Catatan Penulis : Harap pembaca berpikir terbuka dengan cerita ini. Cerita ini tidak bermaksud untuk menyinggung pihak atau golongan manapun.
"Jangan mengaji terlalu banyak! Nanti kamu bisa menjadi seperti orang-orang berpakaian hitam yang ada di televisi!" ujar ibuku dengan nada serius, tatkala kami sedang asyik menonton berita di salah satu stasiun televisi sore itu. Aku hanya berpura-pura memperhatikan televisi dengan serius dan mengiyakan nasihat ibuku, seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Hei! Dengarkan ibumu, ini serius nak!" tegurnya lagi.
"Iya bu ...," jawabku malas.
"Pokoknya, kamu tidak boleh banyak ikut-ikutan acara rohis atau apalah itu! Banyak aliran sesat, nak," omel ibuku.
"Tiap minggunya kita hanya mengaji Al-Quran dan tafsir hadis bu—" belum selesai aku menjelaskan, ibuku sudah menukas, "Sudah ibu bilang, jangan terlalu banyak mengaji terlalu dalam! Nanti akibatnya seperti tetangga kita yang kemarin ditangkap polisi setelah ikut-ikutan ISIS atau apalah itu namanya."
"Tapi, mereka tidak seperti kajian rohis di sekolahku, bu. Kita tidak seradikal mereka—" aku berusaha menyambung penjelasanku tadi, namun ibu kembali menukasnya.
"Sama saja! Pokoknya, turuti saja apa perkataan ibumu ini! Kalau mau mengaji, mondok saja sana!"
Entah mengapa rasanya bosan ketika berulang kali aku mendapat nasihat seperti ini. Ini sudah kesekian kalinya semenjak aku bergabung dengan majelis pengajian di sekolahku. Ibuku dengan terus-terusan menimpaliku dengan larangannya, untuk jangan terlalu banyak mengaji dan ikut-ikutan kajian keagamaan di sekolah. Berbagai alasan klasik mulai dari aliran sesat lah, dikira teroris lah, suatu saat nanti diajari membuat bom atau apalah itu. Aku sudah capek mendengarnya.
Entah mengapa aku malah lebih senang dinasihati untuk jangan nakal atau jangan terlalu banyak bermain. Bahkan aku malah lebih menerima ketika dinasihati untuk jangan pacaran.
Namun ini? Rasanya aneh sekali, ketika kau mendapat sebuah nasihat untuk tidak boleh mengaji terlalu banyak dan terlalu dalam. Toh agamaku mengajarkan untuk menuntut ilmu sebanyak mungkin, sejak kita dilahirkan dari kandungan hingga akhir hayat kita. Semua ini membuatku malah serba salah.
Aku mulai benci dengan manusia-manusia yang dengan bangganya menyandang status anggota masyarakat madani. Mereka terlalu sering berburuk sangka dengan orang-orang yang tiap hari berkumpul membentuk lingkaran dan mulai mengaji ayat-ayat suci lebih dalam daripada biasanya. Orang-orang pasti akan langsung melabeli kita dengan 'bakal calon teroris', hanya karena kita mengaji dengan cara yang berbeda. Orang-orang lebih menerima kalau kita mengaji di masjid-masjid kampung atau kalau memungkinkan, kita akan dikirim ke sebuah institusi bernama pondok pesantren, daripada kita berkumpul dalam suatu majelis, membentuk sebuah lingkaran dan mengaji ayat-ayat yang sama.
Orang tua akan lebih menerima anaknya untuk belajar agama di institusi pondok pesantren atau Madrasah, daripada belajar agama di lingkungan seperti rohis, majelis taklim, atau kajian keagamaan berbasis tarbiyah. Aku benar-benar kesal dengan orang tua macam itu, yang terlalu takut, ketika pulang, anak laki-lakinya tidak mau mencukur jenggotnya atau takut ketika pulang, anak perempuannya merengek ingin dibelikan jilbab yang besar. Teroris, aliran sesat, tidak sesuai dengan jati diri bangsa kita, kata mereka.
Alasan klasik macam apa itu? Batinku.
Mungkin orang-orang sudah sok tahu dan pintar menghakimi sesuatu tanpa ada penelusuran lebih lanjut. Masyarakat kita, masyarakat Indonesia—kalau boleh aku bilang—banyak yang terjebak pada praduga-praduga tak bersalah yang membuat bangsa kita seperti turun derajatnya. Itu namanya generalisasi. Kecenderungan untuk melihat segala sesuatu yang serupa menjadi sesuatu yang sama, padahal antara satu hal dengan hal lain yang serupa itu tidaklah sama. Sebuah penyakit kebodohan yang dapat membuat bangsa ini hancur dengan perlahan-lahan.
Orang-orang mulai membenci satu sama lain, hanya gara-gara mereka beda cara mengaji. Orang-orang mulai saling memfitnah satu sama lain, ketika ada aliran baru masuk ke dalam suatu kepercayaan kolot masyarakat. Orang-orang mulai saling memukul atau bahkan membunuh tanpa dosa, ketika ada aliran yang dianggap mereka 'menyimpang' dari ajaran masyarakat. Mereka memakai alasan agama sebagai pelindung dari masyarakat, namun malah membawa-bawa nama agama dengan tujuan menyingkirkan sebuah kelompok yang dianggap menyimpang. Mereka malah membawa nama agama untuk kepentingan anarkis yang bahkan, derajatnya hampir sama dengan binatang!
Aku benci orang-orang seperti itu. Aku benci dengan orang-orang yang tidak bisa toleransi barang satu dua hal kecil. Aku benci dengan orang-orang, yang suka menganggap satu agama adalah sebagai biang keladi teror di masyarakat.
Itulah sebabnya, aku dilahirkan sebagai anak yang hanya sehari-hari hidup di sekolah dan di dalam rumah, karena aku tahu, masyarakat ini masih belum cerdas!
*****
"Masih banyak orang-orang yang belum mengerti tentang toleransi yang sebenarnya," ujar guru mengajiku di kajian majelis taklim. Sore itu, aku mengeluhkan apa yang kupikirkan tentang masyarakat bersamanya. Dia adalah seorang lelaki usia awal tiga puluh-an dengan seorang istri dan tiga orang anak. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah seorang pegawai di lembaga swasta yang mengurusi amil zakat.
"Tetapi kau juga tak boleh asal menganggap kalau semua orang di negara ini masih belum cerdas. Kau juga sama saja dengan mereka, jika kau beranggapan seperti itu ...," ujarnya. Benar juga. Aku mungkin terlalu terbawa emosi, sehingga aku juga perlahan menggeneralisir semua masyarakat itu bodoh karena tidak bisa melakukan toleransi, padahal itu hanya beberapa orang saja. Itu sebuah 'tamparan' yang cukup keras bagiku. Mungkin setelah ini, aku harus bicara dengan ibu baik-baik dan introspeksi dimulai dari diriku sendiri.
"Tugasmu kalau sudah besar nanti, adalah untuk menyadarkan orang-orang seumuranmu, agar prasangka seperti ini tidak terulang kembali di masa yang akan datang ...," jelas guruku.
"Kepercayaan kedua orang tuamu ada di dalam dirimu sekarang, nak," lanjutnya. Sejenak aku percaya bahwa mungkin masyarakat belum dapat mengerti. Tidak sampai di sore itu pula, berbondong-bondong, warga sekolah dan beberapa orang berseragam polisi datang mengepung kami dan menyeret paksa guru mengajiku itu. Waktu itu, kami sedang istirahat sejenak setelah kami melakukan kajian rutin.
Alasan klasik, guruku dituduh mengajarkan paham-paham radikal. Ada pula yang dengan seenaknya menuduh guruku melakukan tindak pelecehan seksual. Praduga tak bersalah selalu benar di mata masyarakat mayoritas—yang berarti, sebuah hukuman bagi para minoritas—. Guruku meronta dan menolak untuk ditangkap, sehingga polisi terpaksa menembak kakinya. Guruku hanya mengajar kami mengaji, tidak lebih dari itu. Orang tua dan komite guru sudah terlalu takut dengan rumor yang beredar. Mereka memakan mentah-mentah generalisasi masyarakat yang sebenarnya jauh lebih berbahaya itu.
Tidak ada yang namanya toleransi di negara ini. Masyarakat sudah terlalu kolot untuk diberitahu. Aku benci dengan mereka semua. Ketika mereka menganggap kami mengaji secara kelompok kecil dan tidak ramai, dianggap perkumpulan radikal penyebar paham terorisme. Ketika kami mendapatkan ilmu mengaji yang lebih tinggi, dianggap aliran sesat.
Aku benci dengan masyarakat dan manusia-manusia ini.
Aku bergerak maju untuk menghadang polisi yang berusaha menembaki guruku yang telah kesakitan karena ditembak kakinya. Persetan mereka mau berpikir apa. Dia punya tiga orang anak yang harus dihidupi dan masyarakat dengan mudah 'membunuh'-nya tanpa rasa bersalah. Masyarakat telah melupakan sisi kemanusiaan mereka, ketika berhadapan dengan perbedaan pendapat.
"Allahu Akbar!"
Dor!
Ah sial, aku benci rasa sakit ini.
Maafkan aku, bu. Aku mungkin pulang telat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humanity Has Fallen
Short StoryKeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah rantai yang menjaga Indonesia dari kejatuhan. Rantai yang patah ... bisa apa? Selamat membaca berbagai cerita dari sebuah kehidupan yang menyedihkan di dunia ini. Di mana para penulisnya telah mua...