Emosi Ryan

12 1 1
                                    

Sialan... Tak kusangka, saat pergi tadi Rahel sudah membuat cerita sebanyak itu. yah, dari semua yang dia jabarkan, aku tidak dapat menyangkalnya karena apa yang ia katakan itu benar adanya tertulis secara rinci di dalam diary hitamku ini.

Namun, aku perlu meluruskan sesuatu. 'Walau sesekali aku menangis' bukan sesekali lebih tepatnya. Minimal sekali dalam seminggu aku dapat mendengarnya menangis. Aku dapat mendengarnya, karena pada saat itu, kamar kami saling terhubung, dan hanya dipisahkan oleh dinding.
***

Minggu, 20 Maret 2016...
Terbit fajar menandakan hari baru telah tiba. Hari dimana semua serba gelap kini berangsur menuju penerangan. Warna merah ke oren orenan mulai menghiasi ragam bintang di langit. Tak kalah dengan sinar rembulan yang menambah suasana menyenangkan saat itu.

Ayam berkokok dengan gagahnya, membangunkan seluruh penghuni rumah tingkat 2 dimana kisahku dimulai. Headset - merah hitam yang mengalungi leherku - mengeluarkan suara dari hasil karya komponis ternama, J.S Bach, yang sekarang terdengar di telingaku adalah violin concerto in A minor.

Kali ini aku keluar karena sebelumnya ada panggilan masuk yang menyuruhku pergi kemarkas secepatnya. Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena pizza yang aku pesan 2 hari sebelumnya tidak kubayar.

Motor matic 150 cc yang kubeli setahun yang lalu kini berada disampingku, menunggu untuk digunakan.

Markas yang aku datangi ini adalah sebuah bangunan rahasia milik swasta yang bekerja dibawah naungan negara. Oleh karena itu, organisasi ini seperti mata mata pemerintah, namun bergerak atas kemamuan pihak atasan. Ada berbagai peraturan di organisasi kami. Seperti, dilarang membeberkan pergerakan kami ke orang lain walau keluarga sekalipun. Dilarang memberitahukan alamat pusat kami, dan karena itu aku tidak akan menuliskan markas rahasia kami di dalam tulisan ini, baik bentuk, ukuran, jumlah pegawa, ataupun hal hal yang berhubungan dengan organisasi.

Atasanku memberikan sebuah map biola berwarna kuning dengan judul "Kasus ke 2 dalam tahun ini"

Aku memegang map itu, dan sedikit bertanya, siapa manusia malang yang menjadi korban dalam pembunuhan kali ini. dengan degupan kecil, aku membukanya, dan terpana menatap wajah yang ada di dalam map itu.

"I..ini.." Tanganku gemetaran memegang kertas putih itu. "Ap-apakah ini benar?"

"Ya, dia ditemukan tergeletak bersimbah darah di kamar Hotel Betha di persimpangan jalan Harapan Raya itu. Kenapa? Oh iya, satu lagi." Dia duduk dikursi hitam empuknya, dan meneguk secangkit kopi hangat. "Apa kau masih belum mendapatkan pasanganmu? Kau tahu bukan, hanya kau satu satunya yang belum mendapatkan pasangan yang pas disini."
"Aku tidak membutuhkannya. Aku sendiri yang akan menyelesaikan ini. saya permisi." Dengan geram ku buka paksa pintu kaca ruangan itu.
***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Like Rainbow in the SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang