Atha's P.o.V
.
.
Aku melihatnya. Dia sedang duduk sendiri di ujung east wing Gama Cafe. Tak ada orang lain di sekitarnya, juga tak ada yang dilakukannya. Hanya duduk terpaku menatap cangkir yang mengepulkan uap panas di hadapannya.
Pikirannya seperti sedang berkelana. Terlihat serius, tapi hanya sebatas berangan-angan. Sekilas, dari sudut ini kuamati, ada kegundahan di mata sendunya.
Jujur. Aku ingin menyapa dan berkenalan dengannya, namun hal itu sangat bertolak belakang dengan sikapku yang lebih memilih untuk tidak mencampuri urusan orang lain.
Sungguh. Hatiku menginginkan agar dia membagi semuanya padaku. Tapi, siapa diriku ini? Bagaimana mungkin dia akan mempercayai orang yang baru saja dikenalnya? Tidak, bukan baru dikenalnya, tapi orang asing.
Di sinilah aku-- berada di arah jam dua-- lima meter dari mejanya. Jangan menanyakan apa yang sedang kulakukan. Karena aku sedang tidak melakukan apapun, kecuali membuang waktuku menikmati keheningan udara yang memberi jarak antara aku dan dirinya. Menikmati deru napas tak kentara yang membasuh rongga dada.
Aku menatap lurus ke arahnya, hingga tanpa kusadari dia telah menoleh ke arahku. Tatapan sendu itu kini dapat kulihat dengan jelas. Mengisyaratkan sebuah pesan. Entah apa itu, akupun belum bisa membacanya. Sebuah pesan yang tersamarkan.
Tapi. Saat ditatap seperti ini, aku merasa bahwa kami telah saling mengenal satu sama lain. Rasanya seperti kami pernah berinteraksi. Lebih tepatnya komunikasi dua arah. Bukan hanya berdiam diri mempertahankan kedudukan masing-masing.
"Mas Atha." Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Mira sudah berada di samping kananku. "Mau pesan apa?" lanjutnya saat dia yakin bahwa semua perhatianku tertuju padanya.
"Oh..., Mira. Gue pesen jus melon aja." Mira mengangguk. "Kayak biasanya, ya."
"Siap Mas," katanya sambil menirukan sikap hormat seorang ajudan pada atasannya. Kamipun tertawa untuk beberapa saat, hingga aku kembali terdiam saat wanita itu menghampiri dirinya-- wanita yang sama saat pertama kali aku bersitatap dengannya.
Entahlah. Aku tak mengerti, mengapa dengan tiba-tiba ada satu hentakan kuat yang menghujam dadaku. Nyeri. Tapi aku tak mengerti untuk apa aku merasakannya.
"Mas Atha, kok malah ngelamun?" Mira menepuk pundakku.
"Eh..., i-iya, Mir, maaf."
"Lah..., kayaknya Mira harus segera bikinin jus melon, deh," godanya.
"Gue butuh aqua, Mir," sahutku.
Mira tergelak. "Ya ampun, Mas Atha ini, ada-ada aja deh. Ya udah, Mira ke dapur dulu, ya?"
"Ho'oh...."
Tepat. Saat Mira meninggalkanku sendirian, rasa nyeri itu terasa semakin menyakitkan. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya aku rasakan? Apa maksud semua ini?
Aku berusaha memalingkan pandanganku dari dua orang yang sedang berbincang lima meter di depanku. Tapi, mataku malah semakin asik mengamati saat lelaki itu memberikan perhatiannya kepada wanitanya dengan sangat lembut penuh kasih sayang. Andaikan Inggrid tak tega melakukan semua itu, pasti sekarang aku bisa meniru lelaki itu untuk memanjakan wanitaku. Astaga..., pikiran macam apa ini?
Keduanya terlihat sangat penuh kasih sayang, saling menyahuti pasangannya dengan gestur yang lembut. Aku sangat iri. Tapi, aku juga tak bisa berbuat apapun.
"Atha."
Ada tangan yang memijat lembut kedua pundakku. Aku menengadahkan kepala agar bisa melihat sosok di belakangku. Dan seulas senyuman menyapa dengan hangat.

KAMU SEDANG MEMBACA
PUING
Nouvelles" ... saat semua rasa harus dikorbankan dalam peraduan takdir ... " Kalian tak akan pernah tahu bagaimana sulitnya menjalani takdir yang tak dapat berdamai. Another Bromance Story. Lanjutan dari HEMPAS. Akankah Arseno Damar Paramaditya menemukan ke...