Dia menunduk sambil menangis semenjak mentari masih berpuncak di kulminasi. Kedua tangannya menjambak rambutnya yang kini sudah sekacau gerbong kereta di Senin pagi. Sesekali dia berteriak, meracaukan hal-hal yang tidak kutahu maksudnya apa. Namun, jelas sekali kalau dia tidak gila, meskipun memang telinga dunia berkeras abai dengan eksistensinya.
Jejap dipandang, dia, oleh tiga-empat pasang mata manusia yang menyerah untuk tetap tak acuh. Mulut mereka melengkung sebal, seolah melihat setumpuk kotoran di tengah jalan. Langit Bandung yang menjingga menjadi saksi langkah mereka yang dipercepat. Yabg tangan-tangannya sesekali menyentuh hidung, kendati tidak dapat dipastikan kalau bau badan gadis itu dapat mengganggu penciuman.
Dia berteriak, "Sialan!" Kemudian, diam menangis, menggigit bibir, memeluk diri sendiri sambil menunduk dalam-dalam. Angin berdebu membuat tangisnya semakin usang, seperti laung serigala yang ditinggal kawanannya.
"Fiuh ...," keluhku dengan hati teramat kesal. Sudah tak kuat dengan mereka yang terus diam tanpa peduli. Kuambil bungkus keripik kentang di sampingku, mengambil satu keping isinya, lantas memakannya sambil berdiri dan mulai berjalan.
Suara kunyahan keripik mewarnai gemeletap langkah kakiku. Klakson dan serapah dari langit melatarbelakangi pergerakanku. Langit mendung, udara tiba-tiba dingin. Mendadak hatiku gundah, ada hal dalam diriku yang mengharuskan aku mendekatinya.
Begitu jarakku tinggal selangkah dari dirinya, kuhempaskan tubuhku di atas pangkuan trotoar Braga, sambil terus memakan keripik. Sesekali kugaruk kepala. Bukan, bukan takut. Aku hanya merasa perlu untuk melakukan ini. Terkadang ada canggung jika diriku mendekati orang asing.
Belum lama aku duduk, dia menoleh ke arahku. Menatapku dengan pandangan penuh kemarahan, yang kubalas dengan segaris senyum tipis yang sebisa mungkin penuh arti.
"Mau?" tawarku sambil menyodorkan bungkus makanan di tangan. Menanggapi itu, dia malah menjauh. Aku tidak marah. Aku mengerti betul kalau kebiasaan dan pengalamannya telah membentuk mekanisme pertahanan. Aku malah semakin melebarkan senyum.
Aku mendesah pelan, mengeluarkan seluruh kesah yang dunia timbunkan di hatiku. "Kenapa menjauh? Aku bukan orang berbahaya."
"Mendekati orang gila di trotoar adalah tindakan yang dilakukan oleh orang yang berbahaya." Dia menjauh lagi.
Aku tersenyum lagi. "Menurutmu, hanya karena itulah aku berbahaya?" Sejenak jeda, lalu kulambaikan tangan tanda tidak setuju dengan pendapat yang seperti itu.
"Manusia adalah manusia. Yang kulakukan ini adalah kemanusiaan, yang seharusnya dimiliki setiap manusia."
Sekilas kutatap, tetapi jelas, matanya melebar berikut pupilnya. Lalu, dia kembali menunduk dan bergumam, "Kemanusiaan itu mitos. Kebohongan publik."
"Apa yang menyebabkanmu berpikir begitu?" Aku mengangkat alis, terkejut. Iya, tidak terkejut juga. Setidaknya, hatiku merasa tertikam ketika mendengar dia bicara.
"Itu kenyataan," ucapnya dingin. "Itulah kenyataannya."
Langkah selanjutnya, aku mengatakan, "Pinjam tanganmu." Dia diam meski tubuhnya sedikit terlonjak.
"Aku tidak akan melakukannya."
Dia mengangkat dan menggoyangkan tangan kanannya, lalu mengatakan, "Ini tangan yang kotor. Dan kamu orang asing."
"Lihat, jari kita sama lima," ucapku dua detik kemudian. "Kita sama-sama manusia. Sebegitukah takutnya kamu?" Di dua detik itu, dapat kuambil beberapa kesimpulan, dan salah satunya adalah dia sudah sering menyakiti fisiknya sendiri.
Aku mendengkus keras, semoga dia tahu kalau hidupku juga berat. "Aku juga sebal dengan orang-orang sok suci yang menganggap rendah orang lain."
Dia menggeleng. "Tahu ap--"
"Tahu apa aku?" potongku. Ada gejolak, sedikit amarah dan kengerian ketika kudengar dia bicara dengan timbrenya yang amat pahit. Kembali kusodorkan bungkus makanan di tanganku, dan dia menggeleng.
"Hidupku juga berat," tuturku seraya mendesah dan terkekeh. "Namun, kuputuskan untuk bangkit."
"Kamu tidak tahu masalahku," jawabnya dengan suara ragu-ragu. Aku tersenyum senang karena akhirnya dia menunjukkan tanda kalau dia akan muntahkan desakan batin di dalam nadinya.
"Iya, kamu benar. Aku tidak tahu masalahmu. Maaf." Lantas, aku diam. Ada sedikit rasa terpantik di dada. Menyala, tetapi redup lagi. Menunggu sambil memakan keripik, berharap dia bercerita. Namun, dia tidak melakukannya. Dia terus diam sampai akhirnya kutanyakan, "Diusir, dibuang, dicampakkan, dijual, atau apa?"
"Dijual." Hanya itu yang dia ucapkan seraya tertunduk setelahnya. Aku yakin dia berpikir bahwa aku akan berpikir buruk tentangnya. Aku akan jijik, atau apa pun itu. Aku tahu, wajahnya mengatakannya. Namun, tidak. Aku tidak begitu.
Justru, hatiku bergetar, ingin melakukan sesuatu senyata mungkin. Aku tidak mau dia frustrasi atau bahkan depresi. Ada hal yang membuatku tidak ingin itu terjadi.
"Ah .... Ja--jangan berpikir kalau aku akan jijik," gagapku. "Tidak. Siapa pun kamu, itulah kamu."
"Aku pendosa. Tidak masalah?" Dia mengejek diri sendiri, suaranya membuat kering tenggorokanku.
Aku menelan ludah, otakku mencari-cari kartu truf di dalam arsipnya. Mencari cara menanggapi dia. Tanyakan pada keringat langit di sore hari, aku nyaris kehabisan ide.Namun, untung saja di detik berikutnya, melintas cepat sekerat kalimat yang tidak jarang menjadi obat. Dan dengan itu kuucapkan, "Masalah dosa dan celaka, itu urusan kamu dengan Tuhanmu."
Aku tertawa, mengambil batu dari jalanan dan melemparnya dengan sembarang. Angin membisu, siulannya dikalahkan racauan kendaraan. Dan sebagai pukulan terakhir, kukatakan, "Lagipula, aku tidak punya cukup uang untuk menghidupimu."
Sekali lagi, dia terlonjak. Matanya membelangah, terlihat jelas kalau dia tidak menyangka kalau aku akan mengatakan itu. "Tidak jijik?" tanyanya mempertegas ekspresi. Aku menggeleng, tidak.
"Kenapa?" Kedua alisnya dia angkat, tanda bingung. Oh, kalau boleh jujur, dia cantik. Bulu matanya lentik. Alisnya rapi, hanya saja tidak terlihat karena memang wajahnya kumal.
Aku menggeleng lagi sambil tertawa lirih. Sejenak waktu serasa mati untukku. Aku bisu, kehabisan akal. Untuk itu, aku tertawa kencang-kencang, menghina diri sendiri. Terkadang, orang akan percaya kondisi kita benar-benar buruk jika kita melakukannya. "Dunia ini berat," ucapku, dan tanpa diduga, dia mengangguk.
"Iya, berat." Dia ikut tertawa lirih. Meskipun begitu, senyumnya tetap manis.
"Aku benci pria."
"Aneh. Kamu tomboi. Ucapanmu laki sekali," sahutnya, kemudian tertawa terbahak-bahak. Aku hanya tersenyum, dan dia minta maaf sambil berusaha berhenti.
"Sebenarnya aku malu. Namun, biarlah. Hidupku sudah tidak lagi berguna. Kurasa, sebaiknya aku ceritakan ini. Siapa tahu aku mati."
"Kamu tidak akan mati," tudingku. Dia tertawa, wajahnya mengatakan, kamu benar.
"Aku dijual oleh ibuku. Dipaksa melakukan ini dan itu dengan lelaki yang mau menyewaku. Maksudku, menyewa tubuhku.
"Berulang kali aku hamil, berulang kali pula dipaksa gugur. Karena merasa bersalah pada anak-anakku, aku melakukan ini." Dia menyodorkan tangannya padaku, lalu menarik lengan bajunya untuk menunjukkan puluhan bekas sayatan. Aku tertegun, sepenuhnya bingung.
"Ah ... i--iya. Aku mengerti. Maksudku, aku tidak mengerti. Namun, aku tahu kalau kamu berpikir anak-anakmu kesakitan." Menyahut ucapanku, dia mengangguk, kemudian tertawa. Sebaliknya, aku merenungkan banyak hal.
"Tidak. Aku ingin mati, tetapi selalu gagal." Mendengar itu, aku kaget sendiri. Tidak, lebih dari kaget. Aku tahu dia depresi. Namun, dengan luka sebanyak itu, sudah berapa puluh kali dia mencoba bunuh diri?
"Sampai akhirnya dua hari kemarin, aku pergi dari rumah. Kabur. Membawa seluruh uang yang aku dapatkan dari pelanggan terakhirku, hanya untuk dirampok dan diperkosa lagi di jalanan. Berulang kali. Digilir. Delapan lelaki. Sakit," tuturnya dengan terengah-engah di bagian menjelang akhir, dan bergetar di bagian akhir. Aku menggeleng, menunduk, mendekatkan diri sedikit padanya.
"Kalau kamu tidak datang dan berhenti, aku pasti sudah mati sekarang."
Aku menoleh, mengernyitkan kening, lalu berkata, "Maksudmu?"
"Iya. Dua hari aku tidak makan. Aku kelaparan. Aku tidak punya tujuan. Aku berharap mati. Aku berniat bunuh diri tepat di detik sebelum kamu datang menghampiriku."
"A--aku--"
"Terima kasih," potongnya. Dia tersenyum. "Aku tahu apa yang akan aku lakukan sekarang." Dia berdiri, lantas pergi meninggalkanku yang tercenung bingung.
----
Seminggu sudah berlalu semenjak itu. Aku menuliskan laporan observasi berdasarkan apa yang terjadi waktu itu. Itu benar-benar berhasil.
Tahu? Aku terus terpikir soal wanita itu. Apa yang dia lakukan sekarang? Setidaknya, aku ingin berterima kasih dan memberikan sedikit hadiah karena dia membantuku, sengaja tak sengaja.
Aku masih ingat di sekitar jam ini dan di hari ini pula aku bertemu dengan dia. Dan sekarang, aku duduk di kafe yang sama. Aku berharap melihat lagi seorang wanita kumal dengan segala masalah yang membuat berat pundaknya. Sudah dua jam aku menunggu. Namun, dia tidak terlihat.
Aku berdiri, memutuskan pulang. Akan tetapi, begitu aku berbalik, seorang wanita dengan pakaian serba mini menyapaku. Wajahnya familier, tetapi siapa?
"Ini aku, Teh, yang waktu itu." Dan aku terbelalak begitu dia mengucapkan beberapa detail tentang hidup barunya.
Dia kini kembali menjadi PSK. Ah, setidaknya dia mandiri sekarang, tidak disetir ibunya.
Diam-diam ada rasa puas di hatiku. Diam-diam aku tersenyum dalam hati. Ada lega yang dimiliki setiap psikolog ketika melihat orang yang depresi tidak jadi bunuh diri.
Dia juga membuka sekolah kecil untuk anak jalanan. "Aku senang membaca. Siapa tahu mereka juga ingin bisa membaca," katanya. Itu ... sejujurnya, membuatku tertegun.
Kutanyakan, "Kenapa?"
Dia hanya menjawab dengan sepatah kalimat pendek. "Kepedulian. Kemanusiaan. Seperti yang kamu lakukan padaku."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Dan dengan itu, percakapan kami memanjang sampai larut malam.
Aku ... benar-benar lega. Tidak kusangka, kepura-puraan ini membawa dampak yang baik bagi kehidupan orang lain, meskipun memang ada dampak buruk bagiku. Maksudku, laporanku perlu revisi.
Kepura-puraan? Iya, kepura-puraan. Seperti yang dia bilang di awal, kemanusiaan itu hanya mitos. Setidaknya bagiku. Tidak bagi mereka yang masih memercayai ilusinya.
... Atau mungkin, bisakah kukatakan kalau kemanusiaan ini relatif? Ah, itulah sepertinya kata yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humanity Has Fallen
PovídkyKeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah rantai yang menjaga Indonesia dari kejatuhan. Rantai yang patah ... bisa apa? Selamat membaca berbagai cerita dari sebuah kehidupan yang menyedihkan di dunia ini. Di mana para penulisnya telah mua...