Kematian #2

38 4 0
                                    


Senin, 14 Maret 2016...

Aku berjalan jalan sebentar. Mencari udara segar disubuh hari, ternyata cukup menyenangkan. Sudah hampir 1 minggu sejak libur aku berada dikamar terus, dengan gorden yang tak pernah kusingkap dan lampu kamar yang tak pernah menyala. Satu satunya sumber cahaya adalah komputer yang terus menyala selama 24 jam non stop setiap harinya. Walaupun begitu, kamarku tidak bisa disebut kapal pecah karena semua barang barang aku letak pada tempatnya. Tidak seperti makhluk aneh yang berada disamping kamarku itu. kamarnya seperti kapal pecah, tidak, bahkan lebih mirip tempat bekas terjadinya perang dunia kedua.

Aku berjalan jalan, mengitari gang rumah aneh ini yang membuatku sakit kepala terus. Ibu pemilik yang gayanya minta ampun, dua mahasiswa bodoh yang selalu mencari perhatian perempuan, ditambah makhluk itu, ah aku tidak sanggup membayangkannya.

Beberpa langkah dari depan pagar, terdengar teriakan minta tolong. Seorang wanita paruh baya sedang mengejar seorang pria yang memakai pakaian hitam semua serta memakai penutup muka seperti penjahat penjahat kebanyakan yang ada di film. Penjahat itu lewat didepanku, namun aku tidak bereaksi apa apa. Aku hanya menyaksikan mereka yang kejar kejaran seperti anak kecil itu.

Namun, entah kenapa aku tidak dapat mengalihkan pandanganku darinya. Pria berbaju hitam itu seakan menghipnotisku agar pergi ketempatnya. Aku terpaku beberapa detik disana. mereka belok kekanan, lalu ke kiri, tempat yang sunyi dan sepi, tempat yang sangat sempurna untuk kabur dari wanita itu.

'Yah, aku tidak perlu ikut campur dalam urusan mereka', gumamku. Aku tidak ingin melibatkan diriku dalam hal yang merepotkan begitu.

Aku lalu melanjutkan perjalanan yang seharusnya sedikit menyegarkan, sekarang aku malah bad mood dibuatnya. Aku tidak tahu, tapi aku merasa ada sesuatu yang menjanggal. Aku merasa, ada sesuatu yang buruk yang akan menimpaku. Aku memutuskan untuk pulang, setelah berjalan sekitar 30 menit.

Aku memutuskan untuk pergi menenangkan diri sebentar. Ya, tempat yang aku sebutkan tadi adalah tempat yang paling menenangkan diantara semua tempat di Pekanbaru ini. Namun, bukannya menyenangkan, malah menjadi menakutkan.

Mayat...

Sesosok tubuh tanpa tangan tergeletak disana. Bau amis dari darah segar yang menyengat, serta kondisi yang mengerikan. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Wanita paruh baya tadi, tak kusangka aku menemukannya dalam kondisi seperti itu. Karena panik, aku mencari cari orang disana, walaupun aku tahu kalau disana tidak ada orang sedikitpun.

Lalu, aku menelepon seseorang dari tempatku agar memanggil ambulan dan polisi ke tempatku sekarang. Miracle, dan dua mahasiswa lainnya datang.

"Apa yang terjadi, Ryan?" Bang Hauzan menatapku dengan nafas terengah engah. Aku melirik Miracle dan Bang Sulthan, namun aku tidak ingin mengatakannya.

"Begini, bang. Miracle, kau tidak boleh mendengarnya." Lalu aku membisikkan keadaannya kepada kedua pemuda itu. Miracle menatap reaksi terkejut dari mereka dengan wajah penuh tanda tanya.

"Benarkah? K-kami sudah memanggil ambulan dan polisi. Tapi, apa kau yakin, kalau dia itu masih hidup?"

"Tidak. Dengan darah yang keluar sebanyak itu, aku tidak yakin kalau dia masih hidup. Hei, Miracle, apa yang kau lakukan?" Dia berjalan kearah onggokan terpal hitam tempat tubuh itu aku tutupi.

"I-itu... Itu adalah... Ibu?" Aku terkejut mendengarnya. Dia berlari dan membuka terpal hitam itu, matanya seketika menatap tak percaya apa yang telah ia temukan. "Ibu? Ini bohongkan? Ibu? Ibu? Bangun Bu... Bu, bangun Bu... Bangun....!" Aku mengurungkan niatku untuk mencegahnya. Dia menatap jasad ibunya, air mata mengalir dari matanya dan terjatuh tepat diwajah ibunya. Daratan yang sunyi itupun berubah karena tangisannya. Kedua mahasiswa itu menghampirinya, mencoba menenangkannya. Namun, Rahel mengusir mereka.

"Dia belum mati, pergi kalian Mahasiswa bodoh. Dia hanya sedang menjahiliku. Dia hanya sedang tidur, pura pura mati biar aku terkejut. Pergi kalian, tinggalkan kami. Apa yang kalian lakukan? Jangan sentuh aku. Ibu... Ibu belum mati kan? Ibu masih hidup, benar kan?" Bang Sulthan yang ingin menenangkannya, malah dibentak dan wajahnya kena hantaman tangan kirinya hingga hidungnya berdarah.

Kami bertiga terdiam, terpaku dalam suasana aneh ini. aku tidak tahu harus menyikapinya bagaimana, namun suasana ini terasa asing sekali bagiku. Apa ini? aku tidak tahu. Aku ingin menenangkannya, namun kalimat yang melintas dipikiranku adalah "Aku tidak akan melibatkan diriku."

"Dia sudah mati, bodoh." Aku tegak dibelakangnya. "Jangan lakukan hal yang bodoh lagi."

"Apa yang kau katakan? Ibu belum mati. Ibuku belum mati..."

"Kau... Apa kau bodoh?" Aku memegang tangannya, dan untuk pertama kalinya, aku menatap dengan jelas, wajah perempuan. "Apa yang kau harapkan? Apa yang kau pikirkan? Apa yang membuatmu tidak percaya? Lihat kenyataan. Lihat apa yang ada didepanmu. Apa kau bodoh? Apa kau buta? Percayalah pada kenyataan" Aku melepasan genggamanku. Dia hanya tertunduk. "Hentikan rengekkanmu itu, dasar perem-" Sekali lagi, aku merasakan tamparannya. Keras sekali, aku bahkan terjatuh dibuatnya.

"Kau... Kau yang membunuhnya, bukan?"

"Apa yang kau katakan? Kalau aku yang membunuhnya, aku pasti sudah kabur duluan, atau tidak memanggil kalian disini."

"Kau... kau pasti yang membunuhnya. Kau yang membunuh Ibuku bukan? benarkan? Jangan mencoba... Diam kau. Jangan mengelak lagi... Kau yang membunuhnya bukan?" Aku tak tahan mendengarnya. Nada suara itu, aku membencinya. Aku tidak ingin mendengarnya. Rasanya sakit jika aku mendengarnya.

Dia tertunduk, dan menyandarkan kepalanya kedadaku. Kau yang membunuhnya, bukan? dia terus mengatakan kalimat itu.

***

Sirinepun akhirnya terdengar. Kami tetap dalam posisi kami masing masing, dengan dia yang masih terus mengatakan kalimat meneybalkan itu, dan dua pemuda yang tetap terdiam mematung yang sedang tak percaya melihat keadaannya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ini adalah suasana yang sangat asing, aku yakin pernah mengalami hal seperti ini, namun kenapa perasaan ini terasa asing?

3 orang petugas datang, mengangkut mayatnya ke dalam ambulan. Kami berdua tetap mematung. Wajah linglung terus aku tunjukkan. Kalimat yang sama terus dia lontarkan.

Tubuhnya mendorongku kebelakang. Kamipun tumbang seperti pohon yang baru ditebang. Tiba tiba pandanganku kabur, dan semuanya gelap gulita. Tak terlihat satupun bayangan disana. tak terdengar satupun suara disana. tempat sunyi, gelap, melebihi lubang sumur yang dalam, melebihi goa jepang yang panjang.

***

Tolong kritik dan sarannya ya...

Krisar anda dapat memajukan saya ke arah yang lebih baik lagi..

dan jangan lupa Vote, Ok!

Like Rainbow in the SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang