangannya. Mengatakan hal yang paling ingin ia dengar selama ini.
 
 
Tuhan, jika ini hanya mimpi. Jangan bangunkan aku.
 
 
 
***
 
 
 
Mereka terus diam tanpa suara. Hingga deritan pintu terbuka membuat mereka menoleh kompak.
 
Orang tua Shilla keluar dari dalam, dengan tangan Andreas yang tak henti nya merangkul pundak Wilda, takut jika mantan istrinya itu kembali tumbang.
 
"Silahkan siapa yang mau melihat Shilla."
 
2 orang itu kompak berdiri, membuat yang lain menatapi mereka bergantian, termasuk Wilda dan Andreas.
 
Cakka dan Rio.
 
Orang yang sama-sama berdiri itu saling pandang. Saling melempar pertanyaan siapa yang akan lebih dulu masuk dari pandangan mereka. Karena selain orang tua Shilla, dokter mengatakan hanya 1 orang yang boleh masuk jika akan menjenguk gadis itu.
 
Rio berpaling, memutar 90° kaki nya lalu berjalan ke arah yang berlawanan dari pintu ruang ICU.
 
"Rio!"
 
Rio berhenti lalu berbalik ke belakang, mama nya Shilla memanggilnya.
 
"Kamu mau kemana?"
 
Rio terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis ke arah beliau.
"Rio mau ke toilet, tante."
 
Wilda hanya mengangguk pelan sambil menghembuskan napas, ia kira pemuda itu akan pergi meninggalkan anaknya.
 
Rio beralih memandang Cakka, yang juga tengah menatapnya. Hanya sesaat, karena Rio langsung berbalik lagi pergi meninggalkan mereka.
 
Alvin, Debo, Ozy, dan Goldi menangkap hal tak beres dari Rio. Senyum nya barusan, justru menunjukan hal lain di mata mereka.
 
Mereka berempat saling pandang sebentar, karena merasa hal yang sama, mereka kompak beranjak dan menyusul pergi nya Rio.
 
Cakka hanya bisa diam.
Ia juga merasa aneh.
 
Mengapa pemuda itu justru mengalah padanya?
 
Meski secara tak langsung, ia begitu mudah untuk menyadarinya.
 
Cakka menghendikan bahu lalu berjalan.
 
Masuk ke ruangan ICU dimana Shilla berada.
 
 
Andreas menoleh saat Cakka menutup pintu itu, mengernyitkan dahi berpikir sesuatu.
 
"Dia ..... seperti nya nggak asing."
 
Semua orang yang mendengarnya langsung menoleh.
 
"Wajah nya sangat familiar."
 
Mereka saling berpandangan tak mengerti. Mereka yakin Cakka tak pernah bertemu papa nya Shilla, tapi mengapa beliau mengatakan hal itu?
 
"Siapa nama ayahnya?"
 
Mereka tersentak.
 
"Nuraga, om." Ify yang menjawab
 
Andreas mengangguk singkat lalu tersenyum. "Pantas. Saya seperti pernah bertemu dengan dia. Ternyata, hanya wajahnya saja yang mirip."
 
Ray mengernyit. "Maksud om?"
 
"Ayahnya ... teman baik saya saat kuliah."
 
Mata mereka membulat.
 
"Teman?"
 
"Baik?"
 
Sion dan Irsyad mengatakan itu berurutan. Ray dan Gabriel juga saling pandang.
 
Informasi baru.
Yang ia yakin tak diketahui oleh ketuanya itu.
 
 
 
***
 
 
 
Rio melangkah tanpa arah.
 
Ia tak tahu akan mengarahkan kakinya kemana. Pikirannya melayang jauh. Semua kenangan satu persatu muncul, berkecamuk di dalam pikirannya.
 
Bagaimana ini semua berawal.
 
Dari ia yang bertengkar dengan Shilla.
Sikapnya yang mulai berubah. Menjauh dan menghindar dari gadis itu.
 
Dan itu semua menghilang saat ia mengingat senyum lebar nya. Mata hitam bening nya yang selalu berbinar ketika tertawa.
 
Kalimat yang gadis itu ucapkan.
"Nyawa lo itu Cuma 1. Kalo sampe ilang, yang jagain gue nanti siapa?"
 
Dan kalimat yang pernah ia lontarkan.
"Gue akan jaga lo. Gue janji lo akan baik-baik aja."
 
 
Rio menghentikan langkahnya.
 
Bulshit!!
 
Air matanya mengalir. Telapak tangannya meremas dahinya yang berkeringat.
Matanya kosong. Benar-benar frustasi dengan yang telah ia lakukan.
 
Ia yang menyebabkan ini semua terjadi. Shilla koma seperti sekarang karena dirinya.
 
Ia yang menyuruh Sivia untuk tidak memberitahukan penyerangan pada Shilla. Karena itulah gadis itu pergi ke tempat tawuran untuk menghentikan mereka.
 
Alhasil, Shilla berlari dan langsung dihantam oleh mobil.
 
Dan yang lebih parah lagi, keadaan Shilla memburuk saat di operasi karena gadis itu sedang sakit sebelumnya. Dan hal itu,
 
 
"Shilla sakit karena lo! Dengan cara lo perlakuin Shilla kaya gini, lo itu seakan mau ngebunuh Shilla pelan-pelan!!"
 
 
Pekikan Sivia terdengar kuat di gendang telinga nya. Membuat nya semakin meremas dahinya dengan air mata yang makin mengalir deras.
 
"BODOH!!"
 
Rio meninju keras dinding di sampingnya. Sakit pada ujung kepalan nya sama sekali tak di rasa. Perih dan sesak yang menghimpit dadanya menutupi rasa sakit nya.
 
"Gue bener-bener bodoh."
Rio menatapi kepalan tangannya yang masih berada di dinding dengan air mata yang tak bisa ia hentikan.
 
"Gue bodoh karena udah jauhin lo. Gue egois. Gue mentingin diri gue sendiri. Gue yang ngebuat lo kaya gini. Lo sakit karena gue. Lo kecelakaan karena gue. Lo koma karena gue."
 
Rio menyentuhkan dahinya ke punggung tangannya sambil terisak.
"Maaf. Maaf. Maafin gue, Shilla. Gue mohon. Gue mohon. Lo harus kuat."
 
Ia merosot lalu jatuh, menangis sambil menghadap dinding yang masih ia jadikan sandaran kepalanya.
 
 
Tak jauh dari sana, 4 pemuda itu berdiri diam melihat ketua mereka.
 
Tak bisa mendekat, kaki mereka tak bisa bergerak melihat kesedihan yang sedari tadi pemimpinnya itu sembunyikan.
 
Sejak mendengar kondisi Shilla, pemuda itu hanya diam tanpa mengucapkan apapun. Ternyata Rio hanya menahannya, dan sekarang, mereka tahu apa yang ada di hati ketua nya. Dan hal lain dibalik senyuman tadi, mereka juga sudah membacanya.
 
Hal lain itu adalah ...... perasaan bersalah.
 
Rasa bersalah karena ini semua terjadi karena dirinya. Rasa bersalahnya karena tak mampu menjaga Shilla.
 
Karena itu mereka hanya diam. Membiarkan pemimpinnya itu agar bisa meluapkan emosinya sepuas yang pemuda itu inginkan.
 
Pemuda itu butuh ketenangan. Dan mereka, akan memberikannya.
 
 
 
***
 
 
 
Cakka memakai pakaian steril serba hijau ke tubuhnya, pelindung rambut dan terakhir mengenakan maskernya. Dengan pelan, ia berjalan ke arah pintu yang mengarah pada ruangan Shilla.
 
Setelah meyakinkan hatinya, ia pun membuka pintu itu.
 
Matanya langsung dihadapkan pada tubuh Shilla yang terbaring tak berdaya di sana. Banyak kabel yang tak ia mengerti menancap pada kulit mulus Shilla.
 
Pendeteksi jantung yang terus berbunyi membuatnya menggenggam erat knop pintu itu. Ia menunduk sambil memejamkan matanya.
 
 
Mengapa jadi seperti ini?
 
 
Ia pun melangkah setelah menghembuskan napas panjang. Berjalan pelan menghampiri tubuh itu. Setelah dekat dan semakin dekat, air mata mulai menggenang di pelupuknya.
 
Keadaan Shilla sungguh menyedihkan.
 
Luka-luka di wajah dan tangannya. Alat bantu pernapasan yang juga menutupi bibir mungil dan hidung cantiknya.
 
Mata itu terpejam. Sama sekali tak bergerak.
 
 
Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Baru kemarin ia bersama Shilla, membuatkan gadis itu bubur, bercerita panjang lebar. Ia masih melihat Shilla baik-baik saja.
 
Tapi sekarang?
 
 
Cakka menghembuskan napas sambil memejamkan matanya. Membuat beningan itu jatuh membasahi pipinya.
 
Ia duduk di kursi lalu menggenggam tangan Shilla.
 
Menatap tangan itu lama sambil bernostalgia. "Jadi gini rasanya jadi lo dulu."
 
Cakka mengusap lembut punggung tangan Shilla.
"Gini rasanya lo saat nungguin gue setelah operasi. Pantas, saat itu lo marah besar sama gue karena gue mau berantem lagi sama Rio setelah siuman. Jadi ini yang lo rasain."
 
Cakka diam sesaat sambil terus mengusap punggung tangan itu.
 
"Sedih, khawatir, takut. Semua jadi satu karena ngeliat orang yang kita sayang terbaring nggak berdaya kaya gini. Gua baru ngerti sekarang."
 
Cakka kambali diam.
Kepalanya pun bergerak menatap Shilla.
 
"Lo denger gue?" Airmata nya kembali mengumpul. "Gue benci sama diri gue sendiri. Gue sayang sama lo tapi gue nggak bisa jagain lo. Gue selalu berusaha ngeliindungi lo tapi pada akhirnya lo tetep terluka. Gue nggak tahu kenapa harus lo yang jadi korban disini. Lo terlalu baik untuk nanggung ini semua." Ia merasakan ada yang mengalir di pipinya, ia tak peduli dan tak berniat untuk menyekanya.
 
"Tolong gue, Shilla..." Ia terus menatap wajah tenang itu "... gue minta tolong supaya lo kuat. Saat itu gue bertahan karena lo. Gue mohon saat ini.... lo juga harus bertahan. Untuk orang yang lo sayang. Untuk orang tua lo, untuk sahabat lo, untuk gue ....... dan juga Rio."
 
 
 
***
 
 
 
Rio melangkahkan kakinya ke tempat yang lain menunggu. Saat ia datang, semua orang langsung menoleh padanya. Tak ada yang curiga ia habis menangis karena ia sempat mencuci wajahnya saat di toilet tadi.
 
Tapi ekspresi wajah nya yang datar dan semakin dingin menjadikan orang yang melihatnya enggan untuk menegur apalagi berbicara padanya.
 
Rio menatap orang tua Shilla. Entah sadar atau tidak, kini tante Wilda sedang memejamkan matanya sambil bersender di bahu om Andreas, dengan tangan om Andreas yang setia melingkar dipundaknya.
 
 
Andaikan lo liat ini, Shilla?
 
 
Pandangannya seketika teralih ketika pintu di ruang ICU terbuka, menampakan Cakka yang baru keluar dari sana.
 
Cakka menatap Rio. Begitu juga pemuda itu. Bukan sebuah tatapan tajam yang sering mereka lancarkan. Tapi tatapan yang mereka sendiri tak tahu itu apa.
 
Cakka langsung berpaling dan berjalan mendekati sahabatnya.
"Gue udah selesai. Siapa selanjutnya terserah kalian."
 
Semua orang menoleh pada Rio, kecuali Cakka yang kembali duduk di tempatnya lalu menatap lurus ke arah depan.
 
Rio menghembuskan napas.
Dengan berat kakinya pun melangkah, lalu masuk ke dalam ruang ICU itu setelah terdiam lama di depan pintu.
 
 
 
***
 
 
 
Rio masih diam setelah tubuhnya sudah terbalut pakaian steril di dalam. Ia masih belum siap untuk melihat keadaan Shilla sebenarnya, tapi ia ingin bertemu gadis itu, ia ingin melihat nya secara langsung.
 
Dengan pelan Rio melangkah ke arah pintu. Dari jendela kecil buram di pintu, secara tidak jelas ia dapat melihat Shilla terbaring di sana.
 
Ia memejamkan matanya mengusir keraguannya. Dengan pelan tangannya menyentuh knop besi pintu itu, dan sedikit demi sedikit mendorong nya pelan.
 
Saat pintu terbuka, Shilla yang terbaring nampak di depannya. Ia terdiam sebentar karena perasaan kembali berkecamuk di hatinya.
 
Ia menghela nafas lalu berjalan menghampiri Shilla. Pendeteksi jantung yang terus berbunyi itu membuat hatinya teremas dan semakin teremas.
 
Saat ia benar-benar sudah ada disamping Shilla, ia merasakan lagi kehilangan denyut jantungnya. Ia seperti mati rasa melihat keadaan Shilla yang sekarang. Matanya lurus menatap Shilla, tapi gadis itu hanya bisa terpejam tenang.
 
Tangannya dengan gemetar terangkat, menyentuh pipi Shilla yang dingin lalu beralih mengusap kepalanya. Sangat pelan, seakan kepala Shilla sangat rapuh untuk menerima gesekan yang terlalu keras.
 
"Lo ...... marah sama gue?"
 
Rio terdiam sebentar, seakan menunggu Shilla menjawab pertanyaan nya.
 
Diam nya Shilla membuat pandangan Rio memburam, terhalang beningan di pelupuknya.
 
"Jangan kaya gini kalo lo mau ngehukum gue. Gue bener-bener takut sekarang. Gue takut lo nggak betah disamping gue. Gue takut lo muak sama gue. Dan akhirnya lo milih pergi ninggalin gue." Air itu mengalir dipipi nya tanpa ia berkedip
 
"Gue mohon jangan, Shilla. Gue nggak sanggup kalo nggak ngelihat wajah lo. Gue nggak bisa hidup tanpa denger suara lo."
 
Rio menunduk menahan sesaknya. Dada nya seakan terhimpit beton baja sekarang.
 
Berulang kali ia menghembuskan napas. Lalu memilih duduk sambil menggenggam tangan Shilla.
 
"Maafin gue. Gue udah ingkar sama lo. Gue ngejauh dan pergi dari lo. Gue ngebiarin lo luput dari pandangan gue. Gue nggak bener-bener ngejaga lo dengan baik. Maafin gue."
 
Lagi-lagi air itu mengalir. Tapi ia tak peduli, tangan nya semakin menggenggam erat tangan dingin itu. Memberikan kehangatan dari genggaman tangannya.
 
"Lo kuat ya? Orang tua lo, sahabat lo, gue, ..... dan Cakka, bener-bener berharap lo sembuh. Bisa ngeliat lo ketawa lagi, bisa ngeliat lo marah lagi. Gue mohon lo jangan nyerah sama keadaan lo ini. Lo harus berjuang untuk keluar dari koma. Lo harus segera siuman. Kita semua akan selalu di sini nungguin lo."
 
Kepalanya menoleh menatap Shilla. "Gue nggak minta apa-apa dari lo, Shilla. Gue cuma mau lo hidup dalam keadaan baik-baik aja. Cukup itu, gue nggak akan minta lebih."
 
Rio mengambil napas nya karena dada nya semakin sesak. "Gue sayang sama lo. Gue mohon jangan pergi."
 
 
 
***
 
 
 
Hari-hari terasa berbeda untuk mereka semua. Tak ada lagi tawa lepas atau gurauan di tiap hari mereka. Keceriaan mereka seperti menguap. Ditiup angin lalu menyisakan kesedihan.
 
Rio dan yang lain kebanyakan terdiam. Sivia yang terus menoleh dengan sedih ke samping bangkunya yang kosong.
 
Di lain sekolah Cakka dan sahabatnya juga sama, banyak yang membisu tak mau bicara. Ify, Zahra dan Angel kini juga lebih banyak melamun.
 
Perhari tiap pulang sekolah mereka semua selalu menjenguk Shilla. Meski hanya sebentar setidak nya ia bisa menyapanya.
 
Tiap individu dari kubu berbeda itu sering bertemu. Yang biasanya saling emosi dan berakhir dengan perkelahian kini memilih diam dan tak peduli. Mereka tanpa sadar malah bergantian masuk menjenguk gadis itu.
 
Berbeda dengan Sivia, ia justru semakin akrab dengan Ify, Zahra dan Angel.
 
Mereka sering makan siang bersama setelah menjenguk Shilla saat yang lain sedang menjenguknya. Karena demi apapun, mereka tidak akan pergi jika Shilla tanpa ada pengawasan 1 orang pun.
 
Meski pembantu dan pengawal yang dikirimkan orang tua Shilla selalu di sana berjaga bergantian menjaga Shilla, tapi mereka akan lebih tenang jika ada salah satu dari sahabat mereka yang menemaninya.
 
Mereka semua juga sering bertemu orang tua Shilla, terlebih Mama nya. Urusan ke luar negeri yang biasanya orang tua Shilla lakukan seperti di cancel karena kejadian ini.
 
 
 
Dan hari ini, genap satu minggu Shilla terbaring koma.
 
 
Rio berjalan menyusuri koridor rumah sakit, sejenak ia berhenti saat melihat Mama Shilla duduk di depan ruang ICU menahan kantuknya.
 
Rio menghela napas lalu berjalan kembali.
 
Saat sudah dekat, tante Wilda menoleh ke arahnya lalu tersenyum. Wajah cantiknya terlihat letih.
 
"Kamu bangun terlalu pagi."
 
Rio tersenyum kecil.
 
Ia bahkan tidak tidur.
Bagaimana bisa ia tenang memejamkan mata jika setiap keadaan gelap ia selalu melihat Shilla.
 
Harinya benar-benar tidak tenang.
 
 
"Tante istirahat aja dulu. Biar Rio yang jagain Shilla."
 
Tante Wilda tersenyum lalu mengangguk. Ia beranjak berdiri menatap pemuda itu.
"Makasih ya."
 
Rio mengangguk.
 
"Ohya, tante."
 
Wilda yang sudah melewati Rio berbalik.
"Mama sama Papa belum bisa dateng ke Indonesia. Ada kerjaan yang benar-benar nggak bisa ditinggal. Mereka titip permintaan maaf karena belum bisa jenguk Shilla."
 
Wilda tersenyum.
"Nggak papa, sayang. Tante ngerti kok. Bilang sama mereka fokus aja dulu sama pekerjaan nya, oke."
 
Rio tersenyum lalu mengangguk.
 
"Ya udah, titip anak tante bentar ya."
 
"Iya, tante."
 
 
 
***
 
 
 
Rio mengusap kepala Shilla lalu turun ke pipinya. Lukanya sudah mengering, tapi keadaan jantung nya masih sama.
 
Masih mengkhawatirkan.
 
"Hey ....... lo masih betah di alam sana. Lo nggak berniat tinggal di sana kan? Sahabat-sahabat lo di sini, jadi lo harus kembali."
 
Rio diam setelah itu. Matanya menatap lurus pada wajah Shilla.
 
Setelah memandang lama, Rio pun mulai bercerita kegiatan sehari-harinya yang tidak menarik sama sekali. Tak jarang ia menyelipkan kenangan masa kecilnya dalam ceritanya. Membuatnya semakin bersedih karena semua ucapannya hanya dibalas dengan diam oleh Shilla.
 
"Gue pengen denger cerita lo lagi. Celotehan lo tiap harinya, gue bener-bener kangen itu. Sampe kapan lo ngebisu kaya gini?"
 
Suara pintu yang terbuka membuat Rio menoleh. Meski hanya melihat matanya, ia tahu orang itu Cakka.
 
"Sorry, gue nggak tahu kalo ada orang di dalem."
 
"Cakka?"
 
Cakka yang nyaris menutup pintu menjadi terhenti. Ia menatap Rio yang menatap nya .... sayu.
 
"Gue udah selesai."
 
Cakka mengernyit.
 
Ia hanya bisa diam ketika Rio berjalan ke arahnya lalu membuka pintu itu lebih lebar. Tanpa mengucapkan apapun, pemuda itu melewatinya dan melepas pakaian steril yang pemuda itu kenakan.
 
Setelah pemuda itu keluar dari ruang ICU, Cakka memutar kepalanya ke arah pintu yang baru saja pemuda itu tutup.
 
Ia tak tahu apa yang terjadi pada Rio.
Pemuda itu sekarang sering bersikap aneh.
 
Tapi ya sudah lah, ia tak harus memikirkannya.
 
Pemuda itu pun melangkah sambil berpikir. Ia rela membolos hari ini agar dapat bertemu Shilla pagi-pagi. Tapi nyatanya, ia sudah di dului oleh Rio.
 
Memang jam berapa pemuda itu datang?
 
 
 
***
 
 
 
20 menit berlalu. . .
 
Cakka membuka pintu ruang ICU, menatap Rio sebentar yang sedang duduk di sana lalu menutup pintu nya. Cakka berjalan lalu ikut duduk, namun di barisan berbeda.
 
Mereka saling diam. Rio duduk membungkuk sambil menyatukan telapak tangan dengan siku bertumpu di lututnya. Sedangkan Cakka bersender di kursi sambil sesekali melirik Rio.
 
Cakka berdehem sebentar. "Kaya nya ada yang mau lo omongin sama gue."
 
"Memang."
Rio menoleh ke arah Cakka yang cukup jauh dengannya.
 
"Kita bicara di luar."
 
 
Cakka menaikan satu alisnya. Memandang Rio heran yang berjalan melewatinya tanpa sepatah kata.
 
Cakka pun ikut berdiri. Berjalan mengikuti kemana Rio akan membawanya.
 
 
 
***
 
 
 
 
Di taman Rumah Sakit, mereka saling berdiri. Tidak berhadapan sama sekali namun masih berdekatan.
 
"Ada apa?"
Cakka melipat tangannya didepan dada sambil menatapi pohon besar disana yang tertiup angin.
 
Rio sendiri menatapi para pasien yang keluar mencari panas matahari pagi.
 
Mungkin orang yang tidak tahu, mereka berdua tampak biasa saja. Tapi yang mengetahui siapa mereka akan dibuat tercengang. Kedua pemimpin sekolah yang sudah lama bermusuhan dapat berdiri bersama tanpa ada kepalan tangan dan sorotan tajam.
 
Rio menghembuskan napas setelah diam begitu lama,
"Gue pengen sekolah kita damai."
 
Cakka diam mendengarnya. Membuat Rio menoleh heran pada pemuda itu.
 
"Lo nggak kaget?"
 
Cakka berpaling pada Rio. "Nggak. Karena gue berpikir hal yang sama."
 
Malah Rio yang dibuat kaget di sana. Ia pikir Cakka akan mengoloknya dan menertawakannya secara remeh. Ia mengumpulkan keberanian yang besar untuk mengucapkan hal tadi.
 
Ia sangat tidak menyangka bahwa Cakka berpikiran sepertinya.
 
"Kenapa lo bisa berpikiran kaya gue?"
 
Cakka menghendikan bahu. "Mungkin alasan yang sama kaya lo."
 
Ia menatap Rio lurus.
"Karena Shilla."
 
 
Rio tak terkejut mendengarnya, karena sebenarnya ia sudah menebaknya.
 
"Gue sayang sama Shilla. Gue ngebenci diri gue sendiri karena nggak bisa ngelindungi dia. Sekarang dia koma. Dan gue nggak bisa lakuin apapun untuk ngebantuin dia keluar dari sana.
 
Perdamaian adalah hal yang paling Shilla impikan dari kita. Dan gue ..... pengen ngewujudin impian itu."
 
Cakka kembali menatap Rio. "Gue yakin lo juga berpikiran kaya gue."
 
Rio diam menatap Cakka, namun sesaat kemudian tatapan itu ia palingkan.
"Iya, lo bener. Dia itu gadis bodoh yang nggak pengen orang yang dia sayang terluka. Dia yang paling khawatir saat kita tawuran. Keinginan terbesar dia adalah kita damai tanpa saling menyakiti. Sama dengan lo, gue juga pengen ngabulin itu."
 
Cakka terdiam.
 
Begitu pula Rio.
 
"Jadi apa yang mau kita lakuin?"
 
Rio menghela napas. "Kita harus ngomong sama sahabat-sahabat kita."
 
"Akan susah."
 
"Gue tahu. Tapi memang itu jalannya. Setelah sahabat kita setuju, baru kita omongin ke seluruh orang-orang kita. Dan setelah itu, baru kita buat pengumuman ke satu sekolah."
 
Cakka menghembuskan napas. "Jalan yang cukup panjang."
 
"Dan banyak cobaan." Tambah Rio.
 
Cakka menoleh pada Rio. Yang ditatap malah menghendikan bahu. "Akan banyak yang menentang. Gue yakin itu."
 
"Tapi kita harus coba. Jangan nyerah dulu sebelum bertindak."
 
Rio mengangguk.
 
"Dan satu hal yang nyaris gue lupain."
 
Rio menoleh karena nada suara Cakka berbeda, mengernyit karena Cakka yang menggerakan posisinya menjadi berhadapan dengannya. Menatapnya dengan tatapan yang berbeda dari yang tadi.
 
"Gue nggak mau lagi denger lo nyebut Shilla gadis bodoh. Ngerti lo!"
 
"Suka-suka gue."
 
Cakka mengepalkan tangannya mendengar jawaban itu. "Jangan buat gue berubah pikiran untuk berdamai sama lo."
 
Rio tak menjawab dan hanya menatap lurus Cakka. Namun Cakka menatap Rio sama seperti biasanya, tajam dan penuh kebencian.
 
Mereka bertatapan lama. Suasana mencekam itu kembali hadir, di tambah angin yang bertiup kencang menerpa mereka membuat situasi nya berubah seperti biasanya saat mereka bertemu.
 
Tapi itu diakhiri dengan tarikan kecil di sudut bibir Cakka.
"Bercanda." Cakka melepaskan kepalan tangannya, tatapan tajam nya juga berubah. "Kadang Shilla memang bodoh."
 
Cakka berbalik lalu berjalan pelan, meninggalkan Rio tanpa rasa berdosa. "Kita bicara lagi setelah orang-orang gue setuju."
 
Rio tak menjawab dan hanya menatap punggung Cakka yang semakin menjauh.
 
"Brengsek."
 
 
 
***
 
 
 
Rio mengumpulkan sahabat-sahabatnya di tambah Sivia di basecamp mereka. Kebingungan jelas mereka rasakan. Ekspresi den gelagat Rio membuat mereka bertanya-tanya ada apa sebenarnya.
 
"Yo, berapa lama lagi kita nunggu lo bicara?" Ozy mengunyah snack potatto nya sambil menatap Rio yang duduk di kursi tunggal.
 
Alvin membuka botol isotonik di meja lalu meminum nya. "Yah, kita nyaris lumutan nungguin lo ngomong."
 
Goldi mengangguk sedangkan Debo hanya diam.
 
"Gue pengen sekolah kita damai sama Hervic."
 
Ucapan Rio yang tiba-tiba membuat Ozy tersedak dan batuk-batuk, Alvin bahkan nyaris memyemburkan air di mulutnya, sedangkan Debo, Goldi dan Sivia membulatkan matanya tak percaya.
 
"Apa?!"
 
"Lo gila?!"
 
"Bilang kalo ini bercanda!"
 
Alvin, Debo dan Goldi berucap bergantian. Mata mereka menatap Rio menuntut maksud dari ucapannya.
 
"Gue ..... capek sama yang udah kita lakuin."
 
"Yo, koma nya Shilla jangan buat lo lemah." Ozy mulai bersuara setelah membasahi kerongkongannya yang terasa gatal karena tersedak tadi.
 
Rio terdiam sesaat.
"Justru koma nya Shilla ngebuat gue sadar. Kita selama ini bertarung ngelawan mereka nggak ada gunanya. Banyak korban yang udah jatuh karena tawuran itu. Nggak sedikit dari kita yang masuk rumah sakit setelah kita bertarung. Ozy bahkan nyaris kehilangan nyawanya karena hal itu. Lebih banyak kerugian yang kita dapet daripada keuntungan."
 
"Jadi kita harus ngelupain dendam-dendam kita? Jadi kita harus bersahabat sama sekolah yang udah banyak ngelukain orang-orang kita? Bersahabat sama orang yang udah ngebuat Ozy sempat kritis? Bersahabat sama orang yang secara nggak langsung ngebuat kita sempat kehilangan lo? Iya?!" Debo melancarkan semua ketidaksetujuannya.
 
Dan Rio hanya bisa diam sesaat. Sudah ia duga, kasus itu yang membuat mereka susah untuk menerimanya.
"Bukan bersahabat sama mereka tapi berdamai sama mereka. Nggak ada kata tawuran lagi. Nggak ada saling emosi sama mereka."
 
"Jadi lo bilang kita harus ngelupain semua yang mereka lakuin?!" Giliran Goldi yang menentang.
 
"Mereka banyak nimbulin masalah, Rio. Dan kita nggak bisa damai gitu aja sama mereka." Alvin menatap lurus ketuanya.
 
Ozy mengangguk. "Sekolah mereka itu banyak nyusahin sekolah kita. Sekolah mereka ngeresahin untuk murid-murid Expend. Lo jangan ngelupain itu gitu aja."
 
Rio mengangguk.
"Gue tahu. Kita nggak bisa ngelupain apa yang udah mereka lakuin. Tapi percuma kita dendam sama mereka. Sekolah mereka emang banyak nimbulin masalah, nyusahin sekolah kita dan ngeresahin murid Expend, tapi apa kalian pikir sekolah kita nggak kaya gitu?"
 
Mulut mereka langsung terkunci.
 
"Kita juga banyak nimbulin masalah untuk sekolah mereka. Sekolah mereka emang ngeresahin, tapi saat mereka jadi musuh kita. Bayangin kalo kita berdamai, bukan nya keresahan untuk siswa Expend malah hilang? Mereka nggak perlu takut untuk keluar pake seragam. Iyakan?"
 
Mereka tak bisa menjawab.
 
Tapi ketidak setujuan masih terus membelenggu hati mereka.
 
Alvin membuang napas. "Gimana sama Cakka? Lo mau ngelupain semuanya? Tentang dendam lo. Tentang Shilla. Lo mau ngebuang gitu aja?"
 
"Iya."
 
Jawaban pasti Rio membuat mereka tersentak.
 
Goldi menggeleng. "Lo pikir mereka akan nerima kita dengan tangan terbuka? Mereka pasti ngerendahin kita, Rio. Kita minta damai sama mereka, mereka akan ngecap kita kalo kita kalah."
 
"Nggak akan. Cakka akan ngurus itu semua."
 
Debo mengernyit. "Cakka?"
 
Rio mengangguk. "Cakka juga pengen sekolah kita damai. Kita berdua udah bicara tadi pagi."
 
Ozy menghembuskan napas tak percaya. "Bilang kalo ini mimpi. Ini mimpi kan?" Ia menoleh pada Debo yang bergidik melihatnya. "Cakka juga minta damai? Itu nggak mungkin. Tampar gue biar gue bisa bangun."
 
"Dengan senang hati. Kanan atau kiri?"
 
Debo sudah membenarkan duduk nya bersiap menampar Ozy, tapi Ozy langsung menangkup pipinya. "Nggak jadi. Udah, gue udah bangun."
 
Debo berdecak kesal. Ini masalah serius, dan Ozy sempat-sempatnya bercanda.
 
Alvin menaikan alisnya."Cakka juga pengen damai? Lo nggak bercanda?"
 
"Ngapain gue bohong. Akan ngerugiin buat gue."
 
"Tapi kita bermusuhan udah lama, Yo. Bahkan sebelum kita sekolah disini. Kita nggak bisa ngerubah visi misi Expend yang udah dibuat sejak dulu dengan mudah." Goldi berucap dengan lemah, nyaris putus asa dengan perilaku ketuanya itu.
 
"Ini era kita. Kita pasti bisa ngerubahnya. Emang nggak mudah. Tapi apa salah nya kita coba? Untuk kebaikan Expend, untuk kebaikan kita semua."
 
"Rio?" Debo bergumam pelan, masih tidak setuju dengan ketuanya.
 
"Gue tahu ini berat. Tapi kita coba pelan-pelan. Apa kalian nggak capek sama perkelahian kita? Apa kalian nggak capek minggul dendam di pundak kalian? Kebencian itu cuma ngerenggut kebahagiaan kita."
 
Mereka terdiam menunduk.
 
"Jadi gimana? Cakka, ketua musuh kita juga pengen perdamaian itu. Kita nggak perlu berantem lagi sama mereka. Siswa-siswa Expend nggak perlu takut lagi sama mereka. Apa kalian setuju?"
 
Sivia saling meremas jarinya sambil menggigit bagian dalam bibirnya. Berharap mereka berempat setuju. Sungguh ia juga menginginkan perdamaian itu.
 
"Ozy?"
 
Ozy tersentak lalu menoleh pada Rio.
 
"Gimana?"
 
"Kenapa harus gue dulu?" Ozy merajuk kesal.
 
Tapi Rio terdiam tak menjawab dan hanya menunggu jawaban pemuda itu.
 
Lama Ozy tak bersuara, akhirnya ia menghembuskan napas sambil mengangguk. "Gue setuju."
 
Rio tersenyum lega mendengarnya. Awal yang bagus.
 
Ia pun menoleh ke arah Goldi.
Pemuda itu juga tengah terdiam sambil berpikir.
 
"Pikirin hal positivenya untuk sekolah kita."
 
Goldi menunduk sesaat. Namun saat ia mengangkat kepalanya, ia langsung menatap Rio. "Oke. Kita coba."
 
Rio mengangguk sambil tersenyum. Sekarang giliran ia menoleh ke arah Alvin.
 
Alvin berpaling, dan sialnya itu justru mengarah pada Sivia. Gadis itu menatap nya dalam. Meski tidak bicara, ia dapat membaca lewat tatapannya. Gadis itu, tampak seperti memohon padanya.
 
Ia berpaling lagi. Kemanapun asal bukan ke arah Sivia atau Rio. Ia terdiam begitu lama, namun akhirnya, ia memejamkan matanya pasrah. "Gue juga setuju."
 
Sivia tersenyum lebar. Begitu pula Rio. Ia bahagia Alvin akhirnya mengerti.
 
Terakhir Debo, dan Rio tahu ini yang paling susah.
 
Debo diam. Tatapannya lurus menatap Rio. Rio juga membalas nya dengan tatapan penuh keyakinan. Seperti mengatakan, bahwa Debo tidak akan menyesal dengan usulannya.
 
Debo menghembuskan napas. "Nggak untuk jadi teman kan? Cukup berdamai."
 
Rio mengangguk cepat menyadari signal positive itu.
 
Anggukan pelan tergerak dari kepala Debo. "Oke kalo gitu. Gue setuju."
 
 
Rio menghembuskan napas lega mendengarnya. Beban yang menghimpit nya seakan melonggar. Senyum nya melebar menatap mereka.
 
"Makasih. Udah setuju sama permintaan gue."
 
 
 
***
 
 
 
"APA?!"
Keempat sahabat Cakka itu mendelik kaget mendengar ucapannya.
 
Sedangkan Ify, Zahra dan Angel saling berpandangan tak percaya.
 
"Iya. Gue pengen kita damai sama mereka."
 
Irsyad menghembuskan napas keras. "Lo kesambet ya?"
 
"Cakka, ini nggak lucu." Gabriel memandang Cakka gemas.
 
"Gue nggak kesambet. Gue juga nggak lagi ngelawak. Gue serius."
 
"Tapi apa alasannya? Kita udah bermusuhan sama mereka lama. Dan lo pengen kita damai gitu aja? Lo gila?" Sion menatap tajam ketua nya itu.
 
"Kita nggak bisa gini terus. Cuma kesakitan, luka yang kita dapet dari perkelahian kita sama mereka."
 
"Kita punya dendam, Cakka!" Ray yang berucap keras membuat Cakka menoleh.
 
"Iya! Dan dendam itu yang ngebuat Shilla kaya sekarang!!"
 
 
Deg!!
 
 
Emosi mereka meluap dan mulut mereka langsung tertutup rapat.
 
"Kalian ngeliat sendiri keadaan Shilla kan?"Cakka memelankan suaranya. "Shilla koma karena mau ngehentiin kita. Dia yang harus jadi korban dari dendam kita. Apa kalian nggak ada sedikitpun rasa bersalah?"
 
Mereka terdiam dan perlahan menunduk.
 
"Perkelahian sama mereka hanya nimbulin masalah. Kita nggak pernah pulang tanpa ada luka ditubuh kita. Banyak dari kita yang masuk rumah sakit karena perkelahian sama mereka. Itu semua nggak berguna. Kita cuma nyakitin diri kita aja."
 
Sion membuang napas. "Lo nggak seharus nya nyerah."
 
"Siapa yang nyerah? Gue nggak bilang kita nyerah sama mereka. Gue cuma pengen kita damai sama mereka. Nggak ada salah nya kan? Kita nggak perlu berantem kalo ngeliat mereka. Siswa Hervic juga nggak perlu khawatir kalo mereka ketemu sama siswa Expend. Akan banyak keuntungan dari kita."
 
"Lo nggak lupa dendam lo sama Rio kan?" Ray menatap lurus pemuda itu.
 
"Gue udah buang itu semua."
 
Mereka tersentak.
 
"Maksud lo .... lo udah ngelupain semuanya?" Irsyad menatap ketua nya tak percaya.
 
"Iya."
 
"Dan lo mau kita juga kaya gitu?" Gabriel menatap Cakka kesal. "Ngelupain dendam gue sama Alvin. Dendam Sion ke Debo. Dendam Ray ke Ozy. Dendam Irsyad ke Goldi. Lo mau kita ngebuang semua nya dan jadi teman mereka?"
 
"Siapa yang bilang kita harus jadi teman mereka? Kita cuma damai. Nggak perlu ada perkelahian. Cuma bersikap biasa kalo ngeliat mereka. Apa itu susah?"
 
"Susah." Jawab Ray cepat. "Karena terlalu banyak kebencian kita sama mereka."
 
"Setuju." Sion menambahi. "Kaya mana kita ngelampiasin kebencian kita sama mereka kalo nggak dengan cara berantem sama mereka."
 
"Pukul gue."
 
Mereka tersentak mendengar jawaban Cakka. Dari ekspresi nya pemuda itu tidak main-main dengan ucapannya.
 
"Cakka?"
 
"Lampiasin semuanya ke gue. Gue nggak akan ngebales sama sekali."
 
"Cakka?" Kedua kalinya Ify memperingatkan tapi tak digubris pemuda itu.
 
"Gimana?"
 
"Kenapa lo pengen banget damai sama mereka?" Irsyad menatap Cakka tak mengerti. Kenapa pemuda itu begitu ingin berbaikan dengan Expend.
 
"Karena gue nggak pengen ada yang bernasip sama lagi seperti Shilla. Gue terlalu takut kehilangan kalian."
 
Gabriel menghembuskan napas. "Apa lo kira mereka akan nerima tanpa ngeremehin kita?"
 
"Pasti. Mereka pasti nerima. Rio udah ngurus yang di sana."
 
Dahi mereka mengernyit.
"Rio?"
 
"Iya. Dia juga pengen perdamaian itu."
 
Mata mereka semua membulat. Ketua musuhnya juga ingin berdamai?
 
"Jadi gimana?"
 
Mereka saling pandang. Namun sesaat berpaling untuk berpikir pendapat mereka sendiri. Pada akhirnya, mereka menghembuskan napasnya lalu mengangguk. Meski berat, sangat berat, mereka akan setuju dengan keinginan ketuanya.
 
Cakka menghembuskan napas lega. Ia mengusap wajahnya lalu tersenyum lebar ke arah mereka semua.
"Makasih. Gue jamin kalian nggak akan nyesel sama keputusan kalian."
 
 
 
***
 
 
 
Setelah persetujuan dengan sahabat-sahabat mereka, Rio dan Cakka mulai mengumpulkan semua para preman di basecamp mereka masing-masing.
 
Sama dengan saat meyakinkan sahabatnya, banyak hambatan untuk meyakinkan mereka. Banyak sekali yang menentang rencananya.
 
Tapi setelah memberikan pengertian, dengan penuh kesabaran nya Cakka mencoba membuang semua hal buruk yang akan terjadi, dan pada akhirnya, preman Hervic pun menyetujui perdamaian itu.
 
Hal yang tak pernah Cakka sangka sebelumnya.
 
Meski ia melihat banyak keraguan dari sorot mata mereka, tapi Cakka akan membuktikan bahwa perdamaian itu akan banyak menimbulkan hal positive untuk mereka semua.
 
 
Dan hari ini, saatnya ia memberitahu Rio.
 
Ia berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit karena ia yakin Rio sedang menjenguk Shilla.
 
Namun saat di koridor ruang ICU, Cakka hanya melihat Sivia sendirian duduk di kursi tunggu..
Ia berjalan mendekati gadis itu lalu berdiri di depannya.
 
"Rio belum dateng?"
 
Sivia sedikit tersentak karena kedatangan Cakka yang tiba-tiba. Ia menghembuskan napas pelan. "Udah. Dia di dalem sekarang."
 
Cakka menatap pintu ruang ICU.
"Oke kalo gitu."
 
"Eh-" suara Sivia menahan Cakka yang akan masuk ke dalam ruang ICU. "Ada Rio di dalem. Bukannya-"
 
"Nggak papa. Cuma sebentar."
 
Cakka langsung masuk tanpa mempedulikan Sivia.
 
"Cakka? Aduuuuhh." Sivia menggaruk kepalanya frustasi.
 
 
 
***
 
 
 
Rio menoleh saat mendengar pintu berderit terbuka. Ia melihat orang yang sangat ia yakini Cakka masuk lengkap dengan pakaian sterilnya.
 
Kepalanya mengikuti pemuda itu yang berjalan mendekat dan berhenti di seberang nya, tepatnya di sisi lain ranjang Shilla.
 
Mereka saling berhadapan dan bertatapan.
 
Rio menghembuskan napas. "HHhhh... lo mau ngusir gue keluar lagi?"
 
"Lagi?" Cakka menaikan satu alisnya. "Bukannya saat itu lo sendiri yang mau keluar?
 
Rio terdiam.
Tak bisa menjawab karena ucapan Cakka ada benarnya.
 
"Gue belum selesai."
 
"Cuma sebentar. Setelah ini gue pergi."
 
Rio menghembuskan napas lagi sambil memejamkan matanya pasrah.
 
"Ada apa?"
 
Rio melihat Cakka tersenyum, terlihat matanya yang sedikit menyipit di sela masker dan penutup kepalanya.
 
"Gue berhasil."
 
Mata Rio melebar. "Apa?"
 
"Gue berhasil ngeyakinin mereka. Mereka setuju untuk damai." Cakka menghendikan bahu. "Gimana sama lo?"
 
Rio merundukan tatapannya mendengar itu, membuat perasaan tak enak mulai menjalari hati Cakka.
 
"Apa ada masalah?"
 
"Sahabat-sahabat gue udah setuju. Tapi yang lain ..." Rio menghembuskan napas setelah terdiam begitu lama. " .... gue nggak berhasil ngeyakinin mereka."
 
 
Deg!!
 
 
Jantung Cakka seakan berhenti mendengarnya.
 
"Gue gagal."
 
 
Cakka mematung, matanya tak fokus setelah mendengar ucapan Rio.
 
Dengan pelan kepala nya tergerak kearah Shilla. Wajah tenang gadis itu membuatnya sedih. Ia kira ia akan membawa kabar bahagia untuk gadis itu. Ia sengaja mengatakannya disini karena ia ingin keberhasilan rencana berdamai itu bisa di dengar langsung oleh Shilla.
 
Tapi ternyata. . .
 
 
"Bercanda."
 
Mendengar 1 kata itu Cakka langsung menoleh pada Rio. Pemuda yang ditatap malah menghendikan bahu.
 
"Gue juga berhasil. Mereka semua setuju."
 
Cakka mengerjap kesal. "Lo-"
 
"Satu sama."
 
Mulut Cakka mengatup.
 
Awalnya ia tak mengerti apa yang dimaksudkan, namun ketika ia mengingat apa yang telah ia lakukan pada Rio saat di taman Rumah Sakit, ia melengos kesal.
 
"Sial!"
 
Rio tersenyum, ia lalu menjulurkan tangan nya kedepan tepat di atas tubuh Shilla tanpa ragu. "Kita akan ngebuat sejarah baru."
 
Cakka menatap uluran tangan itu lalu tersenyum menatap Rio. "Bukan sebuah kemenangan, . . ." Cakka menerima dan menjabat tangan Rio. " ... tapi sebuah perdamaian."
 
Rio tersenyum.
 
Begitu pula Cakka.
 
Tangan itu menjabat erat di atas tubuh Shilla. Benar-benar berhasil membuat Shilla secara langsung menyaksikan orang yang ia sayang akhirnya berdamai di hadapannya.
 
Tanpa mereka ketahui, sudut mata gadis itu berair. Semakin mengumpul dan perlahan ... air itu jatuh membasahi pelipisnya.





Part selanjutnya,
37. Announcement of Peace
38. Shilla's Choice
Last. End of The Fight

Akan di private ya, khusus untuk following aja. Harap mengerti^^
 

BondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang