○1○

45K 1.3K 50
                                    

Seorang gadis berkulit putih dengan rambut cokelat bergelombang indah sedang duduk menikmati secangkir teh beraroma melati. Riasan tipis menghiasi wajahnya yang cantik.

Terdengar pintu dibuka dan seorang wanita paruh baya menghampirinya.

"Anak gadis kok bangunnya jam segini ? Duduk termenung pula lagi." tegurnya dan ia menarik kursi putih indah di depan gadis itu.

"Sepertinya aku mengerti kemana arah pembicaraan ibu." gadis itu tidak menoleh dari cangkir tehnya untuk memandang ibu kandungnya itu.

"Yah, kalau sudah mengerti, kenapa tidak dipikirkan ? Monica, usiamu itu sudah tidak muda lagi." lanjut ibunya. Monica menghela napas panjang dan meletakkan cangkirnya.

"Aku baru berusia 26, bu. Tidak usah melebih-lebihkan." Monica memandang ibunya tajam.

"26 itu sudah tua lho, nduk. Di umur segitu, ibu sudah melahirkan adikmu itu." gerutu sang ibu.

"Aku bukan orang jaman dulu, bu. Kita ini sudah modern. Tidak harus mengikuti ibu 'kan ? Menikah muda itu hal yang konyol bagiku. Aku masih ingin bebas, bu." protes Monica.

"Bebas katamu, nak ? Tapi, tak ada satu pun hal berguna yang kamu lakukan. Kerjanya hanya bermalas-malasan dan pergi menghabiskan hasil jerih payah bapakmu ini." celetuk seorang pria berkumis tebal yang tiba-tiba masuk ke taman kecil itu.

"Ah, ayah ikut-ikutan saja." Monica memanyunkan bibirnya sambil menoleh pada ayahnya.

"Tuh benar kata ayahmu, setidaknya adikmu tidak malas sepertimu. Dia masih bisa memikirkan membuka usaha sendiri." omel ibunya lagi.

"Jangan membanding-bandingkan aku dengan Prayoga !" suara Monica mulai meninggi.

Ibunya langsung memukul pelan lengan Monica, "Huss, jangan bicara tidak sopan di depan ayahmu !" hardiknya.

"Tenang saja, bu. Ayah sudah memilihkan pasangan untuk Monica." si ayah nampaknya tidak mempedulikan jeritan Monica.

Gadis itu langsung membelalak memandang ayahnya.
"What ??? Ayah ingin aku dijodohkan ???" Monica langsung berdiri dari tempatnya.

"Tidak usah pakai wat wet wit lah nduk. Memangnya kenapa dengan dijodohkan ? Toh, ayah sudah kenal dengannya. Anaknya baik kok." ayah Monica mengangkat tangannya untuk menyuruh gadis itu duduk kembali.

"Apa ayah tidak pikirkan perasaanku ???" Monica menggeleng tidak percaya sambil menghempaskan tubuhnya yang ramping ke kursi kembali.

"Kalau mau pikirkan perasaanmu, kamu tidak nikah-nikah, nduk." jawab ayahnya ringan.

"Jadi, siapa calonnya ini, mas ?" si ibu tiba-tiba memajukan tubuhnya ke arah suaminya.

"Anak dari salah satu klien mas. Sebenarnya sih karena pak Jumanto bilang dia tidak sanggup membayar hutangnya. Dan saat itu mas lihat anaknya sedang membantu di gudang. Mas jadi kepikiran sama Monica ini. Dia rajin sekali loh. Gagah lagi. Kamu tidak akan nyesal kok, nduk." cerita sang ayah. Monica kembali membelalak pada beliau.

"Jadi, maksud ayah dia jadi calonku karena ayahnya tidak bisa bayar hutang ???" rasa amarah Monica rasanya hampir meledak.

"Jangan marah dulu, nduk. Kamu belum ketemu orangnya. Mana tahu nanti kamu malah jatuh cinta sama dia." kekeh si ayah. Ibu Monica hanya tersenyum kecil.

"Impossible ! Aku sama sekali tidak mau !" geram Monica.

"Kamu boleh menolak kalau mau kartu kreditmu ayah blokir dan tidak ada uang jajan sama sekali. Gimana ?" lelaki paruh baya itu memandang anaknya sambil tersenyum santai.

"Jadi, ayah mengancamku ?" Monica menyipitkan matanya memandang lurus pada ayahnya.

"Kalau tidak diancam, kamu bakal jadi perawan tua, nak. Mau coba menghasilkan uang sendiri ? Ayah ragu kamu bisa. Menanak nasi saja masih minta bantuan si mbok." sang ayah tertawa.

"Namanya siapa toh mas ?" ibu Monica terlihat lebih tertarik mendengar informasi ini.

"Mas tidak tahu nama lengkapnya. Tapi, kalau tidak salah dia dipanggil Aji. Mas belum tanya lebih lanjut. Nanti mas kabari kalau sudah jelas. Tapi, mas suka sekali sama anaknya. Kamu juga pasti senang sama Aji, Yu." kata lelaki itu.

Monica tidak mendengarkan lebih lanjut dan langsung meninggalkan taman itu. Ia masih merasa kesal dengan perlakuan orangtuanya yang semena-mena terhadap dirinya. Ia ingin menemukan pasangannya sendiri dan tidak suka dengan yang namanya perjodohan.

Sebenarnya tidak sulit untuk menemukan kekasih bagi Monica Chendani. Tidak ada lelaki yang akan menolak pesonanya. Dia tinggi, putih, ramping dan sangat terawat. Tidak terlihat sama sekali kalau ia seperti orang Jawa. Ayahnya, Wiraseno Chendani adalah seorang pengusaha sukses di bidang mebel. Namun, keluarga Chendani juga terkenal dalam berbagai macam bidang usaha. Mereka juga memiliki perkebunan teh yang sangat luas. Ibu Monica, Rahayu Notonegoro juga seorang pengusaha batik yang sukses. Bisa dibilang keluarga Chendani adalah keluarga berdarah biru.

Monica sama sekali tidak berniat untuk terjun menjadi penerus usaha keluarga mereka. Kehidupannya sehari-hari dihabiskannya untuk bermalas-malasan dan pergi shopping bersama teman-temannya. Ia juga sangat telaten dalam merawat tubuhnya. Mungkin hal yang paling disukainya hanyalah mengenai perawatan kulit dan wajah.

***

Beberapa hari setelah pembicaraan mereka, ayah Monica kembali mengungkit masalah perjodohan anaknya saat makan malam.

"Besok ayah akan menemui Pak Jumanto di gudang tehnya. Kamu mau ikut, nduk ?" ia memandang ke arah Monica yang menaikkan sebelah alisnya.

"Untuk apa ?" heran Monica.
"Itu loh mengenai perjodohanmu. Pak Jumanto itu 'kan ayahnya si Aji." jelas ayahnya. Monica hampir saja tersedak oleh nasi yang baru saja ditelannya.

"Aku mau ikut mas. Aku pengen lihat Aji itu gimana anaknya." mata ibu Monica langsung berbinar-binar.

"Aku ogah ! Ibu sama ayah aja yang pergi." Monica langsung berdiri dan meninggalkan meja makannya. Ia langsung kehilangan selera makannya.

"Ya sudah, kamu ketemu sama Aji pas nikah aja kalau gitu." ujar ayahnya dengan santai. Monica langsung menghentikan langkahnya.

"What ??? Aku 'kan belum setuju mau menikah dengan si Aji ini ! Yang benar saja ! Orangnya aja gak tahu udah bilang mau nikah aja !" marahnya.

"Makanya suruh kamu kenalan dulu. Biar tahu loh. Mana tahu kamu jatuh cinta pada pandangan pertama." senyum sang ayah.

"Iiiihhhhhh !!!" Monica mengelus lengannya dengan cepat. Ia merinding mendengar kata-kata ayahnya.

Tiba-tiba, ia terdiam sejenak dan terlihat memikirkan sesuatu.

"Kalau aku sudah bertemu orangnya, boleh kutolak jika aku tidak suka ?" ia tersenyum penuh makna. Ayahnya hanya mengangkat sebelah alisnya.

"Kita lihat saja nanti. Tapi, susah loh menemukan pria seperti Aji sekarang ini." kedip si ayah.

Monica langsung mengerti maksud ayahnya. Intinya, beliau tidak mengizinkan Monica untuk menolak lelaki ini.

Monica menggeram kesal dan menyadari bahwa dia berada di posisi yang sulit. Ia tidak bisa hidup tanpa bantuan keuangan dari ayahnya. Tapi, dilain sisi dia juga tidak mau menikah dengan pria yang dijodohkan padanya.

"Memangnya ayah sudah bilang mengenai perjodohan ini pada keluarga mereka ?" tanya Monica.

"Justru itu. Besok jika kalian sudah bertemu, baru ayah bicarakan pada Pak Jumanto." jawab ayahnya ringan.

Dalam sekejap, Monica langsung menyadari adanya peluang untuk membuat Aji merasa 'ilfil'. Di benak Monica, pria seperti itu pasti tidak tahan dengan wanita yang sombong. Ia langsung menyiapkan rencana diam-diam.

"Baiklah. Aku akan bertemu dengan mereka." setuju Monica dengan tersenyum hingga membuat mereka cukup terkejut.

"Nah, kalau begitu 'kan enak nduk. Gak usah repot-repot memaksamu ke sana." si ayah kembali melanjutkan makan malamnya.

I Love You So Much, My Dear HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang