Part 32. Terbongkar!

1.9K 54 0
                                    

"Shilla ... dia ..."

Mata bu Lucia memandang sekitar, ia menelan ludah tak kentara saat menyadari semua mata kini menatap nya penuh penasaran.

"Dia ..."


"Dia anak saya."

Oik tersentak, bukan dirinya saja tapi semua orang, termasuk bu Lucia sendiri.


Suara itu berasal dari belakang bu Lucia. Kepada wanita berpakaian serba modis yang merupakan kakak kandung bu Lucia. Orang yang mengeluarkan dana untuk membangun Expend, dan yang sangat mereka ketahui bernama bu Valencia. Wanita yang sangat terkenal di dunia fashionnya


Mata Oik membulat.
"A-apa?"

"Iya. Shilla anak saya, sekaligus keponakan bu Lucia. Itu kenapa bu Lucia tahu semua tentang Shilla."


Sivia, Alvin, Ozy, Goldi, Debo, kepala sekolah, guru dan semua orang yang hadir di pesta dibuat mematung mendengarnya.


Oik menggeleng pelan, dengan mata membulat tak percaya.
"Nggak mungkin."

"Maaf mengecewakan kamu, Oik." Bu Lucia menjawab. "Tapi orang yang selama ini kamu sakiti, orang yang kamu bilang miskin, orang yang kamu anggap lebih rendah dari kamu, sebenarnya anak dari pasangan terkenal Ferby Andreas dan Valencia Wilda, pewaris tunggal dari AndreCia Corp. Dan ... pemilik sebenarnya Expendivic School."


"Hah?!"
pekikan tak percaya terdengar menggema di GSG. Mata Sivia, Alvin dan yang lainnya nyaris melompwt, jantung mereka nyaris terjatuh.


Terkejut. Sangat-sangat terkejut.


"Pangkat Ketua Yayasan yang saya pegang ini, adalah kesempatan yang diberikan kakak saya dulu, agar saya belajar memimpin sebuah yayasan sebelum memimpin salah satu perusahaan keluarga kami. Karena sekarang saya sudah berhasil, pada saat Shilla berumur 18 tahun, sertifikat kepemilikan Expend akan dibaliknamakan atas nama dia."


Mata semua orang semakin membulat.


Terlebih Sivia dan keempat pentolan preman Expend. Rasanya tubuh mereka kaku, dingin, tak bisa bergerak, bahkan sulit sekali untuk bernafas, apalagi untuk menggerakan jari mereka.


"Saya tegaskan sama kamu, Oik." Wilda membuat Oik langsung menoleh ke arahnya. "Shilla bukan mata-mata dari Hervic, karena saya sendiri, yang memindahkan dia kemari."


Shilla mendesah pasrah sambil memejamkan matanya erat-erat, ingatannya mengulang saat Mama nya berhasil menghubungi nomor barunya yang entah beliau dapat dari mana.

Waktu yang bertepatan saat Rio pergi meninggalkannya setelah menunjukan villa yang dapat ia tinggali, saat pertama kali dirinya bertemu dengan pemuda itu dan Alvin seusai dia sadar dari mabuk.


--

Shilla menatap layar hp nya yang bergetar dengan tulisan 'Mama' yang tertera di sana.

Melihat 23 panggilan tak terjawab sebelumnya, hatinya pun terketuk untuk mengangkatnya, meski berat.
"Hallo, Ma."

Terdengar helaan nafas kelegaan dari sebrang telpon,
"Astaga, Shilla. Kamu kemana aja sayang? Mama sama Papa nyariin kamu. Kami khawatir sama kamu."


Shilla terdiam.

Jika kalian khawatir, bisakah kalian bersatu lagi?

Tapi ucapan itu hanya terucap di batinnya, tak ada suara untuk membalas ucapan Mamanya.


"Ada apa?"

"Sayang, pulang nak. Dimana kamu sekarang. Mama jemput ya?"

"Nggak usah."Shilla memotong cepat. "Shilla nggak mau. Shilla nggak bisa nentuin dengan siapa Shilla akan tinggal. Daripada memilih antara kalian berdua ... Shilla lebih baik hidup sendiri."

"Shilla-"

"Apa mama sama papa bisa rujuk lagi?" Shilla kembali memotong.

"Apa?"

"Nggak bisa kan? Karna Mama nggak bisa nurutin kemauan Shilla agar kalian rujuk, ijinin Shilla untuk hidup sendiri, Ma. Agar Shilla juga bisa tenang."


Lama mama nya tak menjawab, hanya terdengar deru nafas Mamanya dalam diam mereka.


"Oke." Setelah sekian lama, mamanya bersuara. "Tapi Mama mau kamu pindah ke Expend."

Mata Shilla membulat. "Apa?"

"Sebentar lagi umur kamu 18 tahun. Sebelum sekolah itu sah milik kamu, kamu harus tahu seluk beluk sekolah kita."

"Tapi, Ma. Dulu kan Mama-"

"Ya mama tahu." Giliran Mamanya yang memotong ucapannya. "Dulu Mama ngizinin kamu untuk tidak sekolah di Expend karena keluarga kita tidak seperti sekarang. Karema kamu sudah dewasa, Mama nggak bisa maksa kamu untuk tinggal sama Mama."

Suara Mamanya memelan. "Mama cuma pengen lebih dekat sama kamu. Mama pengen lebih bisa memantau kamu. Di sana ada tante Lucia, yang akan ngasih tau segala kegiatan kamu di sekolah. Kamu mau ya?"


Shilla terdiam.

Mamanya benar, semua tak lagi sama.
Dengan pisahnya mereka, otomatis semua akan berubah. Kasih sayang yang biasanya saling berbagi, akan menjadi ingin lebih menang sendiri.

Tapi bukankah ini gila?
Pindah ke sekolah musuhnya, sekolah yang ia benci, sekolah yang sangat menyusahkan Cakka.


Tangannya refleks mengepal kuat hp nya mengingat nama itu.

Cakka ...

Matanya tiba-tiba menghangat.


Benar.
Jika ia pindah ke Expend, ia tidak akan bertemu dengan Cakka, ia bisa dengan cepat menghapus segala kenangan yang pemuda itu berikan, ia akan cepat melupakanya.

Setidak nya di sekolah itu, ia bisa aman. Cakka tak akan mudah mendekatinya. Cakka akan kesusahan menemukannya.


"Oke kalo gitu. Shilla akan pindah ke Expend."

Terdengar hembusan nafas lega dari sebrang sana.
"Bagus lah. Mama akan urus semuanya."


Telpon pun Shilla tutup, matanya menatap bangunan yang terlalu megah untuk ditempati nya sendiri.

Baiklah, ia akan memulai semua nya.

Semua tanpa Cakka, semua tanpa mereka.

--


Sivia, Alvin, Debo, Goldi, dan Ozy menoleh ke arah Shilla, gadis itu hanya menatap lurus ke arah panggung tanpa menyangkal.

Membuat mereka tambah yakin ucapan bu Valencia itu benar.

"Dan satu lagi Oik,"

Semua orang kembali menoleh ke arah bu Valencia. termasuk Shilla.


"Jauhi Rio. Dan jangan pernah dekati dia lagi. Asal kamu tahu, Rio bukan hanya teman biasa untuk Shilla. Karena saat mereka kecil, mereka sudah bersahabat."


Deg!!


Jantung mereka semua diuji lagi mendengarnya, mata mereka kembali membulat, mulut mereka terbuka tak percaya.


Sivia langsung memegang dada nya mendengar itu, terlebih Alvin, Goldi, Ozy dan Debo. Mereka lebih mematung, lebih membeku, semakin tak bisa bergerak lagi.

Ini .... adalah kabar yang tak pernah mereka dengar.


"Sejak mereka lahir, mereka sudah bersama. Orang tua Rio adalah sahabat saya dan mantan suami saya. Dan juga ... kami sudah menjodohkan mereka."


Jdar!!


Oik tersentak bukan main.

Begitu pula yang lainnya, terlebih Sivia dan sahabat Rio. Mereka seketika blank!
Tak mampu untuk berpikir jernih.


"A-apa?"
Alvin tak sanggup mengatakan hal lain selain 3 huruf itu. Setidaknya ia masih sanggup bersuara tidak seperti Ozy, Goldi dan Debo yang makin diam mematung dengan wajah pucat mereka.


Sivia nyaris ambruk jika badannya tidak ditahan oleh Alvin, kaki nya sangat lemas, tulang nya ia rasa menghilang tak berbekas.

Kabar yang ia terima secara beruntun ini, sulit untuk otak dan hatinya terima.



Shilla hanya merapatkan matanya melihat semua rahasia nya terbongkar sekarang. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan ia tak sanggup berteriak mencegah mamanya.


"Jadi jangan pernah dekati Rio lagi dan jaga mulut kamu saat berbicara mengenai anak saya!"

Oik diam tak berkutik, kepalanya tertunduk dan jari tangannya saling meremas takut.


Wilda pun turun dari panggung sesaat sebelumnya menarik Rio agar ikut dengannya.

2 orang itu berjalan ke tempat dimana gadis cantik itu masih menunduk.


"Maafkan Mama, Shilla."

Shilla membuka mataya dengan kepala terangkat. Terlihat Mamanya sudah ada di depannya dan Rio yang ada di belakang Mamanya.

"Maaf karena Mama ngebongkar semuanya. Mama nggak sanggup lagi melihat kamu diperlakukan seperti ini. Mama nggak bisa tutup mata melihat kamu direndahkan lagi. Mama ngelakuin ini karena Mama sayang sama kamu."


Wilda semakin mendekat lalu merengkuh tubuh anaknya.


Awalnya Shilla ragu, tapi pada akhirnya tangannya terangkat membalas pelukan itu.

Tak ada yang bisa disalahkan, Mamanya wajar melakukan itu.


Ibu mana yang tahan mendengar anaknya dihina di depan matanya.


Tidak ada.
Tak akan pernah ada.


Mamanya melepas pelukannya, membelai pipi anaknya yang sangat halus.

Melihat bibir Shilla tertarik membentuk senyuman indah, ada kelegaan di hatinya karena anaknya pasti memaafkannya.


Kepala Wilda langsung menoleh ke arah Sivia yang tubuhnya masih ditopang oleh Alvin.
Saat ia mendekat, tubuh gadis itu sedikit demi sedikit menegak meski sedikit kaku.

"Kamu Sivia kan?"

Sivia sedikit tersentak, dengan pelan kepalanya mengangguk.

"Saya selalu memperhatikan kamu. Terimakasih ya, sudah mau berteman dengan Shilla."

"Hah? Ng, i-iya."

Wilda tersenyum lalu memeluk singkat gadis itu, dirasakan nya tubuh itu sedikit menegang. Mungkin kaget. Tapi itu wajar saja.

Saat pelukannya ia lepas, matanya langsung menyapu ke arah pemuda-pemuda di sekitar nya.


Alvin, Ozy, Debo, Goldi dan para preman yang lain.


"Makasih ya, kalian sudah mau menjaga anak saya. Dan mau berteman dengan dia."

Mereka tak menjawab dan hanya mengangguk pelan.
Terlalu mengejutkan untuk mereka bahwa wanita terkenal itu ternyata adalah mama Shilla.


"Rio."

Rio menoleh, dan semua orang kini menatapnya.

"Jaga anak tante ya?"

Dengan mantap Rio mengangguk. "Pasti,tante."


Wilda tersenyum singkat lalu melangkah pergi sesaat sebelum nya menyempatkan diri tersenyum pada Shilla.


Pak Bachtiar, yang juga bisa disebut Kakek Shilla. Pak Rossi, paman Shilla dan bu Dara yang sudah Shilla anggap tante kandungnya ikut turun dari panggung dan berjalan ke arah yang sama dengan Mamanya.

Sedangkan bu Lucia, masih ada di panggung menatap pak Fikri tajam.


"Pasti ada konsekuensi dari perbuatan anak bapak. Kita liat nanti apa yang akan terjadi."


Dan bu Lucia pun turun, meninggalkan Oik dan orang tuanya yang menegang ketakutan.



Di tempat lain, di bawah panggung.

Alvin, Rio, Shilla, Sivia dan yang lain masih terdiam.


Tapi helaan nafas panjang Alvin membuat mereka menoleh.

"Kalian berdua." Alvin bergantian menatap Rio dan Shilla. "Ikut kita ke basecamp."

Alvin pun pergi keluar, diikuti yang lain dan juga Rio serta Shilla.


Melihat preman Expend pergi, mereka semua pun ikut berjalan keluar dari GSG Expend. Meninggalkan Oik dan orang tuanya yang masih terdiam.

Semua panitia yang bertanggung jawab pada pesta Oik hanya menatapi sekitar nya sedih. Gedung itu berubah sepi, makanan pun masih banyak tersisa.


Oik langsung jatuh terduduk, mengeluarkan airmatanya dan menangis sejadi-jadinya.


Ia kira hari ini adalah hari istimewanya. Tapi apa yang terjadi, semua ini bertolak belakang dengan keinginannya.

Ini yang terburuk. Hari ini adalah hari paling buruk dalam hidupnya.



***



Shilla dan Rio duduk di sofa yang sudah lama tak mereka duduki. Tempat ini, adalah tempat terakhir yang sekaligus menjadi saksi pernyataan pengunduran diri Rio.

"Kalian mau bicara apa?"

Shilla yang merasa lelah hanya ditatapi mereka akhirnya buka suara,

Alvin menghela nafas bingung.
"Banyak! Banyak banget yang mau kita tanyain, sampe kita bingung harus mulai dari mana."

Shilla merapatkan bibirnya lalu menunduk lagi.

"Kenapa lo bisa jadi anak mereka?" Ozy yang langsung dapat tatapan bingung dari mereka semua karena pertanyaan konyolnya langsung menghempaskan tangannya. "Ah, bukan-bukan. Maksud gue, kenapa lo nggak pernah bilang kalo lo anak mereka?"

Shilla diam sejenak.
"Karena gue pengen hidup beda di sini. Jadi siswa biasa tanpa sorotan segan dari semua orang. Gue pengen hidup mandiri dengan uang yang gue hasilin sendiri, itu kenapa gue ngambil jalur beasiswa agar gue nggak ngegunain uang orang tua gue. Meski akhirnya gue ngundurin diri setelah Rio nentang gue."

"Jadi lo pindah karena disuruh nyokap lo? Bukan karena disakitin Cakka?" Goldi yang bertanya.

"Alasan sebenarnya adalah karena nyokap gue. Dan Cakka, adalah alasan penguatnya."

Debo mengernyitkan dahinya. "Apa mungkin, waktu bu Lucia ngebebasin kita dari hukuman saat pengawal Alvin mengacau di sekolah, itu juga karena lo?"

Shilla tak langsung menjawab, namun mata yang terus menyorotnya, membuat kepalanya mengangguk pelan.


--

Shilla menatap pintu yang di atasnya bertuliskan ruang ketua yayasan. Sebenarnya ia malas, terlebih pertemuannya dengan Oik tadi semakin membuat moodnya hilang.


Tapi mau tak mau, tangannya terangkat mengetuk pintu itu. Setelah mendengar seruan dari dalam, ia pun mendorong pintu itu lalu masuk keruangan ketua yayasan.


Lucia mendongak lalu tersenyum kala melihat keponakan yang sangat ia sayangi itu muncul, ia bangkit dari kursi kerjanya meninggalkan berkas yang tadi ia kerjakan lalu berjalan memeluk Shilla erat.

"Apa kabar, sayang?" Tangannya mengusap belakang kepala Shilla.

"Baik-baik aja."
Shilla melepaskan pelukan yang nyaris membuatnya kehilangan nafas.

"Ada apa?" Tak ingin lama-lama, Shilla ingin langsung ke pointnya agar cepat pergi.

Lucia memicing. "Kamu ini buru-buru amat. Kamu tahu, tante belum ketemu sama kamu sejak orang tua kamu berpisah. Kamu menghilang tanpa jejak, sebenarnya kamu kemana sih?" Lucia memandang keponakan nya itu gemas.

Shilla berpaling memandang apapun. "Cuma liburan aja, untuk nenangin otak."

"Kamu nggak berniat untuk pulang?"

"Pulang?" Shilla tersenyum sarkartis. "Shilla bahkan nggak tahu harus pulang kemana."

"Shilla-"

"Bukannya tante manggil aku karena mau bicarain kepindahan aku." Shilla berpaling cepat ke arah tantenya. "Bisa kita bicarain itu aja?"

Lucia memandang Shilla lamat namun hanya bisa menghembuskan nafas pasrah pada akhirnya.

"Oke, ayo duduk."


Shilla duduk di kursi yang ada di depan meje bu Lucia, di susul bu Lucia yang duduk di depannya.

"Oke, kamu pasti tahu kan alasan kamu di sini kenapa?"

Shilla menghela nafas lalu mengangguk,

"Tante mau kamu belajar dari sekarang."

"Apa?" Kedua alis Shilla terangkat. "Nggak mau, Shilla masih pusing sama urusan Shilla, jangan tambahin beban Shilla lagi."

"Tapi Shilla, kamu nggak bisa nolak. Ini tugas kamu, kamu nggak bisa lari dari tanggung jawab ini. Keluarga kamu sekarang udah beda, kamu harus belajar untuk jadi pemimpin. Kamu ngerti?"

"Aku harus belajar apa? Shilla ini masih sekolah. Shilla belum siap."

"Siap nggak siap, kamu harus siap! Kamu bukan remaja biasa, ribuan keluarga pegawai bergantung sama perusahaan papa dan mama kamu. Sebentar lagi kamu akan berumur 18 tahun, sekolah ini akan sah jadi milik kamu. Tante mau kamu belajar seperti tante, memimpin yayasan ini, sebelum memimpin sebuah perusahaan. Pelajari semua tentang Expend, kembangkan sekolah ini menjadi lebih baik. Jelas?"

Shilla terdiam lalu menghela nafas pasrah.


Baru saja ia dipusingkan karena semalam orang tua Alvin pulang, Cakka yang pagi tadi tiba-tiba datang ke sekolahnya memberi bunga, dan kecurigaan Rio yang masih belum surut. Ditambah lagi ancaman Oik yang entah benar atau tidak.

Lalu apalagi ini?

Ya Tuhan ...


"Tante juga akan ambil tindakan terhadap siswa-siswa Expend yang sering sekali tawuran dengan sekolah lain."

Mata Shilla yang semula tertutup langsung terbuka, menatap tantenya yang mulai sibuk membaca dokumen nya yang tadi ia acuhkan.

"Tante akan melakukan sesuatu agar siswa yang seperti preman itu tidak berulah lagi."

"Jangan!"

Pekikan keras itu membuat kepala bu Lucia langsung terangkat. Menatap keponakan nya itu heram.

"Jangan sentuh mereka. Jangan lakuin sesuatu terhadap mereka."

Dahi Lucia mengernyit.

"Tante nggak tahu apa-apa soal mereka. Mereka lah yang ngebuat Expend ini kuat. Mereka lah yang ngebuat Expend nggak dipandang remeh sama sekolah lain. Mereka lah yang ngebuat siswa di luar sana ngerasa segan sama kita. Shilla tahu mereka, Shilla tahu sistem mereka, jadi jangan pernah lakuin apapun sama mereka."

Lucia terdiam mendengar kata perkata Shilla.

Meski ia kurang paham, ia hanya mengangguk sambil tersenyum.


"Oke. Sepertinya kamu yang lebih tahu soal Expend ini. Itu melegakan. Jadi kamu setuju?"

Shilla membuang muka.
"Shilla nggak bisa jawab 'nggak' kan?"

Lucia tersenyum manis seraya mengangguk. "Tepat!"

Shilla menghela nafas lalu berdiri, "Shilla akan belajar, sedikit demi sedikit. Dengan satu syarat, apapun yang terjadi, lindungi mereka."

Lucia mengangguk, ringan sekali karena mereasa tak dirugikan.
"Baiklah, tante setuju."

"Dan satu lagi." Shilla membuat Lucia merapatkan bibirnya.

"Disini ... nggak ada kata 'tante', bu Lucia."


Lucia terdiam beberapa detik lalu tertawa kecil.
"Maaf maaf, tante lupa."

Shilla menaikan alisnya.

"Ah, maksudnya... ibu lupa."


Shilla mengangguk. "Oke, Shilla mau ke kelas. Salam untuk Cello."

Shilla pun melangkah pergi setelah mengucapkan salam untuk anak laki-laki bu Lucia-sepupu nya- yang masih kecil itu.

Tak peduli dengan permintaan tante nya itu yang meminta nya langsung untuk menemui Cello, Shilla terus melangkah dan menarik pintu itu lalu keluar dari ruangan tantenya.

--


"Karena itu, bu Lucia ngebuat Alvin nggak jadi ikut sama pengawalnya, ngebebasin kalian dari hukuman, dan secara nggak langsung ngelindungi kalian."


Lama mereka diam.

Tentu saja tak menyangka, siapa yang tahu kalau ternyata salah satu orang yang mereka lindungi malah melindungi mereka

"Tunggu dulu," Alvin memecah keheningan. "Nyokap lo tadi bilang kalian sahabat waktu kecil, sejak kapan kalian sadar sama hal itu. Karena setau gue, saat kalian ketemu, kalian nggak kenal satu sama lain."

"Apa kalian inget cerita gue soal gue dijodihin? Nyokap gue yang minta gue nemenin dia makan malem untuk ketemu anak temannya?" Rio bertanya pada mereka.

Mereka terdiam berpikir,

"Jadi cewek itu-"

"Iya." Rio memotong ucapan Goldi. "Cewek itu Shilla."

Mereka semua mematung, shock dengan kenyataan sebenarnya.

"Dan malam itu, gue baru tahu kalo Shilla sebenarnya sahabat kecil gue."

"Jadi cowok yang katanya mau dikenalin sama lo itu ... Rio?" Mata bulat Sivia menatap lurus Shilla, gadis itu memejamkan matanya sesaat sambil menghembuskan nafas.

"Iya, sebenarnya yang mau ngenalin gue itu bukan temen gue di salon. Tapi nyokap gue."

Sivia menutup mulutnya dengan satu tangannya tak percaya.

"Maafin gue."

"Tunggu tunggu ..." Ozy bersuara lagi. "Kenapa cuma gue yang nggak tau kalo Rio mau dijodohin?"

Debo menghembuskan nafas, "Dia cerita saat lo masih kritis."

"Ah ..." Ozy mengangguk paham. "Pantesan."

"Gue masih nggak nyangka kalo kalian udah kenal lama."

Shilla tersenyum mendengar ucapan Goldi.

"Gue bahkan mengenal dia sebelum gue mengenal abjad. Dan sampai umur kita kurang lebih 6 tahun, gue selalu bareng sama dia. Ngabisin waktu bersama-sama. Dan Adit ..." Shilla menepuk pelan pundak Rio. "... selalu ngelindungi gue."

"Adit?" Debo menaikan satu alisnya.

Shilla tersenyum dan mengangguk. "Panggilan kecil gue ke Rio."

Debo tak bersuara tapi mengangguk paham.


"Kalian sekarang tahu kan, betapa berharga nya Shilla buat gue."

Alvin, Sivia, Debo dan semua orang mengalihkan pandangannya pada Rio.

"Saat gue ninggalin kalian di lapangan waktu lagi berhadapan sama Hervic, yang gue pikirin cuma Shilla, gue nggak mau dia kenapa-napa. Ngedenger Shilla dalam bahaya ngebuat gue nyaris gila. Gue nggak mau kehilangan dia lagi. Gue nggak bisa lagi berpikir jernih dan langsung pergi untuk nyelametin dia.

Gue percaya kalian bisa jaga diri. Gue percaya kalian bisa ngadepin mereka. Kalian kuat, gue percaya itu. Tapi Shilla?" Rio terdiam menatap mereka. "Dia butuh gue."


Mereka semua tertunduk dibuatnya.

Diam tak bisa menjawab.


"Dia adalah orang yang gue tunggu selama ini. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama dia. Maaf, tapi dibandingkan kalian, dia jauh lebih berharga."


Mata Shilla memanas, tak bisa dipungkiri kata-kata Rio sungguh menyentuhnya.


"Kalo lo emang sayang sama Shilla ..."

Mata Rio beralih menatap Alvin, memandang sahabatnya yang duduk di depannya.

"Kalo lo beneran nggak mau kehilangan dia," Alvin melanjutkan ucapannya sambil menatap lurus Rio yang fokus mendengarkan. " .... kembalilah. "

Rio tersentak, begitu pula Shilla yang matanya ikut membulat.

Mereka melihat kedua sudut bibir Alvin tertarik.
"Expend ... bener-bener butuh lo."


Rio diam menegang.

Tapi tidak untuk mereka yang ada disekitarnya, semua orang tersenyum dengan wajah bahagia.


Shilla tak kuasa menahan senyum lebarnya meski pipi nya basah karena air matanya. Kepalanya menoleh kearah Sivia yang ikut tersenyum bahagia.

Hatinya benar-benar terasa lapang saat kata itu terucap dari mulut Alvin.


"Kembalilah, Rio. Kembalilah jadi ketua kita."



***



Belum 24 jam waktu berselang, kabar menghebohkan mengenai Shilla sudah tersebar di dunia maya. Segala macam social media kini tengah ramai membicarakan gadis itu. Belum berganti hari namun seluruh siswa Expend kini sudah tahu, dan seperti yang di duga, mereka semua tidak percaya.

Namun video amatir pengakuan bu Valencia dan segala kebenarnya yang diunggah ke youtube oleh salah satu siswi kelas 11ipa, membuat semua orang di Expend tak bisa menyangkal kabar itu.

Bahkan .... kabar itu kini sudah terdengar ke telinga musuh besar mereka.


Nafas mereka serasa tercekik saat Angel memperlihatkan video di notebooknya.


"S .. Shi.. Shilla-"
Begitu sulitnya Cakka menyebutkan nama yang sering ia sebut itu sekarang.

Perasaan shock lagi-lagi dibuat oleh Shilla.
Entah untuk keberapa kalinya gadis itu menyembunyikan hal yang sangat mengejutkan.


"Shilla .... pemilik Expend?"
Wajah tak menyangka Ify pancarkan seraya ia menonton video menghebohkan itu.

"Kenapa ... kenapa dia nggak pernah cerita?" Mata Gabriel tak fokus menatap layar monitor notebook Angel.

Layar itu kini menunjukan wanita yang sangat cantik itu di tengah umurnya yang tak bisa lagi dibilang muda tengah turun dari panggung bersama musuh besar mereka -Rio-.

Ray beranjak dari duduknya dan berjalan menegak minuman di atas meja. "Kenapa dia malah sekolah disini kalo Expend itu sekolah nya?" Ray mengepal gelas di tangannya kuat setelah isi nya tandas.
"Dia nggak berniat untuk ngehancurin Hervic kan?"

"Apaan sih lo?" Zahra ikut berdiri, menatap pemuda gondrong itu tak terima. "Shilla nggak mungkin kaya gitu!"

"Kalo gitu kasih gue alasan!" Suara Ray meninggi. "Kenapa dia sekolah di Hervic kalo nggak untuk nyari informasi untuk ngehancurin sekolah kita! Sekolah yang sangat nyusahin sekolahnya?! Kita semua tahu gimana Shilla. Perusahaan aja bisa hancur di tangan dia apalagi cuma sekedar yayasan! Apa lagi dia sekarang balik ke sekolah nya, dia pasti berencana untuk nyerang kita dan-"

"RAY!!"
gertakan Irsyad membuat Ray langsung tersadar.

Pemuda itu langsung terdiam, namun tangannya langsung membanting gelas di tangannya sekuat tenaga karena merasa kesal.

"Nggak mungkin, bodoh." Ray menggeleng kuat sambil menutup matanya, membuang semua spekulasi buruknya tadi terhadap Shilla. "Shilla sahabat kita. Dia nggak akan tega untuk nyakitin kita. Nggak mungkin. Itu semua nggak mungkin." Tangannya meremas kepalanya.


Cakka terdiam.

Kepalanya menunduk, berulanng kali pemuda itu mengatai dirinya sendiri dalam hati. Menyalahkan dirinya karena tak pernah tahu soal ini.


Ternyata ... gue emang nggak tahu apa-apa soal lo.



***



Rio masih terdiam belum menjawab.

"Lo nggak mau?" Goldi membuat wajah mereka berubah cemas.

Rio mengerjap. "Bukan gitu. Cuma ... apa kalian serius? Kalian nggak takut kecewa lagi?"

"Bodoh." Debo menarik ujung bibirnya. "Gue malah merasa terharu sekarang. Kalo aja lo cerita dari awal siapa Shilla, kita nggak akan pernah marah sama lo."

Ozy tersenyum. "Lo tahu? Belum ada yang bisa ngegantiin posisi lo sekarang."


Rio diam, namun sedikit demi sedikit bibirnya tertarik. Membentuk senyuman indah penuh kelegaan.

Namun itu hanya sebentar. Senyum singkat tadi luruh berubah menjadi mimik serius. Kepala nya menegak menatap mereka semua.

"Gue akan kembali dengan satu syarat."

"Syarat? Pamrih banget sih lo." Sivia mengerucutkan bibirnya.


Tak peduli dengan itu, Alvin mengangguk.
"Lo minta apa?"

"Batalin kepergian lo ke New York!"


Mereka semua tersentak kaget. Terkejut bukan main karena Rio yang mengucapkan itu sambil menatap Alvin. Kepala mereka pun ikut menoleh, menatap pemuada sipit itu tak percaya.


"Apa maksudnya?"

Tak peduli pertanyaan Sivia, mata Alvin masih membulat memandang Rio yang kini menatapnya tajam.


Darimana pemuda itu tahu?


Seakan dapat membaca pikiran sahabatnya, Rio membuang nafas.
"Shilla udah cerita sama gue sebelum berangkat ke pestanya Oik. Itu yang ngebuat kita telat karena terlalu lama mikirin cara supaya lo nggak jadi pindah."

Alvin menunduk setelah sebelumnya melirik ke arah Shilla.

"Dia udah nyari tahu dari nyokapnya yang kebetulan adalah teman kuliah nyokap lo. Nyokap lo yang cerita kalo anaknya akan ikut dia ke New York."


Semua orang disana masih kaget tak bersuara.


"Itu ... beneran?" Air mata Sivia tak terasa mengalir.

"Tega lo ya mau pergi ninggalin kita! Apa alasan lo, hah?" Wajah Debo memerah marah.

"Saat itu, gue nggak sanggup nanggung beban gue setelah Rio pergi."


"Lo nggak boleh pergi, Vin. Nggak boleh!" Ozy menatap Alvin dengan wajah yang memucat ketakutan. Takut sahabatnya benar-benar akan meninggalkannya.

"Pengecut, batalin itu semua!" Suara Goldi meninggi.


Dengan berat Alvin menggeleng.


Tangis Sivia pun pecah melihatnya.
"Rio udah balik, jadi lo nggak usah pergi. Ya?" Suaranya serak, tangannya pun menarik-narik kemeja Alvin tanda memohon.

Alvin menunduk.
"Maaf, tapi bokap gue udah ngurus semuanya."

Nafas mereka tercekat.
Termasuk Shilla.

Gadis itu melirik Rio yang menghela nafas sambil merebahkan punggungnya membentur badan sofa.


Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan?



***



Ify menggeser pintu transparan itu lalu berjalan mendekat ke kolam renang. Ia berdiri sambil membawa satu mug coklat panas dan satu kaleng minuman bersoda di dekat sisi kolam seraya memperhatikam pemuda yang sedang berenang di sana.

Pemuda itu yang sadar keberadaan seseorang selain dirinya pun menoleh, tersenyum singkat saat mengetahui itu Ify.

"Ngapain lo malem-malem berenang?"

"Gue pengen ngejernihin otak gue yang lagi keruh sekarang."

"Apa berhasil?"

Cakka menghendikan bahu. "Seenggaknya sekarang lebih ringan."

Ify tersenyum. "Cepet keluar, lo bisa mati kedinginan kalo kelamaan di sana."

Cakka terkekeh namun menurut. Ia berenang ke tepi kolam, berjalan menaiki tangga lalu keluar dari sana.

Ify berjalan mendekat saat Cakka mengenakan handuk kimono putihnya, meletakan mug coklat panas nya di atas meja lalu duduk di kursi di dekat sana.

Cakka ikut duduk di lain kursi dengan tangan yang mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Soal Shilla?"

Cakka mengangguk, tangannya mengambil mug diatas meja lalu menangkup mug yang terasa hangat di tangannya. Matanya menatap kosong air kolam yang tenang di sana.
"Gue setahun lebih pacaran sama dia. Tapi apa yang gue tahu? Gue nggak tahu apa-apa."

Ify diam sambil memainkan kaleng soda di tangannya.

"Bayangin aja, gue tahu dia orang kaya karena insiden perusahaan papa Zahra. Gue tahu dia sahabat kecil Rio dan sempat dijodohin sama Rio karena Gabriel. Dan sekarang ... gue tahu dia pemilik Expend dari informasi yang di dapet Angel. Jadi apa yang gue tahu soal Shilla?"

Ify diam sejenak lalu memhela nafas panjang.
"Lo nggak tahu apa-apa soal Shilla karena lo nggak terlalu peduli asal usulnya dia. Lo mencintai dia apa adanya. Lo sayang sama dia tulus tanpa peduli sebenarnya dia siapa. Lo tahu semua tentang dia kecuali identitasnya. Lo tahu semua sikap nya, apa yang dia mau, apa yang dia nggak suka, baik buruknya dia, lo tahu semuanya. Jadi berhenti nyalahin diri lo. Dia yang terlalu pinter untuk nyembunyiin itu semua dari kita."

Cakka tak bersuara. Namun dengan perlahan, bibir nya tertarik sambil menoleh.
"Mungkin lo bener. Makasih ya."

Ify mengangguk.

Cakka membuang nafas panjang. "Hhh... gue jadi lega sekarang. Gue masuk dulu." Cakka berdiri lalu pergi sesaat sebelumnya mengacak pelan rambut Ify ketika melewati gadis itu.

Ify hanya tersenyum lalu berpaling ke depan. Membuka segel kaleng sodanya lalu meminumnya.

"Kata-kata yang bagus."

"Astaga!" Ify tersentak sambil memegang dadanya, menoleh dengan perasaan kesal seraya mengusap soda yang tumpah ke pipinya.

"Lo ngagetin gue!"

Gabriel tertawa lalu duduk di tempat Cakka tadi.

"Gue terharu denger kata-kata lo."

"Lebay!" Ify kembali meminum soda nya tak peduli dengan Gabriel yang terus memperhatikannya.

"Lo itu kurangin minuman bersoda, nggak bagus buat tulang lo."

Ify hanya menoleh menunjukan wajah tidak setuju nya.

"Gue serius. Lo bisa osteoporosis dini tau nggak."

"Bukan urusan lo!" Ify memalingkan lagi kepalanya kedepan.

"Jelas urusan gue lah. Kalo lo osteoporosis dini, yang ngurusin gue sama anak kita nanti siapa?"

Ify mendelik dan refleks menoleh.
"Apa?!"

Gabriel menyeringai lalu mencari objek apapun di sekitarnya, saat ia menemukan coklat panas di atas meja, ia lalu mengambilnya.
"Coklat nya gue minum ya?"

Tak menunggu jawaban, Gabriel lalu menyesap coklat yang masih panas itu. Mengalihkan agar Ify tak marah-marah padanya.

Mata nya sedikit melirik ke Ify, ia tersenyum saat melihat kelakuan Ify yang akan meminum kaleng soda itu namun diurungkannya dan meletakan kaleng itu kasar ke atas meja.



***



Shilla menoleh ke samping, dilihatnya Rio masih tertidur di sampingnya dengan kepala yang disanggah tangannya sambil menatap bintang di langit. Mereka berdua yang berbaring diatas kap mobil Rio yang terparkir di dekat danau villanya terdiam selama beberapa menit mendalami pikiran mereka masing-masing.

"Udah nemuin caranya?" Rio yang merasa diamati hanya dapat membuka suaranya untuk mengalihkan pandangan nya Shilla agar tak menatapnya.

Dan ternyata berhasil, Shilla menggeleng lalu menatap langit lagi.
"Nggak tau. Otak gue buntu."

Bintang di atas dengan gagah nya bertabur tanpa ragu, membuat langit gelap itu menjadi terang dan indah.

Shilla menggeser kan punggung nya hingga kepalanya bertengger di pundak Rio. Pemuda itu tersenyum setelah melirik Shilla sebentar.

"Gue udah seneng lo bisa balik, sekarang Alvin yang mau pergi."

"Dia nggak akan pergi. Gue nggak akan biarin itu."

"Tapi gimana caranya?" Suara Shilla memelan. Tangannya pun bergerak merangkul tangan kiri Rio yang masih bebas. "Kita dari tadi nggak bisa nemuin satupun ide."

Rio tak menangkap apa yang Shilla katakan, ia lebih menetralisir hati nya yang tiba-tiba tak menentu. Diperlakukan orang yang ia sayangi seperti ini membuat jantung nya berdegup kencang.

Tapi ia memilih diam, ia tak ingin Shilla malah menjauh jika ia menyinggung lagi perasaan nya.


"Yo?"

"Hm?"

"Besok, mereka semua akan natap gue dengan beda. Jujur gue nggak mau." Shilla mempererat pelukan nya terhadap tangan Rio. "Gue pengen mereka natap gue kaya dulu."

"Mau gimana lagi?" Tangan kanan yang menyanggah kepalanya pun ia lepas dan membiarkan kepalanya menyentuh kaca depan mobilnya. "Lama kelamaan, rahasia lo emang akan kebongkar. Lo nggak bisa egois, nyokap lo berhak ngomong itu semua."

Shilla menghela nafas panjang lalu beranjak duduk. Kaki nya ia lipat hingga dagu nya dapat diletakan diatas lututnya.

Diam Shilla membuat Rio ikut duduk, menatap Shilla sebentar lalu menatap apa yang gadis itu lihat. Pantulan rembulan dari air di danau buatan itu. Riak kecil yang membuat air nya sedikit bergerak namun tenang.

"Udahlah." Tangannya mengacak pelan rambut Shilla. "Hidup lo emang harus nya gitu. Lo nggak bisa terus-terusan lari. Udah saatnya lo jujur sama semua orang siapa lo. Dan itu nggak buruk-buruk banget kok. Lo tetep bisa jadi Shilla yang lo mau."

Shilla menoleh lalu tersenyum, ia pun menubruk tubuh Rio dan menenggelamkan kepalanya didada bidang itu.

Jika Rio tak bisa menjaga keseimbangan, dapat dipastikan ia akan terjengkang jatuh ke bawah.

"Lo ngagetin gue." Meski nada nya kentara sekali kesal, namun tangannya tetap mengusap kepala Shilla sayang.

Shilla tertawa kecil. "Semua akan keliatan mudah setelah lo ngomong. Gue nggak tahu kenapa."

"Gue juga nggak tahu." Rio tersenyum.



***



"Apa bisa Alvin batalin kepergian Alvin ke New York?"

"Nggak bisa!" Papa Alvin menatap anak nya tajam. "Papa udah urus semua nya. Kepindahan sekolah kamu, pendaftaran sekolah kamu yang baru, semua udah papa urus. Jangan seenak nya membatalkan apa yang sudah kamu putuskan semudah membalik telapak tangan. Apapun alasannya, kamu tetap ikut papa!"

"Kali ini aja, pa. Kali ini aja Alvin minta sesuatu dari papa. Alvin mohon."

"Nggak! Kalo cuma itu yang mau kamu omongin, keluar dari ruangan papa sekarang. Papa sibuk."

Papa Alvin kembali membaca dokumen yang tadi sempat ia hentikan karena kedatangan anaknya

Dan Alvin hanya diam di tempat. Memandang Papanya lamat meski papa nya tak memperhatikannya.

Alvin pun berbalik, berjalan dan dengan kencang menutup pintu kerja papanya.

Tak peduli pada papa nya yang mungkin terkejut, ia melangkah ke kamarnya dan langsung menghempaskan diri ke atas ranjang empuknya.

Ia menatap langit-langit hampa.
"Bodoh! Andaikan gue nggak pernah bilang akan ikut mereka, ini semua nggak akan terjadi."



***



Seperti yang telah diperkirakan, semua mata kini menuju ke arah Shilla yang sedang menyusuri koridor sekolah. Semua orang yang akan melewatinya langsung berhenti, semua orang yang ada di sisi koridor langsung menepi. Risih sebenarnya, namun ia mencoba tak peduli. Apapun yang akan mereka lakukan, apapun yang mereka katakan, ia akan tetap menjadi Shilla yang ia mau.

Rio yang berjalan di sampingnya hanya diam.

Ia sudah melihat reaksi mereka lewat social media, bukan hanya kebenaran siapa Shilla yang kini sedang heboh. Tapi hubungannya dengan gadis itu juga sedang ramai diperbincangkan.


Soal persahabatan mereka.
Soal perjodohan mereka.


Pasang mata yang menyorot mereka tak berhenti hingga mereka sampai di kelas. Semua terkejut saat melihat Shilla dan Rio datang. Gerakan refleks terjadi begitu saja, yang duduk di meja langsung turun, yang awalnya jahil mengangkat hp temannya setinggi mungkin agar sang empu tidak mencapai nya langsung menyerahkan hp itu begitu saja, yang awalnya berkejaran langsung berhenti dan duduk di kursi terdekat mereka.

Semua terdiam.

Terlebih mata-mata Oik di kelas, mereka menggenggam apapun disekitarnya dengan sedikit gemetar.


Shilla berdecak kesal.
"Kalian nggak usah lebay deh sama gue."

Semua pasang mata langsung menyorot ke arah gadis cantik itu.

"Gue sama kaya kalian, cuma siswa biasa. Ini belum jadi sekolah gue, jadi kalian nggak usah berlebihan di depan gue, ngerti?"

Mereka terdiam sesaat lalu mengangguk pelan.


Alvin pun berdiri lalu melangkah keluar bangkunya, membuat pemuda itu yang sekarang jadi pusat perhatian. Saat sudah sampai di depan, ia menatap mereka semua yang ada di kelas.

"Ada yang lebih penting dari pada ngebicarain tentang siapa Shilla."

Shilla, Rio yang ada di depan. Sivia, Goldi, Debo, Ozy dan preman lain yang ada di belakang. Dan semua orang yang ada di kelas kini menatap pemuda sipit itu.

"Gue ada pengumuman untuk kalian yang harus kalian sampein ke semua orang."

Dahi mereka mengernyit sambil saling tatap satu sama lain. Tapi itu tak lama, karena setelah nya, mereka kembali fokus pada pemuda yang sedang berdiri di depan sana.


"Bilangin ke temen-temen kalian." Alvin terdiam mengambil nafas sejenak, menoleh ke arah pemuda di samping Shilla seraya tersenyum.



"Rio ....... kembali jadi ketua kita."

BondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang