dua puluh tiga

1.3K 77 12
                                    


"Rasanya gue udah hilang harapan, De. Gue nyerah." Sorot wajah pasrah dan sendu terlihat jelas dari ekspresi Felice, bersamaan dengan desahan yang keluar dari bibirnya. Ini sudah seminggu sejak Daifan benar-benar mendiamkannya. Sudah Felice coba menge-SMS, menge-LINE, menelpon juga. Tapi hasilnya benar-benar nihil. Tidak dibalas.

Dean tau benar perasaan sahabatnya itu. Dia mengelus-elus punggung Felice. Berniat menenangkan. "Sabar aja dulu Fe. Mungkin Daifan emang bener-bener sibuk dan ada masalah yang nggak bisa diganggu. Kan emang gitu, tiap orang punya masalah hidup sendiri-sendiri dan kita nggak tau kapan masalah itu dateng ke kita." Tutur Dean mencoba memberi solusi dan nasehat ringan antar teman.

Felice memijit keningnya gusar. "Entahlah De. Pokoknya sekarang gue mau lepas dulu soal Daifan. Bisa gila gue lama-lama. Emang gitu ya De, cowok selalu berjuang di awal seakan-akan mereka bener-bener serius sama kita, seakan-akan mereka nggak bisa hidup tanpa kita. Tapi, setelah mereka membuat kita berhasil jatuh dalam pesonanya, mereka langsung lari tanpa kabar. Tanpa permisi dan pamit. Bahkan, cari orang baru buat dijadiin pelampiasan." Felice tertawa hambar.

Sementara Dean hanya bisa termenung melihat sahabtanya yang benar-benar sedang patah hati ini. Kasihan Felice, sudah mencoba membuka hati pada orang lain, eh, malah dikecewakan. "Secara tidak langsung lo juga mengakui kalo lo udah jatuh dalam pesona Daifan. Bener atau bener?" goda Dean

Felice yang sadar ada yang salah dengan perkataannya, segera meralatnya, "Eh—enggak gitu maksud gue! Aduh... gimana ya, tauk ah! Pusing"

Dean malah terkekeh melihat Felice salah tingkah. "Ah, nggak usah malu-malu gitu..."

Felice makin terpojok, dengan harga diri yang tersisa, dia bangkit meninggalkan kelas. Meninggalkan Dean yang masih tertawa cekikikan. "Ketawain aja terus... bagus... bye! Gue mau ke kamar mandi dulu! Hawanya panas!"

Dan tawa Dean makin meledak.

~~~

Jam kelima di hari Senin. Saat cuaca sedang panas-panasnya, kelas Felice malah kebagian jam olahraga. Pelajaran yang paling dibenci Felice seabad-abad. Bukan karen apa-apa, dia itu bisa dibilang lemah dalam semua cabang olahraga. Mulai dari renang, lari, senam lantai, dan masih banyak cabang olahraga yang tidak dikuasainya. Paling-paling, cabang olahraga yang disukainya Cuma senam irama. Karena bagi Felice itu gampang, Cuma gerak kanan-kiri, maju-mundur, tangan ke atas-ke bawah... kalau gitu doang apa susahnya!

Tapi kalau sudah di suruh senam lantai, jangan harap Felice sanggup. Dapat nilai dua setengah dari tujuh aja udah sujud syukur. Makanya, kalau banyak quotes-quotes di instagram, path, line, yang bilang hari Senin adalah nerakanya siswa, Felice 10000% setuju!

Kembali ke Felice yang tengah melakukan pemanasan di tengah lapangan. Badannya bergerak kesana kemari mengikuti arahan Pak Wendy, selaku guru olahraga. Baru dijemur dilapangan sepuluh menit saja, rasanya sudah seperti kepanggang di neraka bagi Felice. Heu, amit-amit kepanggang di neraka!

"Felicia! Sini kamu!" Panggil Pak Wendy dengan nada tegas tidak bisa dibantah. Pak Wendy ini memang terkenal sudah menyimpan dendam pada Felice gara-gara nilai olahraganya yang selalu paling rendah. Makanya kalau ada ini-itu, sasarannya pasti Felice.

Felice kaget setengah mati, hampir jatuh malah dari posisi pemanasannya. "Ehh—eh—saya pak?" telunjuknya mengarah tepat pada wajahnya sendiri. Haduh, rasanya jantung Felice mau keluar saking dag-dig-dugnya.

Pak Wendy menggeleng-gelengkan kepalanya tanda mengejek, sambil melotot. "Iyalah! Siapa lagi yang namanya Felicia di kelas ini."

Felice nyengir, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehehe, iya juga ya." Felice dengan sikap salah tingkahnya maju ke depan barisan. Ke arah Pak Wendy berdiri dengan peluit di lehernya. "kenapa pak?"

101 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang