Saat itu akhir musim gugur pada tahun 1941 ketika daun pintu malang itu dibanting, Bucky Barnes terlonjak dari sofa tuanya dan terjatuh ke atas lantai kayu. Terdengar derap langkah sosok Steve Rogers yang penuh emosi dari pintu depan. Wajah pemuda kurus itu merah karena menahan amarah--dan hal itu bisa memicu asthmanya.
"Steve, kawan. Apa-apaan?? Lenganku nyaris patah!" ujar Bucky dramatis seolah dia baru saja jatuh dari atas kereta.
Namun pemuda pirang itu tidak menanggapinya dan memilih untuk mengambil segelas penuh air untuk diminum. Bucky mengerenyitkan dahinya. Matanya dengan cermat memindai tubuh kecil Steve Rogers dan sedikit lega karena tidak menemukan tanda-tanda luka maupun goresan. Seraya mengatur napasnya, si pemuda blonde tertunduk lemas diatas kursi meja makan kecil mereka.
"Kulihat kau tidak dihabisi kali ini. Apa akhirnya kau bisa berpikir jernih untuk tidak membuat kericuhan?" Canda Bucky. Namun Steve justru menggeram dan memberikannya tatapan kesal. Bucky menelan ludah.
"Baiklah. Jika kau memang tidak mau membicarakannya, aku akan--"
"Mereka memanggilku queer . Lagi." Potong Steve. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.
"Ap--si Eliot idiot itu lagi yang--??" Mode protektif Bucky segera aktif dan Steve mengibaskan tangan kepadanya sebelum Bucky sempat melontarkan seisi kebun binatang.
"Tidak apa, Buck. Ini resiko menjadi seorang yatim piatu penyakitan yang tidak bisa hidup tanpa bergantung pada orang lain." Ujarnya getir.
Bucky menggulingkan bola matanya. Si Ratu Drama.
"Ayolah, kawan. Kita sudah pernah membicarakan ini!" Dia berjalan menuju meja makan kayu itu dan duduk di kursi yang tepat menghadap Steve. Steve masih menekuk wajahnya dan jemari kurusnya mulai mengetuk-ketuk meja.
"Mungkin aku akan pindah dan mencari apartemen yang--"
"Oh, tidak-tidak. Kita tidak akan membicarakan itu juga."
Tiba-tiba tawa Steve pecah, dan Bucky tidak bisa berbuat apapun selain terlihat bingung.
"Buck! Kau pikir kenapa orang-orang itu memanggilku queer ?"
"Karena kau belum mendapatkan kekasih?"
"Bucky."
Bucky meraung tak jelas.
"Sependek itu kah pemikiran orang-orang? Hanya karena kita dua laki-laki yang berbagi tempat tinggal? Ayolah kawan, kita berdua tahu itu tidak benar!"
Lagi-lagi senyuman pahit terpampang di wajah Steve Rogers, namun dia tidak memberikan komentar. Lalu Bucky baru menyadari bahwa pemuda itu sama sekali tidak menatap matanya selama mereka berbicara.
Oh.
Oh.
"Steve,"
"Hm."
"..Kau tahu, jika pun itu, um, benar-"
"Jika itu benar, kau akan menendangku dari sini 'kan?"
"Oh Tuhan. Tentu tidak!"
Pernyataan itu membuat Steve mendongak dan memberanikan diri untuk menatap Bucky di matanya. Heran.
"..Aku akan tetap menjadi temanmu meskipun kau tidak tertarik dengan perempuan, aku akan--"
"Oh, Buck. Kau benar-benar bodoh 'kan? Kau pikir kenapa gadis-gadis yang kau bawa tidak pernah betah berlama-lama dengan ku? Kenapa segala upaya kencan ganda mu gagal? Kenapa aku punya sebuah buku sketsa yang penuh dengan wajahmu? Kenapa aku mau tinggal bersama mu selain untuk berhemat?" Rentetnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
This World is Cruel. It's Sad, but True.
Fiksi Penggemar"1941, akhir musim gugur. Apa yang kau ingat?" Kiss me once, and kiss me twice, and kiss me once again. It's been a long, long time. Haven't felt like this, my dear, since can't remember when. It's been a long, long time. **MAJOR SPOILERS FOR CA:CW**