Tidak Ada yang Namanya Orang Miskin

1.6K 191 11
                                    



Gerimis membasahi kota Jakarta setelah hujan deras yang membuat suasana menjadi lembab. Langit kelabu dengan temaramnya sinar matahari menunjukan waktu bagi matahari untuk menggantung di atas langit yang sebentar lagi akan menghitam menjelang malam. Namun semua itu tidak menghalangi seorang ayah yang bekerja sebagai tukang sapu taman kota bersama dengan anak laki-laki semata wayangnya yang selalu menemani, berjalan sambil mendorong gerobak sampah mereka melintasi Monas setelah akhir pekan penuh pengunjung dan sampah yang melelahkan.

"Uhh, sebel deh ayah, kenapa sih orang-orang banyak itu ga buang sampah di tong sampah yang udah ayah taro di mana-mana? Emang mereka ga diajarin ya ayah?" gerutu anak pria dengan seragam orange khas petugas taman kota itu. Ia hanya tersenyum tipis menghadapi kepolosan anaknya melihat kebobrokan mental masyarakat Jakarta saat ini.

"Hush, jangan ngomong begitu ah kamu, masih kecil ...,"

"Tapi 'kan ...."

"Ssst, sudah, kamu marah-marah seperti orang tua saja ah," kata ayahnya dengan gemas, sambil mengusap ingus yang menggantung di hidung anak tersebut dengan baju anak itu sendiri. Sejenak ia memperhatikan anaknya yang masih berumur 7 tahun itu, tubuhnya yang kurus hanya di tutupi kaus lusuh yang lebih layak dijadikan kain lap daripada baju bagi anaknya, namun setidaknya anak itu selalu sehat, aktif, dan ceria.

"Kenapa? Kok ayah tiba-tiba senyum-senyum sendiri?" ujar anaknya, memecah lamunan si tukang sapu itu.

"Tidak ada apa-apa kok ... kayaknya kamu harus beli pakaian baru deh."

Kini giliran sang anak yang tersenyum, "Ga usah ayah, toh pakaianku masih bagus kok, masih bisa di pakai, mending uangnya ayah tabung buat beli seragam aku," kata anak itu, mengatakan baju yang dipakainya masih bagus entah karena dia sayang pada ayahnya atau logika anak kecil yang kalo masih bisa dipakai masih layak.

Mendengar kata seragam, si tukang sapu teringat kembali akan perihal masalah keuangannya, sakit kepala sang ayah kembali menyerang. Anak itu sudah berumur 7 tahun, namun uang untuk sekolahnya belum terkumpul. Buat makan saja sehari-hari susah. Apalagi beli seragam yang mahal harganya?

"Ayah sakit kepala lagi?" anaknya dengan nada khawatir mulai menyadari gestur tangan ayahnya yang memegangi kepalanya dengan satu tangan, menandakan bahwa ada yang tidak beres, "Duduk dulu yuk ayah!" ajak anak itu.

Perlahan mereka berdua berjalan ke sisi lapangan, ke suatu bangku taman yang terletak tidak jauh dari posisi mereka. Sang ayah pun duduk di bantu anaknya.

Kelihatannya, kerja terlalu keras serta cuaca tidak bersahabat yang terus dia alami selama musim liburan ini benar-benar membuat kesehatannya memburuk. Sang ayah kini pasrah saja menahan rasa sakit di kepalanya ini.

Anaknya duduk di sebelahnya, bersandar pada tubuh ayahnya yang hangat. Matahari perlahan terbenam, lampu taman satu persatu menyala. Hanya ada mereka berdua, langit malam, suara lalu lintas yang padat terdengar di latar dari kejauhan, serta cahaya dari megahnya bangunan-bangunan kota megapolitan.

Sementara ayahnya menyenderkan kepala di gerobak, sang anak menikmati pemandangan kota Jakarta malam hari di depannya. Melihat seberapa tingginya gedung-gedung gemerlap, terang benderang lampu warna-warni, air mancur, semua kemeriahan yang dunia tawarkan di luar sana. Lalu ia melihat kempali ayahnya, memperhatikan sekitar mereka yang sepi, kegelapan yang mereka alami di bawah bayang-bayang monas yang megah dengan lampu sorot berwarna, dan kotornya diri mereka.

Sang anakpun bertanya pada ayahnya, "Ayah, kenapa kita miskin?"

Si ayah yang masih disibukan dengan rasa sakit di kepalanya kini sedikit terkejut dengan pertanyaan simple namun sulut untuk di jawab dari anaknya. Bagaimana cara ia menjawabnya?

Humanity Has FallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang