sudut | 2

7.7K 1.4K 230
                                    

Kalian tahu nggak? Aku harusnya belajar, bukan ngobrol sama kalian kayak gini. Tapi mau gimana lagi, aku udah bosen banget harus bantuin soal-soal itu untuk membereskan masalah mereka. Mungkin hari ini aku harus istirahat.

Nah, mana popcorn-ku? Ah, itu dia.

Apa? Kamu mau aku cerita soal Romy lagi? Apa yang mau diceritain? Boleh deh, soalnya aku lagi senggang. Lain kali, kalau mau ngomong sama aku, omongin hal yang penting-penting aja, ya.

Bukan maksudnya Romy nggak penting, cuma yah ... dia itu cowok. Dan cowok nggak lebih penting dari Ujian Nasional yang tinggal menghitung hari lagi.

Kalian lihat nggak, teropong ini? Kasian deh, kalau nggak bisa lihat. Ini lho, yang di tanganku! Yasudah, lah. Anggap aja, aku lagi megang teropong plastik mainan yang kayaknya beli seribu dapat empat di abang-abang depan gedung SD-ku dulu.

Nggak, nggak, aku cuma bercanda. Teropong ini lebih mahal daripada seratus mobil BMW, dan lebih mahal juga dari total semua kekayaan Bill Gates.

Kamu pikir aku bohong? Emang. Aku emang bohong daritadi.

Aku nggak lagi megang teleskop, dan teleskop yang aku maksud harganya juga nggak semahal itu. Yang jelas, teleskop yang lagi aku bicarakan daritadi ini adalah teleskop pemberian Romy.

Kamu lupa Romy siapa? Romy itu pacarku. Udah ingat, 'kan?

Oke. Jadi gini. Aku nggak ingat betul keseluruhan peristiwanya, tapi aku ingat kata-katanya saat itu. Iya, saat itu, waktu Romy nembak aku. Bukan nembak pakai pistol, tapi nembak pakai cinta.

Aku awalnya nggak suka sama dia. Tengil, aneh, dan kerjaannya ngelantur soal kenapa-Pluto-udah-nggak-jadi-planet-lagi. Sumpah, aku capek dengernya. Dia itu sok pinter, sok ganteng, dan juga sok tahu tentang semua hal. Tapi, nggak tahu gimana caranya, akhirnya aku suka sama dia. Dan terjadilah kejadian itu.

Saat itu aku dan teman-temanku (sebut saja Ari, Kana, dan Sarah) lagi jalan-jalan beli petasan di pasar. Semuanya dibayarin sama Ari, karena dia belum nraktir kita di hari ulangtahunnya. Ari ulangtahun bulan Agustus, omong-omong. Dan dia satu-satunya laki-laki di antara kami berempat.

Tiba-tiba, Romy dan teman-temannya datang menghampiri kami. Dia manggil aku, tapi suaranya pelan kayak suara tikus, jadi aku nggak denger (belakangan ini akhirnya aku tahu kalau saat itu dia emang cuma megap-megap tanpa suara).

Akhirnya, dia bilang, "Juni."

"Namaku April," aku jawab sambil menatapnya aneh.

"Apa, sih? Aku lagi manggil Sarah, kok. Namamu Sarah Arjuni, 'kan?" Dia malah balik bertanya ke Sarah.

Kamu kesal nggak, kalau jadi aku? Aku sih, kesal. Makanya, setelah itu, aku nggak nyahut lagi dan langsung menarik teman-temanku pergi menjauh dari orang aneh itu.

Tapi, sebelum kami berempat melangkah lebih jauh, tiba-tiba aku mendengar suaranya. Suara Romy, maksudku. Dia berteriak, kencang sekali, sampai ikan-ikan yang dijual tukang makanan laut megap-megap karena kaget.

"April, nanti malam tahun baru, datang ke acaranya Dika, ya!"

Aku bahkan nggak tahu siapa itu Dika.

[]

Sudut ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang