Different

1.6K 159 14
                                    


Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap berangkat ke kampus dengan tas selempang dan buku statistika dan trigononetri yang ku jinjing ditangan kanan. "Nak, jangan berangkat dulu. Sepertinya masih ada kerusuhan." Aku berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah saat mendengar suara Ibu. Ku lihat beliau sedang menonton TV yang menayangkan acara demonstrasi. "Hari ini aku ada ujian bu. Mata kuliah wajib. Satryo juga berangkat," kataku dengan sopan sambil menyebutkan nama tetangga yang kebetulan satu kelas. "Enggak apa-apa Rat, ibu lebih sayang sama kamu dari pada sekedar nilai ujian. Di rumah aja, ya?" Ibuku tetap saja bersikukuh pada pendiriannya, yang akhirnya, membuatku patuh dan memilih duduk di kursi depan setelah meletakkan tas dan buku ke tempat semula. Sesekali jariku bergerak aktif di layar smartphone, sekedar memberi kabar Satryo kalau aku tidak jadi berangkat.

"Tolong ... tolong saya," Fokusku teralihkan dari layar smartphone ketika melihat sebuah sepasang sepatu yang berdiri tepat di depanku. Saat ku angkat wajah, terdapat seorang perempuan tengah berusaha mengatur nafas yang tinggal satu dua."saya ingin sembunyi," kata perempuan tadi sambil membenarkan anak rambutnya yang sedikit keluar dari ikatan. Tanpa sadar ku amati perempuan itu, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kulitnya putih bersih, matanya sipit, hidungnya mancung, bibirnya merah muda tipis. Cantik khas oriental.

"Sembunyikan saya ... tolong," ucap perempuan tadi untuk kedua kalinya saat melihat keterdiamanku.

Suara langkah kaki yang bergerak cepat terdengar dari arah jauh membuat wajah perempuan didepanku semakin pias. Astaga, aku baru ingat sesuatu.

"Aduh, maaf. Aku lupa. Ayo cepat masuk, disini aman," kataku sedikit mendorong tubuhnya ke dalam. Buru-buru ku kunci pintu dan menutup tirai jendela, sekedar berjaga-jaga saja. Setelah suara di luar mereda, aku justru semakin bingung karena perempuan itu menangis. "Kamu kenapa?" tanyaku sambil berusaha mengintip ke luar.

Perempuan itu menghapus air matanya dengan sebelah tangan, kemudian mengambil tisu yang kusodorkan. "Aku ... aku Mei," ucapnya memperkenalkan diri disela Isak tangisnya. "Aku, takut," imbuhnya.

Non pribumi. Aku tahu betul akan apa yang telah atau sedang dialami perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Mei. Dimasa ini-zaman orde baru, banyak orang non pribumi yang menjadi korban dari kejahatan orde baru. Bahkan, banyak yang bilang kalau pada zaman ini terjadi pemusnahan terhadap kaum non pribumi. Entahlah, aku tak tau betul penyebab secara pasti yang melatarbelakangi kejahatan kemanusiaan semacam ini. Sangat kejam. Padahal ... semua orang sama 'kan?

"Kamu jangan khawatir. Istirahatlah disini, menginap juga boleh. Ibuku pasti mengizininkan. Ah ya, aku Ratih," kataku sambil tersenyum. "Sebentar ya, aku ambilin minum dulu."

Saat mengambil air, aku bertemu dengan ibu yang tengah memasukkan adonan roti dalam oven. Tak lupa, kuceritakan juga tentang Mei kepada beliau. "Kita harus menolong dia, Rat. Walaupun suku, agama, bahkan ras kita beda ... kita tetap tinggal di Indonesia. Jadi, jangan membedakan ya?" ucap ibu begitu aku selesai bercerita.

Aku mengangguk setuju, yakin ibu akan setuju dengan keinginanku menolong Mei. "Kalau orang-orang marah karena kita nyembunyiin orang non pribumi gimana Bu?" Meski aku tulus membantu, tetap saja tersirat sedikit kekhawatiran.

"Tuhan enggak pernah tidur kok Rat, jangan takut. Ya udah, bawa ni kue untuk siapa tadi namanya?"

"Mei Bu,"

"Iya, untuk Mei. Kamu suruh istirahat di kamar tamu aja. Kasihan, pasti capek." Ibu meletakkan beberapa roti di atas piring, yang kemudian ku bawa untuk Mei.

Sambil memakan roti buatan ibu, kita membicarakan banyak hal. Mulai dari masa kecil masing-masing, sampai dengan alasan yang membuat Mei bisa sampai di rumahku. Kasihan, pada masa orde baru kehidupannya dan kakaknya sudah mulai tak tenang.

Hingga pembicaraan kita berakhir karena aku harus beribadah dulu.

*

Malam harinya, setelah beribadah aku langsung keluar rumah begitu Mei menghilang dan hanya mendapati suratnya pada selembar kertas. 'Aku harus pergi mencari kakak, terimakasih atas tumpangannya. Maaf kalau merepotkan.' Ah ya, Mei memang pernah bercerita kalau dia anak yatim piatu yang hanya tinggal dengan kakaknya. Namun, dua hari yang lalu kakaknya menghilang saat berjaga di toko elektronik warisan orang tua mereka. "Biasanya kakak pulang dari toko jam 8 malam, tapi aku tunggu sampai larut malam enggak ada. Keesokan harinya aku langsung ke toko, mengecek apakah kakak ketiduran disana. Ternyata ... ternyata ... barang-barang di toko kami sudah hilang. TV, kulkas, mesin cuci juga semuanya hilang. Aku takut Rat, aku takut," ceritanya saat itu dengan wajah yang semakin pucat sampai menangis lagi untuk kesekian kali. Karena itu aku memutuskan untuk langsung mencarinya hari ini. Yeah, terserah kalian mengatakan aku so' baik atau polos atau gimana. Walaupun baru kenal, aku tahu dia orang yang baik. Dan aku tidak mau ia kenapa-napa. Sayangnya, saat baru menempuh jarak beberapa kilo meter, motorku sudah dihadang oleh orang-yang kelihatannya sedang dibawah pengaruh barang terlarang. Jalannya limbung kesana-kemari sambil mengacungkan botol kaca yang sepertinya penyebab ketidaksabarannya.

"Kalian mau ngapain?" kataku takut-takut sambil bergerak turun dari kendaraan.

Seorang laki-laki berbadan besar maju selangkah dengan gontai, kemudian menarik kerah bajuku, menimbulkan sedikit sobekan dan bekas kemerahan dileher, "Hai cantik."

Refleks aku menepis tangannya dan mundur kebelakang--yang lagi-lagilagi percuma karena ada laki-laki lain dibelakangku. Dengan memberanikan diri, ku tendang selangkangannya dan meninju perut laki-laki itu--mencoba mempraktikkan beberapa jurus bela diri yang pernah kupelajari semasa SMA. "Jangan macam-macam ya!" kataku lagi, tapi kali ini sambil memasang kuda-kuda. Paling tidak jurus tangkisan dan serangan bisa ku lakukan sekarang.

Laki-laki di depanku berdecih, kemudian mengeluarkan sebuah benda yang terlihat berkilau terkena pantulan cahaya bulan. Oke tenang, kata senpai aku harus tenang. Jangan khawatir Rat.

Pria itu langsung mengarahkan pisaunya ke arah jantungku yang bisa kutangkis dengan mudah. Rupanya ia belum puas. Berulang kali pria itu berusaha menancapkan benda digenggamannya ke tubuhku-maksudku, segala arah karena ketidaksadarannya membuat pergerakan itu meracau tak tentu.

"Awas!" sebuah suara yang tak asing terdengar sebelum kurasakan cairan hangat disertai bau amis tercium indera pembauku. Darah. Shit, aku mulai merasakan nyeri dari bagian belakang. Kenapa aku sampai lupa kalau ada pria lain?

Lalu buram. Aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Semua berlangsung begitu cepat.

*

Bunga Kamboja turun dengan manis di atas sebuah tanah yang masih basah. Tertulis dengan jelas di nisannya, Meiliani shinci. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dalam diam saat mengingat kebaikannya. Ya, kebaikannya yang mau mendonorkan organ tubuhnya untuk membantuku. Saat aku tanya ibu, beliau bilang, "Ibu juga berulang kali tanya pada Mei Rat, apa dia benar-benar serius? Tapi dia tetap bersikukuh dan justru mengatakan 'aku yakin Bu. Lagian, kalaupun aku meninggal, aku masih senang karena setidaknya aku meninggal dengan membawa kebaikan. Lagipula, tak ada orang yang akan menangis nantinya. Kakak, dia ... dia sudah pergi ke surga. Jasadnya ditemukan kemarin sore.' Makanya ibu juga setuju. Maaf ya, Nak kalau kamu enggak suka. Maaf kalau ibu egois. Egois karena lebih menginginkan kesembuhan kamu dari pada mengobati luka hati Mei. Ibu juga ingin yang terbaik untuk kamu. Jadi, kamu harus jaga diri kamu sebaik mungkin ya Rat, buat pengorbanan Mei tak sia-sia."

Dan semenjak itu, aku semakin belajar banyak tentang arti menghargai setiap orang. Tentang kalau tidak semua yang dipercayai banyak orang adalah benar. Siapa yang akan sangka kalau ternyata Tuhan menolongku lewat Mei? Lewat Mei-salah satu orang dari golongan non pribumi yang pada masa ini ditindas.

Humanity Has FallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang