Chapter 3

32 1 1
                                    

Rabu, 16 maret 2016...

Butiran air terjun dari awan hitam. Hitam gelap, disinari kilatan biru yang menyala. Rintikan air membasahi segala yang disentuhnya. Payung pelastik hitam basah karenanya. Awan yang seperti bunga kol itu sedang bersedih, turut berduka kepadaku.

Sudah 2 hari sejak kejadian itu. Aku masih belum dapat melupakannya. Kejadian yang ingin aku lupakan, namun tak dapat kulupakan. Orang orang pernah bilang, semakin berusaha melupakannya, maka semakin ingatlah kepada hal itu. Tapi, apakah hal itu benar?

Aku sekarang tidak berada di kos. Ayah menyuruhku pulang. Aku tidak tahu kenapa, tapi sedikit sakit jika aku meninggalkan kos kosan tua itu. Apa sudah banyak kenangan yang aku torehkan disana? tidak. Aku berada disana baru 1 semester dan itu tidak mungkin. Atau, ada yang lain?

Ayah pulang dari kantornya. Jas hitam berselimutkan mantel putih itu malah mengingatkanku akan sosok ibuku. Ayah tahu kalau aku akan terus mengingatnya. Disini, dirumah ini, sudah banyak kenangan yang kami buat. Namun, kenapa ayah menyuruhku untuk terus mengingat ibu? Bukankah itu malah membuatku semakin sedih?

"Racel, ternyata Racel memang tidak mau mengingat ibu lagi?" Suara parau ayah memecah lamunanku.

"Bukan begitu, Yah. Tapi, semakin aku mengingatnya, semakin rindu aku padanya. aku tahu, kalau dia sudah mendahului kita. Tapi, air mata ini terus mengalir. Aku benci hal ini."

"Kalau begitu, baguslah. Racel, ingat semua apa yang telah ibu lakukan untuk Racel. Ingat semua apa yang ibu ajarkan untuk Racel. Ingat semua a...apa yang ibu... apa yang ibu... katakan untuk Racel. Ingat semua itu, ya nak." Ayah terduduk lemas. Tidak hanya aku yang merasakannya. Ayah juga, dan bahkan ayah sampai menangis seperti itu.

Ayahlah yang paling menyukai ibu. Ayahlah yang paling menyayangi ibu. Tapi, kenapa ayah masih bisa tegar dengan semua ini? kenapa ayah masih dapat melakukan sesuatu seperti biasanya tanpa beban sedikitpun? Apakah dia memang menyukai ibu? Apakah dia memang menyayangi ibu?

Tapi, menurutku itu wajar saja. Mungkin, ibu tidak ingin melihat pria yang dicintainya meneteskan air mata untuknya. Ayah bersikap tegar, agar ibu yang berada dilangit melihatnya dengan bangga. Agar ibu yang menjadi bintang melihatnya dengan senyuman ibu yang manis.

***

Kamis, 17 Maret 2016...

Sekolahpun dimulai pada hari ini. liburan seminggu memang tidak terasa sama sekali. Dan terlebih, kenangan buruk itu terus menghantuiku sepanjang malam. Tapi, aku tidak ingin kenangan itu lepas dariku, lepas dari ingatanku.

Hari ini, seluruh tugas yang diberikan minggu lalu dikumpul. Semua catatan, latihan, tugas folio, serta beberapa modul dan lks menumpuk di ruang majelis guru. Aku tidak yakin, guru akan memeriksa semua tugas kami yang menggunung itu. dan aku juga tidak yakin, kalau dia membuat PR nya.

Aku duduk di pinggiran mushala. Dengan 5 tusuk bakso bakar ditangan kanan serta sebotol minuman mineral ditangan kiriku, bergurau bersama teman teman terdekatku, atau biasa orang panggil sebagai sahabat.

Memang, sahabat itu tidak selalu berjalan mulus. Terkadang, kami terpecah. Terkadang, kami berpisah. Namun, semua itu selalu diakhiri dengan kata 'maaf' dan semuanya kembali normal. Tidak, tidak semuanya kembali normal. Lebih tepatnya, semuanya menjadi lebih erat, dengan mengetahui sifat masing masing setiap individu.

Tidak sepertiku yang selalu berada dikerumunan para sahabat karibku, orang itu selalu membeli kopi botol atau kopi kalengan dan meminumnya sambil berjalan jalan dan kertas aneh yang dia pegang ditangan kirinya.. Rambut acak acakan, serta lingkaran hitam dimatanya, aku dapat membaca dengan jelas apa yang telah ia lakukan kemarin.

"Dia pasti tidak membuat PR lagi tuh." Intan berbisik bisik disaat orang itu berjalan di depan mataku.

"Ya, terlebih gaya rambut apa itu? acak acakan gk jelas gitu. Tak kusangka, kau menyukai orang seperti itu, Rahel." Nadia yang berbicara ceplas ceplos ditambah volume suara yang sengaja dia besarkan, membuatku malu sekaligus menahan emosi. Jika diibaratkan di dunia Anime, mukaku sudah berwarna merah dengan garis garis merah di pipiku.

"A-apa yang kau katakan? Kecilkan suaramu itu. gimana kalau dia mendengarnya?"

"Apa kau tidak berani mengatakannya? Kalau begitu, nanti dia direbut loh" Intan ingin menyemangatiku, tetapi entah kenapa terasa sedikit menyebalkan.

"Jadi, kapan kau akan mengatakannya, Rahel?"

"Tidak tahu. Mungkin, setelah kelulusan kita. saat acara perpisahan."

"Kakak sudah merencanakannya ya. Berani sekali ya, Kak Rahel." Melia tertunduk sebentar. Aku tidak tahu kenapa, tapi wajahnya sedikit terlihat sedih. Adek kelas yang satu ini kalau sedang cemberut atau bersedih pasti akan tampak langsung. Namun kalau sedang ceria, tidak ada dari kami berlima yang bisa menandinginya, apapun yang ia lakukan.

"Hahaha... Rahel kan emang gitu. Tapi, apa tidak masalah? Organisasimu nanti gimana?"

"Iya juga. Tapi, kemungkinan aku tidak mengajaknya pacaran atau apapun. aku hanya ingin mendengar jawabannya saja."

Bel jam pelajaran ke 5 pun dibunyikan. Kali ini, Fur Elise yang dimainkan.

***



Like Rainbow in the SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang