Power Renjer

1K 157 7
                                    

Di kampungku, benda yang namanya telepisi—yang bentuknya kotak dan menampilkan banyak gambar dan suara—adalah barang baru yang langka adanya. Satu-satunya yang memiliki benda tersebut hanyalah Acil, anak kepala desa yang perutnya bulat seperti tong-tong penopang rakit.

Tentu saja ia punya, karena ayahnya adalah seorang Kepala Desa. Bahkan hanya ayah Acil saja yang mampu membeli sepeda motor dan memakainya ke sana-kemari—bahkan mengantar anaknya ke sekolah, jelas-jelas hal itu tidak perlu karena sekolah berada tepat di pusat desa.

Acil sebenarnya sombong, begitu rakus dan tamak. Turun dari motor, ia selalu mendongakkan kepala berlemaknya ke atas. Berjalan bak pejabat angkuh yang sering kuintip-lihat di telepisi rumah Acil. Ketika istirahat pun, saat aku hanya mampu menahan lapar dan berpikir "Kapan pulang?" Acil dengan hebatnya mengeluarkan uang kertas dari sakunya. Membeli banyak kue-kue dan minuman, kemudian menyantapnya sendiri. Sementara di sini aku hanya bisa menggigiti ujung pensil yang sudah sangat pendek.

Saat pulang sekolah, aku dan anak-anak lain bersepeda saling berboncengan. Kadang karena yang punya sepeda tidak banyak, maka kami jalan bersama-sama—berikut juga yang punya sepeda. Kami membicarakan banyak hal, seperti rencana-rencana yang akan kami lakukan bila getah karet di rumah sudah mengeras dan siap dijual.

"Aku mau beli sepatu baru! Kalo bisa yang ada lampunya, kedap-kedip." Tatang mengutarakan keinginannya. Diam-diam, jari-jari kaki kanannya mengintip keluar dari ujung sepatunya yang lusuh dan robek.

"Bapak bilang, aku mau dibeliin sepeda baru." Amat tidak mau kalah.

"Ah, aku paling dikasih seragam bekas kakak."

"Keren ya, kayaknya, kalau punya mobil-mobillan yang bisa dikendalikan dari jauh."

"Kayak punya Acil?"

"Iya."

"Buat apa? Mending buat beli tas baru noh."

"Eh, siapa tahu bisa buat ngangkut karet. Biar bisa bantu Bapak."

"Gak mungkin."

"Mungkin."

"Mending beli telepisi." Aku memutus aliran obrolan. Semua tiba-tiba memandangku takjub.

"Te-le-vi-si, bukan telepisi!"

"Pokoknya itu! Lihat gak? Di telepisi tuh, banyak gambar, suara, macam-macam hal yang gak pernah kita lihat di kampung."

Semua mengangguk. Selain membantu orang tua mengurusi ladang karet dan memunguti uang-uang receh di bawah rumah panggung, mengintip ke dalam rumah Acil adalah rutinitas lainnya. Kadang kalau sudah merasa risi, Pak Kades langsung mengijinkan kami semua masuk. Cengar-cengir, kami membersihkan telapak kaki di keset terdekat. Duduk di belakang Acil yang—entah disengaja—mengecilkan suara telepisinya.

Bisa melihat pelem yang isinya lima orang hebat berpakaian warna-warni saja sudah bahagia. Kami tidak pernah melihat hal-hal tersebut sebelumnya. Terlalu sibuk mencari uang receh, kadang hanya saat malam saat lampu minyak dihidupkan. Aku dan keempat adikku bermain bayang-bayang di dinding dapur.

"Dedi, televisi tuh mahal." Amat menyakinkan.

"Iya sih, tapi kalau nabung, bukannya gak mungkin, kan?"

"Bisa. Tapi lama."

"Yang penting mungkin. Coba deh bayangin, kalau aku punya telepisi, kita gak usah capek-capek ngintip ke rumah Acil, gak perlu malu ke Pak Kades. Gak bakal ngotorin rumah dia lagi. Kita bebas nonton Power Renjer sepuasnya!" Gagasanku rupanya diamini semua anak.

Humanity Has FallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang