Ketertikatan #1

33 3 0
                                    

Ryan pergi ke bawah karena dipanggil direktur. 'Kesempatan bagus' pikirku. Aku berlari, duduk di posnya, memeriksa komputernya, dan mencoba mencari cerita apa yang dia buat. "Nah, ketemu." Aku lalu membacanya dengan seksama, mencoba mengetahui dari mana arah cerita yang ia buat. "Dia mulai dari sini? Yah, agak aneh juga sih." Aku tahu, dan ingat jelas tentang pengalaman yang menyedihkan bagiku itu. Kehilangan Ibuku tepat didepan mataku, ditambah dalam kondisi mengenaskan. Dan aku masih ingat, alurnya sampai kasus itu ditutup. Aku ingat semua dengan jelas.

***

Senin, 14 Maret 2016...

'Uaaaah... Cih, sudah jam 4 ya?Menyebalkan' gumamku. Aku masih teringat bayang bayang kejadian kemarin. Demi tuhan aku sangat malu saat itu. aku bahkan tidak tahu, kenapa aku menampar Ryan. Padahal dia sudah menolongku, tetapi apa yang aku berikan?

Pagi itu, aku duduk dimeja dekat jendela. Menatap sesosok tubuh yang mengenkan jaket salah satu klub bola Itali, menggunakan earphone, memakai sepatu sport, yang sedang berlari lari kecil. "Tamparan ku itu sakit gak ya?" Tiba tiba aku berpikir begitu, soalnya kemarin aku tidak sempat menatap wajahnya saking malunya. Namun yang pasti, tanganku masih gemetaran sampai sekarang.

Aku lalu melipat sajadahku, dan menaruhnya kembali. Untunglah, sekarang kamarku sudah beres dari serangan seekor kecoa kemarin. Sekitar jam lima, entah kenapa aku menatap jendela. Aku lalu mendengar suara minta tolong dan segera mencari sumber suaranya dari kaca jendela.

Aku menemukannya, namun disana ada Ryan yang malah mengacuhkan ibu ibu yang entah kenapa aku seperti mengenalnya. Aku mencoba mengingat, siapa ibu itu. namun jawabannya tak kunnjung datang sampai hal yang mengejutkan terjadi.

Terdengar kegaduhan dibawah. Aku segera berlari kebawah untuk mengetahui apa yang terjadi.

"A-apa? P..pembunuhan? Ba-baiklah. Akan abang hubungi. Dimana lokasinya? Oh, baiklah. Terimakasih."

"Apa yang terjadi, Bang Hauzan?" aku turun dari tangga.

"Katanya ada masalah serius. Kamu tunggu disini saja. biar kami yang kesana." Mereka mencoba menyuruhku untuk tetap diam dirumah. Namun, karena penasaran aku memaksa ikut ketempat sumber masalahnya.

Namun, masalahnya itu lebih rumit dari yang aku bayangkan. Aku tidak tahu, kalau disana ada sebuah mayat tergeletak tanpa tangan dan busana. Aku hanya mematung melihat mayat itu. namun, tiba tiba saja tubuhku bergerak sendiri. Bergerak kearah mayat itu, dan mengamatinya lebih dekat.

Ibu...

Aku terkejut melihatnya. Aku tak menyangka kalau mayat ini adalah Ibuku. Aku tak menyangka kalau ibu ibu tadi adalah Ibuku. aku tak tahan, tangisanku pecah disana.

Mereka semua mencoba menenangkanku. Namun, yang kupikirkan saat ini adalah Ibuku sedang bermain main agar membuatku terkejut, agar membuatku jantungan. Dia dulu pernah melakukan hal ini. jadi, aku berfikir kalau dia juga melakukan hal serupa.

Aku tidak mempercayai kalau Ibuku meninggal. Aku terus melontarkan kata kata itu kepada mereka. Bahkan Bang Sulthanpun jadi sasaran pelampiasanku. Ibuku belum mati. Ibuku belum mati. Itu kalimat yang terus kuulang, sampai terdengar suara yang tak mengenakkan hati.

"Dia sudah mati, bodoh. Jangan lakukan hal yang bodoh lagi." Aku terdiam untuk beberapa saat. Tubuhku gemetaran. Aku tak tahan mendengarnya. Aku tak tahan melihatnya.

Dengan kaki yang gemetaran hebat, aku menoba berdiri.

"Apa yang kau katakan? Ibu belum mati. Ibuku belum mati..." Aku mengehntaknya. Tangan dinginnya memegang bahuku, memutar tubuhku hingga mata kami saling beradu pandang.

"Kau... Apa kau bodoh? Apa yang kau harapkan? Apa yang kau pikirkan? Apa yang membuatmu tidak percaya? Lihat kenyataan. Lihat apa yang ada didepanmu. Apa kau bodoh? Apa kau buta? Percayalah pada kenyataan" dia melepas tangannya. Aku sudah tak tahan lagi. Rasanya saat itu bisa saja aku meledak atau pingsan tiba tiba. Tubuhku memanas. Kedua tanganku rasanya ingin membunuh pelakunya segera.

"Hentikan rengekkanmu itu, dasar perem-" Aku langsung menamparnya. Aku tak tahan mendengar kalimat kalimat yang akan keluar dari mulutnya. Aku sudah muak dengannya.

"Kau... Kau yang membunuhnya, bukan?" Aku mendekatinya. Dia berdiri, menatapku dengan sinis.

"Apa yang kau katakan? Kalau aku yang membunuhnya, aku pasti sudah kabur duluan, atau tidak memanggil kalian disini."

"Kau... kau pasti yang membunuhnya. Kau yang membunuh Ibuku bukan? benarkan? Jangan mencoba... Diam kau. Jangan mengelak lagi... Kau yang membunuhnya bukan?" Aku pasrah. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan. Aku ingin menamparnya lagi. Aku ingin memukulnya lagi. Tapi, kenapa aku malah bersandar padanya?

Kami terus begitu untuk beberapa saat. Hingga akhirnya, tubuh kaku ku terhuyung kedepan dan seketika semuanya hitam, gelap, dan sunyi.

***

Like Rainbow in the SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang