Vena POV
Dari siang tadi, gue sama sekali gak ngeliat Arteri, jangan kan badannya, batang hidungnya juga enggak keliatan. Ada apa sih sebenernya, sumpah gue penasaran. Masa langsung drastis banget sikapnya gini.
Eh, itu Arteri keluar dari kamar.
Hujan-hujan gini tu orang mau kemana cobak.Gayanya udah rapi aja, pake syal segalak.
"Eh, lo mau kemana hujan-hujan gini?" tanya gue yang penasaran banget daritadi.
"Ada urusan bentar" jawab Arteri dingin.
Dan dia langsung pergi gitu aja. Sumpah asli ini nyebelin banget. Gue gak suka kalo Arteri udah kayak gini. Urusan apa cobak, ish.
Arteri POV
Ucapan Mole tadi gak bisa hilang gitu aja dari benak gue. Gue harus tau apa maksud dia ngomong kayak gitu. Kalo kayak gini terus, gue gak bakal tenang. Iyasih, gue udah punya keluarga baru. Tapi, gue mau tau siapa orang tua kandung gue. Dan gue berhak buat tau tentang itu.
Sore ini, hujan turun deras banget. Tapi, tekad gue buat jumpa sama Mole udah bulat. Gadis itu terlihat tidak tenang pas gue keluar dari kamar.
"Eh, lo mau kemana hujan-hujan gini?"
Ya, begitulah kata dia. Untuk saat ini, Vena belum boleh tau masa lalu gue. Gue ngerasa masa lalu gue, gak perlu ada yang tahu.
Gue bawa mobil dan langsung cabut ke tempat Mole.
Selama gue nyetir, gue bener-bener gak tenang. Gak biasanya emang gue kayak gini. Akhirnya, gue sampai di rumah yang udah lama banget gak gue liat. Keadaannya masih sama aja pas terakhir kali gue liat.
Sepi dengan cahaya yang begitu redup. Laki-laki yang sedang membaca koran tersebut langsung terkesiap melihat kedatangan gue. Yah, itu Mole.
"Udah gue duga, lo bakal datang kesini juga" ujar Mole tertawa tipis.
"Mole. Kita perlu bicara" ucap Arteri tanpa basa basi.
"Yah, gue tau apa yang lo mau bicarain itu. Lo ninggalin gue pas umur lo 10 tahun dengan keadaan lusuh, ya kan? Dan sekarang lo dateng dengan rapi bahkan bawa mobil lagi?"
"Lo tau siapa orang tua gue, Mole"
"Hah, sayangnya gue gak tau"
"Terus maksud lo ngomong gitu apa?!" Arteri langsung memegang kerah baju laki-laki itu. Setidaknya, sekarang ia bukanlah manusia lemah seperti dahulu.
Mole terbatuk. Darah keluar dari mulutnya. Aneh. Arteri bahkan tidak sedikitpun menyakiti Mole. Tapi?
"Lo mau bunuh gue? Silahkan. Lo punya hak buat itu, Arteri. Kalo lo mau balas dendam sama gue, sekarang adalah waktu yang pas banget. Pukul gue, lakuin kayak yang pernah gue lakuin ke lo" ujar Mole sambil terbatuk lagi.
Arteri melepaskan genggamannya.
"Gue gak perlu balas dendam sama lo, Mole. Gue cuman perlu tahu, siapa orang tua gue? Dimana mereka sekarang? Apa hubungan mereka sama lo? Dan apa maksud 'keberuntungan' yang lo bilang tadi?" ucap Arteri bertubi-tubi. Jujur, itu adalah pertanyaan yang tidak pernah sekalipun Mole menjawabnya.
"Duduk, dan tunggu bentar"
Mole pergi masuk ke dalam rumahnya. Ia keluar dengan membawa sebuah surat yang terlihat begitu kusam.
"Orang tua lo cuman ninggalin ini" Mole menyerahkan surat itu ke gue.
"Selama ini, gue gak maksud untuk enggak ngasitau lo apa-apa. Ini semuanya terlalu kelam buat gue. Dulu, gue dan orang tua lo itu satu tim peneliti di Jakarta. Kami banyak meneliti dan memecahkan masalah perusahaan. Satu tim itu sekitaran ada 20 orang. Dan pada saat itu, kami berhasil memecahkan masalah finansial yang cukup penting di Jakarta"
Mole terhenti dan lagi-lagi darah keluar dari mulutnya.
"Mole, sebenernya lo sakit apa?" tanya Arteri dengan tatapan tajamnya kepada Mole.
"Lo perduli?"
"Gue gak apa. Terus, saat itu pemimpin perusahaan yang menaungi tim kami punya niat buruk sama kami. Dia tahu, kalo masalah ini akan membawa keuntungan besar bagi perusahaan mereka. Mereka ngebunuh semua anggota tim, termasuk kedua orang tua lo. Gue, bener-bener gak tau harus berbuat apa saat itu. Mata gue cuman ngelihat darah yang bercucuran dimana-mana. Orang tua lo meninggal dan orang tua lo ngasi surat itu ke gue. Cuman gue satu-satunya yang selamat, gue melarikan diri. Gue dituduh sebagai orang yang ngebunuh tim gue sendiri. Tapi, lo tau? Itu semua gak bener! Dunia ini fana!" mata Mole berkaca-kaca terlihat emosi menyelimuti wajahnya.
"Siapa yang ngebunuh orang tua gue, Mole?" ucap Arteri pelan menahan tangis.
"Gue gaktau namanya tapi gue ingat wajah dia. Selama gue jadi buronan, gue nyari lo, Arteri. Di pesan itu, mereka minta gue buat ngejaga lo. Tapi, gue gak bisa ngejagain lo sama sekali. Gue buronan. Gue tertekan. Terlebih bayang-bayang kematian orang-orang yang gue sayang! Itu semua menghantui kepala gue!" air mata mulai keluar dari mata laki-laki itu.
"Jadi, itu sebabnya. Lo terus nyuruh gue kerja dan lo---"
"Bersembunyi di balik kegelapan. Gue gak tahan, Arteri. Gue cuman bisa ngeluapin semuanya ke lo. Maafin gue"
"Gue ngerti"
Suasana di rumah itu menjadi hening. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dan suara batuk Mole terdengar lagi.
"Udah hampir malam. Sebaiknya, lo pergi dari sini. Lo udah bisa jaga diri lo sendiri. Lo udah bahagia. Lo gak ada urusan lagi sama gue, Arteri. Gue harap, lo akan punya hidup dan cita-cita seperti yang lo impikan" Mole tersenyum seraya meninggalkannya.
"Lo harus ke rumah sakit" Arteri memegang bahu Mole yang saat itu berjalan menuju pintu rumahnya.
"Gue gak apa. Mungkin ini emang saatnya. Percuma gue hidup. Setidaknya, gue udah lega bisa ceritain semuanya ke lo"
"Mole, lo sakit apa?"
Mole tersenyum.
"Kanker otak" jawabnya.
Author POV
Arteri tidak memperdulikan Mole yang terus memberontak saat ingin dibawa ke rumah sakit. Ia tahu laki-laki itu telah jahat kepadanya. Tapi, emang keadaanlah yang membuatnya bersikap begitu. Mole tampak tidak berbohong. Baru pertama kali ini, ia melihat Mole meneteskan air mata. Apa yang dialaminya begitu kelam dan menakutkan.
Dokter memvonis Mole menderita kanker otak stadium akhir. Kondisinya sangat keritis. Mole telah bersusah payah untuk mencarinya dahulu walau ia tahu bahwa dirinya adalah seorang buronan.
Keberuntungan? Apa selama ini dia mencariku?
Mole mengetahui siapa orang yang telah membunuh kedua orangtuanya. Tapi, apakah di zaman seperti ini, apa masih ada orang seperti itu?
Egois, pikirnya.
Arteri kembali ke rumahnya tepat jam setengah 8 malam. Cukup lama ia pergi dan membuat adiknya itu sangat cemas. Tampak raut wajah cemas di mukanya.
"Lo darimana sih? Lama banget!" ujar Vena panik.
Arteri mengelus rambut Vena yang diiringi senyum dari bibirnya.
"Apaan sih, lebay banget lo" ucapnya seraya menyentil jidat adiknya itu.
"Gue capek, mau mandi. Daripada lo berdiri disitu, mending lo siapin makanan, laper nih" lanjutnya.
Vena tahu bahwa abangnya itu menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi, apa yang ia bisa perbuat sekarang? Menanyainya langsung sudah pasti tak membuahkan apapun. Vena berjalan ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk Arteri.
*****
Yeay selesai juga.
Eh, belum selesai sih. Hehe.
Okey, dah jan lupa vomment!
Sangkyu!

KAMU SEDANG MEMBACA
Arteri and Vena [SLOW UPDATE]
Novela JuvenilApa sebenarnya arti bahagia menurut kalian? Arteri hanyalah seorang pemuda biasa yang diangkat sebagai anak oleh keluarga Oryza. Ini semua terjadi ketika Arteri berusia 10 tahun. Saat dimana yang namanya "bahagia" hanyalah sekadar tiupan angin yang...