Siapa jadi tak melankoli
Memutar arus dalam gempita tuntutan reformasi
Bengawan Solo pernah berdarah, masa ayahku memulai babak kehidupan baru
Jakarta ramai, masa adikku akan memulai menyapa panasnya lahar riuh rendahElang, Hendriawan, Heri, Hafidin
Kuingin tanyakan, seberapa nama itu familiar di telinga masa kini
Sejarah selalu menyentil
Diorama adalah panggung abadi sebuah riwayat
Ada semayam yang akan lebih mesra agar virulen tak balik
Suaka abadi bernama sanubari muda mudiEksil, tapol konon asing di gendang telinga
Berjebah luber kibul histori masa lalu
Sedih tidak ceceran darah dinafikan dalam kurun biadab
Apa berjuang harus adalah sebuah pilihan, bukan kewajiban?
Cendala nampak mata akan menggerus terus bagi insan tak peduli
Pedulilah, seru bangsa ini padamu, Pemuda!
Nasionalisme berada di hatimu sudut mana?○ Kebangkitan Nasional ○
Baru sadar dan belingsatan kalau peringatan Kebangkitan Nasional itu sebenarnya adalah peringatan lahirnya SDI (Sarekat Dagang Islam) alih-alih Boedi Oetomo dan aku lupa tentang itu. Tamparan. Kebangkitan Nasional momentum membangkitkan rasa dan semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme. Indonesia masih memiliki lorong sejarah yang dalam dan bercecer. Boleh jadi, kalau kita mulai mau peduli, masa depan madani akan lebih mungkin digenggam. Sejarah, adalah bagian yang begitu melekat dari sebuah bangsa. Karena di dalamnya (pasti) berisi orang-orang yang berjuang.
Maaf, alih-alih puisi tentang semangat nasionalisme, tapi malah menyenggol G30S dan Mei 1998. Pulang-nya Leila masih melekat erat. Perkataan Lintang -tentang rakyat Indonesia tak tertarik belajar sejarah- sangat menyentil. Jadilah begini. Nasionalisme, Pemuda, jadikan sebagai kemewahan yang menjadi identitas.
• Sragen, 20 Mei 2016 •
KAMU SEDANG MEMBACA
Palamarta Aksara
PoetryKumpulan puisi yang ditulis dalam bayangan utopis tak terdefinisi Copyright © 2016 by nauraini Cover by @mongseptember