Hari ini aku kesiangan lagi. Doa ku pagi ini adalah semoga gerbang sekolah belum ditutup. Aku mengucapkannya berulang-ulang.
Angkot merah yang kutumpangi hanya bisa mengantarku sampai di depan gang sekolah, jadi hal itu memaksaku berolahraga pagi yaitu berlari secepat mungkin dengan beban buku lima mata pelajaran di punggungku.
"Tunggu pak! Please pak! Tunggu!" Teriakku kepada pak satpam yang sedang menutup pagar sekolah.
Ia melihatku, tapi tidak mau berhenti menggeser pagar agar tertutup. Selama satu setengah tahun bersekolah di sini, tapi belum juga kuketahui siapa nama satpam sekolah itu.
Entah mendramatisir atau memberikanku kesempatan secara tidak langsung, tapi pak satpam sengaja menutup pagar secara perlahan, membuatku menambah kecepatan langkah kakiku karena melihat adanya peluang.
Akhirnya aku berhasil mencapai garis finish, yaitu melewati pagar yang tertutup rapat satu menit setelah aku berhasil melewatinya.
"Huahh!!" Jeritku sesak dan terengah-engah. Rasanya lubang pernapasanku menciut sehingga aku hanya bisa menarik napas sedikit-sedikit saja.
Aku berjalan lemas melewati lapangan dengan lutut gemetar. "Hoi! Hana! Telat ya?! Buruan!" Teriak Mirna yang sudah berdiri di lapangan bersama teman-teman kelas lainnya dengan seragam olahraga melekat di tubuh mereka.
"Iya nih! Tungguin ya!" Jawabku lalu berjalan cepat menaiki tangga menuju ke kelas.
Ternyata menaiki anak tangga hingga lantai tiga setelah berlari dengan beban tas berat cukup menyiksa. Sesampai di lantai tiga, napasku sudah lenyap rasanya. Tidak bisa kubayangkan harus ikut pelajaran olahraga setelah ini.
Keringat bercucuran di sekujur tubuhku dan hawa panas mulai kurasakan dengan jelas. Sampai didepan pintu kelas, aku membukanya keras-keras hingga hawa sejuk AC membuai setiap inci kulitku yang sudah basah.
"Surgaa.." gumamku panjang sambil menutup mata.
Begitu aku membuka kedua kelopak mataku, betapa terkejutnya melihat Jacob yang memerhatikan tingkah konyolku, meski masih dengan wajah datar.
Jacob sedang duduk di kursinya, dengan handsfree di kedua telinganya. Aku menyeringai malu padanya, lalu berjalan masuk menuju kursiku.
Jacob kembali fokus pada buku tulis yang ia corat-coret. Entah apa yang digambar atau ditulisnya, menurutku itu tidak terlalu penting. Mungkin sama seperti Kevin dan Stefen yang adalah seorang anime lovers, mereka suka menggambar karakter animasi di buku tulis mereka.
Berhubung Jacob duduk di sebrang kursiku, aku bisa melihatnya dengan jelas dan menyadari ia tidak mengenakan seragam olahraga.
"Em.. Jacob?" Panggilku ragu, namun ia hanya diam, tidak menengok sedikitpun.
Kupikir lagu yang ia dengar menghalangi pendengarannya, jadi aku mencoba menepuk pundaknya pelan "hui, Jacob?!"
Jacob menengok dan menatap kedua mataku tajam. Jujur saja, saat ini aku merasa seperti ia akan membunuhku atau semacamnya. Rasa ngeri sekaligus bingung membuatku perlahan melangkah mundur.
Jacob kembali pada aktivitasnya. Ada apa dengan anak ini? Apakah ia marah karna aku menepuk pundaknya barusan? Apakah ia merasa terganggu?
Sambil mengambil seragam olahraga dari dalam ransel kuningku, mataku masih memperhatikan Jacob. Entah mengapa hatiku tidak mau ikut pergi ke lapangan sebelum mencoba bertanya padanya.
Semoga Jacob tidak melakukan sesuatu yang buruk padaku. Tapi aku memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan padanya sekali lagi "kamu sakit? Kok enggak ikut olah raga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Whistle //Completed
Teen Fiction[Follow dulu yuk!] Jacob pendiam. Jacob tidak pintar namun tidak bodoh. Semua orang bilang Jacob aneh. Beberapa bilang Jacob gila. Jacob selalu menutup diri. Jacob seperti hantu yang penuh misteri. Jacob tidak banyak bicara. Ketika dipanggil, Jacob...