Siapa yang Gila?

5.2K 494 43
                                    

Juki adalah seorang mantan pengemis. Ia tinggal di gubuk tua yang terletak di pinggir kota Jakarta. Ia tidak mempunyai orang tua maupun sanak saudara. Asal-usulnya tidak jelas karena yang diketahuinya adalah ia dibesarkan di Panti Asuhan Belia sejak masih bayi. Namun, saat umurnya menginjak dua belas tahun, peristiwa nahas terjadi. Panti asuhan yang ia tempati terbakar, menghanguskan seluruh bangunan rumah. Hanya menyisakan serdak hitam, pun arang kayu.

Sehari-hari ia membanting tulang dengan menjual berbagai koran dan majalah untuk menghidupi dirinya. Ia berkeliling di sekitar pasar dan tempat tinggal, menawarkan dagangannya dari satu tempat ke tempat lain. Tak lelah jua, ia mengobral minuman dingin dari bus ke bus antar kota.

Waktu luangnya ia gunakan untuk belajar dan membaca buku dari perpustakaan taman kota. Juki adalah pemuda berusia enam belas dan hanya tamatan sekolah dasar, tetapi ia tidak patah semangat untuk menimba ilmu setinggi langit. Justru, ia bersyukur karena kehidupannya yang sekarang membuat Juki merasakan nikmatnya bersimbah keringat jerih payah.

Juki mengamati pengunjung pasar dari balik posko satpam. Riuh-ricuh terdengar bergemuruh memasuki gendang telinganya. Di sampingnya, pak Jono sedang menyeruput kopi seraya memindai gerak-gerik penghuni pasar.

"Tong, berapa hasil kau hari ini?" Pria gempal berperut buncit melirik Juki dari sudut matanya.

Juki menghitung pendapatannya yang ia keluarkan dari balik lipatan kaus kumalnya. "Seribu, tiga ribu, tujuh ribu, sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh tiga ribu dan lima ratus perak." Ia menoleh ke pak Jono yang pandangannya masih stagnan ke depan. "Tiga puluh tiga ribu lima ratus perak, Pak," simpulnya.

"Wah Tong! Banyak pula uang kau hari ini heh?" Juki hanya mengangguk dan menambahkan, "Lumayan Pak, buat makan sehari."

"Koran-koran kau sudah habis?" Juki menggeleng pelan dan menyodorkan sebagian koran yang tersisa.

Pak Jono mengambil satu koran teratas dan mulai membaca lembar pertama. "Aku beli satu koran kau," katanya seraya mengambil uang lima ribuan dari sakunya. "Nah, uang buat kau tambahan jajan," tambahnya dan menaruh lipatan uang itu ke pangkuan Juki yang dibalas Juki dengan anggukan terima kasih.

Pak Jono sibuk dengan korannya, sedangkan Juki sibuk dengan pikirannya. Ia mengamati lamat-lamat tukang sayur di depannya yang dikerubungi oleh ibu-ibu rewel. Ia masih bisa mendengar beberapa percakapan mereka.

"Bang, sayur iki piro?" salah satu pembeli yang berusia nenek-nenek bertanya sambil mengangkat seikat kangkung yang masih segar.

"Lima ribu, ndoro," tukang sayur menyahut tanpa menoleh.

"Weleh-weleh, seuprit iki limang ewu ...," nenek itu menggerutu seraya mengisap sepah di ujung bibirnya. "Wong, zaman kok zaman uedan. Makin lama makin bobrok ...," ceracauan keluar dari mulut ungu si nenek, tetapi ia tetap mengambil—membeli sayur kangkung yang menjadi pokok masalah omelannya.

Juki mengerutkan dahi. Nenek tua itu berkoar-koar terhadap harga beli yang semakin melonjak, tetapi masih juga membelinya. Juki geleng-geleng kepala terhadap analisisnya hari ini. Ia beranjak dari duduknya, menjeling ke arah pak Jono. "Pak," mulainya, "Juki mau lanjut ngider dulu," katanya, "Mau ngabisin ni koran sama majalah." Ia menujukkan satu tumpuk koran dan majalah yang tersisa.

Pak Jono mengangguk. "Sana Tong! Keburu panas sengangar! Semoga dagangan kau habis, laris-manis." Ia melambaikan tangan dan kembali fokus pada korannya.

Juki mulai menapaki jalanan aspal di bawah terik matahari. Keringatnya menetes dari dahi turun ke pipi. Ia menawarkan dagangannya sambil menyerukan, "Koran! Koran-koran!" kepada pejalan kaki di tepi trotoar. Lima belas menit sudah ia berkoar-koar. Namun, belum satu pun yang melirik barang bawaannya.

Humanity Has FallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang