Untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki di cafe yang cukup terkenal untuk kota sekecil ini. Hangat langsung menyambut begitu aku membuka pintu-bertolak belakang dengan suhu di luar yang menunjukkan angka di bawah lima derajat celcius.
Uap kopi berkumpul di udara seakan membentuk formasi baru berupa kabut tipis nan hangat. Tidak heran jika tempat ini selalu menjadi pilihan orang-orang di kota untuk mencari kehangatan di tengah ekstremnya badai salju di luar. Maksudku, nyaris badai. Tetangga baruku bilang bahwa badai akan dimulai satu bulan lagi, awal yang baik bagiku untuk memulai kehidupan yang baru alih-alih memilih untuk mandiri dan meninggalkan ibuku-Liz-sementara waktu.
Cukup sulit mencari satu tempat duduk yang tak berpenghuni. Sekalipun dapat, letaknya pasti dekat toilet atau pintu masuk yang jika ada pengunjung baru (sekaligus keluar), bola-bola putih yang dingin itu langsung menerobos dari celah pintu dan hinggap di wajahmu.
Menyebalkan bukan?
Betapa beruntungnya aku kali ini yang mendapatkan kursi dengan posisi menghadap langsung kejendela. Kaca memang tengah berembun, namun itu sama sekali tidak membatasi ingatanku akan jalan setapak yang baru saja kulalui-sekalian mengingatnya. Empat tahun kedepan aku masih harus menetap di sini, tidak ada salahnya untuk menghafal jalan walau kota sedang bersalju.
Teh yang tadi kupesan datang. Aku mengucapkan terimakasih dan menyelipkan sedikit uang untuk pelayan itu sebagai balasan karena ia bekerja dengan penuh semangat dan juga ramah. Sulit menemukan manusia baik di zaman seperti ini. Yang tulus, tentu saja.
Sebenarnya, teh yang kupesan adalah teh biasa-aku bisa membuatnya sendiri di rumah.
Bedanya, hangat di sini mengingatkanku akan aura rumah di Australia; ada ibu, ayah, Ben dan Jack. Keponakanku juga sangat menggemaskan! Tentu saja karena mereka mewarisi sedikit gen dariku, Luke Hemmings yang tampan.Kuseruput isi cangkir dengan perlahan, menikmati setiap molekul yang membawa serta ketenangan untuk menyatu dengan jiwa. Pahit dari teh yang kupesan menyapu papila-papila lidahku yang artinya rasa ini memang sempurna. Aku tidak suka manis, karena ada seseorang yang jauh lebih manis. Ia membuatku enggan menyendokkan barang sejumput gula kedalam cangkirku.
Pintu terbuka. Orang sial yang mendapatkan tempat duduk di dekat pintu harus dengan senang hati diberi hadiah natal lebih awal berupa hembusan salju dan partikelnya.
Gadis itu berjalan dengan riang yang sesaat membuatku lupa bahwa ini adalah winter, bukan summer.
Ia membawa hangat yang berbeda juga; seperti teh-seperti rumah.
Pilihannya jatuh tepat di hadapanku. Ia menarik kursi dengan senyuman yang senantiasa mengembang kemudian duduk di sana.
"Maaf tidak bertanya lebih dulu." Senyumannya berubah menjadi canggung. "Boleh aku duduk di sini?"
"T-tentu saja." Aku baru saja memaki diriku sendiri karena gugup di depan seorang perempuan. Secara teknis, dia adalah manusia pertama yang berbicara denganku di kota ini. Bukan sekadar sapaan atau anggukan.
"Apa dingin membuat suaramu bergetar?" ia tersenyum geli.
Aku tertawa sarkastis ketika menyadari betapa bodohnya aku karena mempermalukan diri sendiri di hadapannya. "Ya, siapapun akan begitu."
"Lia!"
Aku mengikuti arah pandangnya. Seorang perempuan berseragam karyawan cafe bergegas menghampiri mejaku. Ralat, meja kami.
"Hey, Alana! Kamu mau memesan sesuatu?"
Alana.
Namanya Alana.
Mengingatkanku pada sebuah lagu:
Pelangi, pelangi. Alana indahmu.
Mereka berdua terlihat akrab. Mungkin teman di sekolah menengah.
"Okay, ten minutes!" balas gadis satunya dan melenggang untuk membuatkan pesanan Alana.
"Kamu minum teh?"
Aku terkejut karena ia bertanya tiba-tiba. "Y-ya."
"Kamu benar-benar kedinginan." Ia terkekeh. "Manis?"
Aku?
"Tehnya?" ia membalasnya dengan anggukan. "No sugar."
"Woah, really? Aku tidak suka pahit." Ditatapnya isi cangkirku yang tinggal setengah.
Beruntung aku mempunyai paras yang manis.
Seperti janjinya, Lia datang sepuluh menit kemudian dengan gelas yang mengepul, entah apa isinya.
"Ini dia cokelat panasmu!" gelas itu mendarat di atas meja. Aroma cokelat langsung menguar, membuatku sedikit pusing karena membayangkan bagaimana manisnya minuman itu.
"Thanks! Jam lima aku akan kembali lagi, like usually, okay?" ucap Alana entah tentang apa.
Lia mengacungkan ibu jarinya dan kembali bekerja sebelum dimarahi atasannya karena terlalu banyak mengobrol.
Alana menikmati cokelat panasnya dalam diam yang menenangkan seakan di sini hanya ada dia seorang.
"Mau?"
Ia selalu berkata secara tiba-tiba!
"T-tidak. Aku tidak suka manis."
Ia menautkan alisnya. "Aku tidak suka pahit, kamu tidak suka manis. Perbedaan yang mencolok, ya?" dan ia kembali tenggelam dalam buain kentalnya cokelat.
Kami tidak terlalu banyak berbicara. Aku sibuk memerhatikan alisnya yang sedikit terangkat ketika ia menyeruput minumannya atau sunggingan senyum yang tercetak saat aliran cokelat itu melewati tenggorokannya. Hanya itu di setiap menitnya.
Decitan kursi yang digeser membuyarkan lamunanku. Ia bangkit dari kursi dengan gerakan terburu-buru.
"Terimakasih untuk acara mengobrolnya! Sampai jumpa lagi." Ucapnya begitu saja dan langsung melesat keluar dari cafe.
Harusnya aku tahu kalau ini adalah obrolan kita yang terakhir. Harusnya aku lebih banyak bersuara ketimbang memandangi lekuk wajahmu. Harusnya aku memberitahu namaku sebelum kamu pergi.
Harusnya itu yang aku lakukan.
---
Ini sebenernya mau dibikin oneshot tapi seperti biasa gua kan mubaziran orangnya, jadi gak bisa satu part. Jadinya 4 part gitu deh.
Yak ini buku pertama yang tokoh utamanya Luke.
Tau ga motivasi gua bikin ff luk itu apa
Karena fotonya yang luk banyak yang bagus untuk dijadiin cover
Bagus kan ide gua
Hm
Yak stay tune ya teman-teman
3 part lagi
Muah
Ivonne, calcutepie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alana
Fanfiction❝Aku tidak suka pahit, kamu tidak suka manis. Perbedaan yang mencolok, ya?❞ Copyright © 2016 by calcutepie