BAB 13 (Rumah Makan Padang)

70.3K 7.7K 211
                                    

Tahukah apa yang paling kutunggu selama satu minggu ini?

Yap, malam minggu! Padahal seumur hidup aku tidak pernah menganggap malam minggu itu spesial. Tapi kali ini berbeda, aku sampai rela berdandan dengan memakai dress selutut berwarna kuning muda dengan lengan tiga perempat. Aku juga rela menghabiskan bermenit-menit waktuku yang berharga untuk memblow rambut lalu menyampirkan jepitan manis berwarna kuning juga di dekat pelipis kananku. Untuk riasan wajah, aku sengaja membiarkannya natural hanya dengan bedak dan lip tint berwarna merah cherry.

Mungkin, sangking jarangnya aku berdandan, kak Rendy sampai melongo menatapku saat kali pertama aku turun dari tangga kosku. Kasihan, dia sudah menungguku di teras selama kurang lebih setengah jam. Tapi ini bukan salahku. Salah sendiri dia datangnya lebih awal dari yang sudah dijanjikan.

"Kak, WOY!" aku mengibas-kibaskan tanganku di depan mukanya.

Kak Rendy seperti tersadar dari lamunannya. "Eh, sorry,"

"Bengong aja ntar kesambet!"

Dia tersenyum. "Udah siap ketemu Dian Sastro?"

"Of course!"

Malam ini kak Rendy juga berpenampilan agak beda. Jaket jeans dipadu kaos oblong putih plus celana jeans dengan efek-efek robekan di bagian lutut dengan alas kakinya sepatu convers warna putih. A bit like a bad boy, apalagi kendaraannya adalah motor Kawasaki Ninja 250R warna hitam khas anak-anak 'nakal' yang keren gimana gitu seperti di film-film.

Kami menuju ke Mall Kota Kasablanka yang XXInya mengadakan nonton bareng dengan para pemain film AADC 2. Sesampainya di parkiran aku melepas helm dan kak Rendy terlonjak kaget. "Waduh! Ini rambutnya kenapa jadi begini?"

Aku mengintip pantulan diriku pada kaca spion. Luar biasa berantakannya. Rambutku yang sudah kuatur cantik itu kini mirip sapu ijuk yang mencuat kesana kemari. "Take it easy, Kak!" kataku sambil menyisirnya dengan jari jemariku.

"Nggak ada sisir ya?" tanyanya yang melihatku ribet menyisir dengan cara seperti itu.

"Tenang, ini gampang diatur, kok. Kan udah pake shampo," Aku sok memperagakan artis-artis iklan shampo dengan gaya centil.

Kak Rendy tertawa sekilas.

"Anyway, aku mau minta satu permintaan untuk malam ini," kataku padanya yang sibuk mengunci helm.

"Apa?"

"Don't call me Kakak. I'm younger than you loh!"

"Tapi, kan...,"

"Kak, aku bukan koas kalau di luar rumah sakit. Jadi panggil nama aja dan nggak usah ber-saya-kamu juga. Risih tahu nggak,"

"So, you should do it too to me, okay?"

Kami mulai berjalan menuju pintu masuk mall. "But, you're older than me. Nggak pantes manggil nama doang, Kak,"

"If you could ask it, why i'm not?"

Aku menyerah. "Okay. Cukup berantemnya. Let's go, Rendy!"

Kami menaiki eskalator sampai ke lantai paling atas yang ada XXInya. Disana ternyata sudah sangat ramai. Bioskop yang mirip pasar malam. Heran, segitunya amat mau ketemu artis. Hahaha, nggak ngaca ye yang ngomong barusan.

By the way, seharusnya 15 menit lagi film akan diputar. Mataku semakin awas memperhatikan sekitar siapa tahu Dian Sastronya sudah datang tapi nyamar jadi orang lain sementara kak Rendy—okay, untuk malam ini i call him just Rendy, sedang mengantri untuk membeli popcorn dan segelas java tea kesukaanku.

Internal LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang