Ketertarikan #3

21 2 0
                                    

            Aku mengambil karcis, dan memarkirkan motorku ditempatnya. Ada 4 baris motor, dan untungnya ada ibu ibu yang mau keluar. Dengan cepat, aku mengambil tempat itu karena sudah ada 5-7 motor yang mengantri mencari tempat parkir, dibelakangku.

Aku berjalan, memasuki pintu otomatis, mencari resepsionisnya dan menanyakannya dimana jenazah Ibu di letakkan. Lalu seorang dokter wanita muda, berparas lumayan lah untuk anak muda sekarang, dengan ramah menunjukkan jalannya kepadaku. Aku mengikutinya dari belakang, sambil sedikit bertanya tanya dalam diriku.

"Maaf... Ini jenazah ibumu. Apa saya perlu mengatakan penyebab kematiannya?" Dokter itu pergi kearah loker loker dan mengeluarkan sebuah map tulang berwarna kuning.

"Tidak perlu. Biar aku yang jelaskan kematiannya." Terdengar suara dari belakangku. Aku meliriknya. Kenapa dia ada disini?

"Begini. Penyebab kematiannya adalah tembakan pistol dari jarak dekat kearah kepala. Lihatlah disekitar sini." Dia menarik tanganku kearah kepala Ibuku. dokter itu juga ikut bergerak sambil mengecek isi yang ada didalam map itu.

"Lihatlah, kau melihatnya bukan?" lanjutnya

"Terbakar?" Tiba tiba jantungku berdegub kencang dan pertanyaan pertamapun muncul di benakku. Kenapa kening Ibuku terbakar?

"Itu adalah percikan api yang keluar dari senjata apinya. Aku tidak tahu pasti, tapi menurutku ini adalah revolver karena ketika aku melihatnya tadi, masih tercium bau bubuk musiu yang kuat di pakaiannya. Kalau untuk handgun tidak akan menghasilkan aroma yang kuat seperti itu. Dan juga, aku menduga kalau kematian ibumu ini ada kaitannya dengan pembunuhan berantai itu."

"Dokter, apakah dia benar?" aku menoleh kearah Bu dokter yang terdiam, dan sedikit terkejut.

"Y-ya. Dia benar semuanya. Polisi juga menduga hal seperti itu. aku merasa dia mengulang apa yang polisi tadi katakan. Tapi, masih ada sedikit yang kurang. Ada beberapa hal yang belum dia katakan, sedangkan polisi tadi sudah mengatakannya."

"Begitu ya? Dia juga pasti mengatakan ciri ciri korbannya. Aku berani bertaruh, korbannya bertubuh tinggi, lebih tinggi dari 175 cm. hal itu dapat diketahui dari sudut datangnya peluru. Seorang pria dengan rambut hitam top man, pekerja kantoran, perokok, dan bisu. Menurutku seperti itu orangnya." Dia lalu menarik kain yang menutup tubuh ibuku hingga seluruh tubuhnya tertutup. Mungkin, dia tidak kuat melihat mayat.

"Darimana kau tahu?" Bu dokter itu terkejut, dan tubuhnya terhempas ke lemari yang berisi obat obatan.

"Kalau masalah rambut itu, aku sudah memeriksanya di seluruh pakaian yang ibu itu kenakan. Kalau masalah yang lain itu, hanya intuisi ku saja. jangan dipikirkan." Dia berhenti, tersenyum sebentar, dan duduk tepat disamping jenazah Ibuku.

"Nah sekarang, apakah kau mau bergabung dan membentuk partner denganku, Racel?" Aku sedikit terkejut. Setelah 2 tahun bertemu dengannya, ini pertama kalinya dia menyebut namaku, selain disekolah – karena kerja kelompok – dengan senyuman semanis itu. jantungku kembali berdegup kencang. Aku sangat gugup. Tak tahu, apa yang harus aku katakan.

"T-tunggu sebentar. Aku tidak tahu apa maksudmu sama sekali. Bisa saja kalau analisimu itu sudah kau minta dari pak polisi itu. aku tidak peraya padamu." Aku mencoba mengelak. Tapi, dalam hatiku aku yakin kalau itu adalah hasil analisis dia sendiri . dia tidak seperti mengingat. Dia mengatakannya dengan lancar dan senyuman yang bahkan aku baru pertama kali melihatnya.

"Hahaha... Ternyata kau pandai bersilat lidah juga ya. Aku mengira, kalau kau itu adalah orang yang taat agama. Tapi, kau ternyata bisa suuzon juga kepada orang. Menyebalkan. Ya sudah, aku hanya perlu mencari orang yang cocok denganku saja. Nikmati saja waktu berdukamu itu. aku tidak peduli." Dia lalu melambaikan tangannya, dan pergi keluar dari rumah sakit itu.

Sedikit sakit rasanya, karena di nasehatin oleh orang seperti dia. Tapi, yang lebih sakit itu adalah dia benar. Aku tidak tahu, tapi rasanya yang didalam tubuhku terasa panas semua. Memang, Allah tidak menyukai orang yang suuzon kepada orang lain. Hal itu dapat memecahkan ukhuwah kita. Dan yang parahnya, aku tidak tahu harus berbuat apa. Ibuku mati didepan mataku, dan apa aku hanya bisa meratapinya saja?

Tidak. Aku tidak bisa diam saja...

"Apa yang dia katakan tentang rambut pelaku itu benar. Kami juga sudah mengeceknya dan memang benar seperti itu. Tapi anehnya, DNA nya tidak cocok dengan DNA yang ada seluruh rumah sakit di Riau ini. kami sudah mengirim datanya ke seluruh kota dan kabupaten di Riau, tetapi hasilnya nihil. Sekarang, kami sednag mengirim datanya ke pusat, agar disebarkan di seluruh Indonesia. Namun, polisi hanya mengatakan hal itu saja. dia tidak mengatakan kalau pelakunya adalah seorang pekerja kantoran, perokok, apalagi bisu. Temanmu itu terlalu banyak nonton film kali ya?"

Aku hanya terdiam mendengar kata katanya. Aku pulang dengan memendam rasa kecewa, dan sedikit menyesal. Pertanyaan yang samapun terus terngiang ngiang ditelingaku. 'Apakah aku harus membalasnya?'

Memang, banyak yang mengatakan kalau nyawa harus dibalas nyawa. Tapi, bolehkah manusia memendam rasa dendam? Bolehkah manusia melampiaskan rasa amarahnya? Bolehkah manusia melampiaskan dendamnya?

Aku takut memikirkannya. Namun, kata kata Ryan tadi malah muncul di telingaku. 'Apakah kau mau bergabung dan membentuk partner denganku, Racel?'

***

Like Rainbow in the SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang