Kisahku dan Romy sesingkat itu. Kamu pasti nggak sadar 'kan, kalau udah baca sampai sebanyak ini. Yah, daripada ngelantur ke mana-mana, mending aku lanjutin ceritaku kemarin.
Romy mengantarku ke rumahnya (atau rumah Om Dika, aku masih bingung sampai sekarang) dengan mobil sedan hitam mengilapnya. Nggak bisa dibilang mengilap sih, soalnya banyak cat terkelupas di sana-sini.
Mungkin Romy nyuri mobil itu dari tempat besi bekas? Hei, kamu jangan menuduh-nuduh kalau aku baru saja menuduh Romy! Aku cuma bercanda. Serius banget, sih. Lihat tuh, keningmu berkerut. Nggak usah, nggak usah dipegang-pegang. Aku cuma bercanda.
Ternyata, rumah Romy lebih besar dari yang aku bayangkan. Setelah menyapa om Dika dan istrinya (aku nggak tahu siapa namanya), akhirnya aku ditarik Romy ke atap rumahnya.
Bukan, atap rumahnya bukan atap miring kayak rumah kalian. Atap rumah Romy rata, lurus, lempeng, dan itu membuat aku bingung, apakah kalau hujan bisa jadi kolam renang dadakan.
"April," panggil Romy.
"Apa?"
Romy menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. "Duduk."
Aku pun menurutinya. Aku mendongak menatap langit, ke arah bintang-bintang yang berkerlipan.
"Aku udah suka sama kamu sejak pertama kali kita ketemu," begitu kata Romy.
"Kapan kita pertama ketemu?"
Romy tersenyum. Tipis, namun manis. Simpel, namun benar-benar membuatku kehilangan cara untuk bernapas. "Waktu hari pertama kamu masuk SMA."
"Oh ya?"
"Iya. Nggak ketemu face to face sih, tapi aku lihat kamu. Waktu itu, kamu pakai seragam SMP." Romy terdiam sejenak. "Aku merasa seperti Pluto, dan kamu Matahari-nya. Kamu pusat tata surya, sedangkan aku bahkan nggak dianggap sebagai planet."
Aku mengerutkan hidungku. "Aku nggak mau jadi matahari."
"Tapi aku mau," Romy tetap bersikeras. Tiba-tiba dia mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah teropong plastik mainan, tapi kelihatan seperti betulan. Aku menatapnya penuh tanda tanya.
Sementara Romy hanya tersenyum. "Aku suka sama kamu. Walaupun ini cuma teleskop mainan, aku janji nggak akan mainin hati kamu."
Aku balas tersenyum. "Sebesar apa coba, rasa kamu ke aku?"
"Kamu tahu bumi? Bumi nggak punya sudut. Melingkar tanpa putus. Dan seperti itu jugalah rasa cintaku ke kamu, April."
"Kamu tahu kan, ada sudut inklinasi dan deklinasi?"
Romy tertawa. "Itu nggak masuk hitungan."
"Kenapa nggak?"
"Karena aku nggak mau."
Aku ingat betul, saat itu aku mencibir sebal ke arahnya. Dia memang selalu suka menganggap dirinya yang paling benar, dan aku terpaksa harus mengalah dalam (nyaris) setiap perdebatan kami.
Tapi, aku suka dia. Walaupun kalau tidur suka ngorok, walaupun kalau nggak mandi bisa lebih bau dari kandang babi, walaupun suka kentut sembarangan, aku tetap suka.
"Daripada ngomongin sudut, mending ajarin aku cara make teleskop ini."
Romy beringsut mendekat ke arahku. "Gampang aja, sih. Jadi gini caranya ..."
Aku nggak terlalu memperhatikan apa yang dia katakan. Aku cuma mengangguk sesekali, tapi mataku tetap terfokus pada sosoknya yang terlihat kemilauan di antara gelapnya malam.
Hingga tiba-tiba, sebuah bau kurang enak (setara dengan satu juta tong sampah dijadiin satu) menusuk-nusuk indera penciumanku. Aku mengernyit. Mengalihkan pandanganku untuk memperhatikan ke sekeliling.
"Ini bau apa, sih?"
Romy menautkan alis. "Bau apa?"
"Ih, masa' nggak nyium?"
"Wah, kamu kentut, ya?"
"Eh, enak aja! Kamu kali!"
Romy hanya tertawa. Sementara aku menutup hidungku dengan tangan, cowok itu malah asyik menepuk-nepuk pantatnya (yang untungnya dilapisi celana jins) di depan mukaku.
Aku menyesal udah bilang kalau aku suka sama dia.
[]
sudut: tamat.
berlanjut ke orbit (coming soon).
makasih yang udah nyempetin baca ini! have a nice day c:
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut ✔
Short StoryCERPEN Romy berkata, "April, bumi itu nggak punya sudut, dan seperti itu jugalah cintaku padamu. Nggak akan berhenti, nggak ada ujungnya." [] Buku pertama dari kisah April dan Romy.