Chapter 1 : a Ticket to the Moon

21 2 0
                                    

                 ANDARA menatap lurus ke arah layar komputer miliknya yang berukuran 21 inchi di kamar. Dahinya mengerut-ngerut, Bibirnya sudah hampir berdarah karena digigit-gigit, jantungnya berdegup kencang setengah ngeri setengah penasaran menatap layar. Malam ini adalah malam penentuan pemenang lomba menulis skenario tingkat nasional yang berpusat di Jakarta. Sudah dua bulan lamanya Ara menunggu pengumuman ini dan sudah berdoa siang malam agar bisa memenangkan lomba kali ini. Untuk pertama kalinya dia mempertaruhkan harapan yang begitu besar pada sebuah kesempatan, yang akan membawanya pada sosok yang sangat dia rindukan dan sekarang sedang berada di JAKARTA.

"Gue tunggu di Jakarta ya!"  anak laki - laki pemilik senyum manis  dengan dua lesung pipit itu tersenyum simpul pada Ara. Anak laki-laki itu baru saja menyentuh kepalanya dan mengucapkan selamat tinggal, setelah berada di Banyuwangi selama 72 hari. 

Ara menggigit bibir bawahnya hingga perih, berusaha agar dia tidak menangis. ini perpisahan terberatnya dengan orang asing yang hanya dia kenal kurang lebih 3 bulan.

Ara memeluk erat buku hadiah dari anak laki - laki itu di dadanya, jantungnya berdesir seolah jatuh keperut mendengar pamitan dari anak laki-laki itu. ingin rasanya dia bilang jangan pergi, tapi dia bukan siapa-siapa yang berhak mengatakan itu. Ara hanya bisa menelan ludah . 

" Pasti, kak Bintang." Ara berusaha bicara senormal mungkin, setengah mati menahan agar dia tidak bicara dengan gemetar . " ...Aku pasti bisa menjadi penulis skenario yang bagus, dan datang ke Jakarta kak." Sambung Ara dengan menyungging senyum yang berat. Bintang membetulkan letak topinya lalu tersenyum, kedua cupit terpampang di kedua pipinya, yang membuat Ara meleleh. Seandainya bisa, Ara ingin ikut kak Bintang pergi ke Jakarta sekarang, tapi dia masih sekolah.

" Janji?" Bintang mengulurkan kelingkingnya, sambil tersenyum manis. Dada Ara berdenyut. Ara menatap kelingking bercincin perak itu sejenak.

" Janji." Ara mengaitkan kelingking miliknya pada kelingking Bintang, sekaligus mengaitkan hatinya. Selama Tujuh Puluh Dua  hari, Bintang menjadi mentor dalam pelatihan membuat film di kota Ara. Bintang adalah orang yang sangat menyenangkan dan orang pertama yang membuat Ara berdebar. Bintang, laki-laki pertama yang Ara inginkan untuk berada di dekatnya lama-lama. Air mata Ara mengalir begitu saja saat menatap punggung kurus itu menjauh memasuki kawasan bandara. Ara sangat menyukai dia, sampai-sampai dadanya terasa sesak saat Bintang sudah menghilang dari pandangannya. Belum ada satu jam, Ara sudah merindukan Bintang, dan akhirnya menangis.

lima tahun sudah berlalu,

Menulis skenario tidak semudah yang dia duga. Ara harus membaca banyak buku untuk bisa menulis sebuah cerita, melakukan riset-riset dengan memperhatikan teman-teman di sekitarnya dan sering mengikuti lomba-lomba online di internet. Selama lima tahun ada ratusan lomba yang diikuti Ara tapi ratusan kali pula Ara gagal. Namun, ada sebuah kalimat yang selalu membuatnya bangkit dan kembali bersemangat. "GUE TUNGGU di JAKARTA" Suara Bintang yang menunggunya selalu terngiang saat Ara patah asa.

Terakhir kali berkomunikasi dengan Bintang, dua tahun lalu. Ara hanya bisa mengobrol melalui Blackberry Massenger (BBM) dan Facebook, dan sejak  dua tahun lalu BBm tidak pernah berfungsi lagi. Meskipun begitu, Ara tidak pernah patah asa. Masih ada Facebook, dimana Ara masih sering berusaha menghubungi Bintang, meskipun sepertinya Facebook bintang juga tidak aktif. Minimal, Ara memiliki petunjuk kemana Ara harus mencari.

Ini adalah kesekian ratus kali Ara mengikuti lomba menulis, Ara sangat berharap kali ini dia menang karena dia sangat ingin bertemu dengan Bintang. Ara berdoa beberapa detik, sebenarnya dia cemas kalau dia akan gagal lagi. namun Ara berusaha positif thinking dan memantapkan hati untuk melihat pengumumnnya malam ini, dan menyiapkan mental kalau dia gagal lagi.

Finding Mr. DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang