My Heart ch 1

624 27 2
                                    

Sebuah sepeda yang dikendarai oleh seorang yeoja dengan panjang rambut sebahu, melaju cepat memburu waktu yang semakin siang. Benar saja, matahari di ufuk timur merayap semakin naik dengan cahaya yang menghangatkan tubuh manusia di bumi. Saat ini musim semi sedang menyapa Korea. Yeoja bernama Park Jiyeon yang kini sibuk mengantar susu dan surat kabar dari rumah ke rumah semakin semangat karena cuaca yang sangat bersahabat. Kedua kakinya terus mengayuh sepedanya agar melaju semakin cepat karena sebentar lagi dia harus sampai di Universitas Seoul untuk menyerahkan tugas akhir semester ini.
Tepat di depan sebuah rumah mewah yang juga merupakan pelanggannya, Jiyeon berhenti untuk beristirahat melepas penat dan meluruskan kakinya yang terasa pegal-pegal. Nafasnya terdengar seperti memburu kereta api ekspres.
Tiba-tiba pintu gerbang rumah itu terbuka. Jiyeon yang sedang duduk meluruskan kaki di samping pintu gerbang, terlonjak kaget dan melihat siapa gerangan yang keluar dari rumah itu. Jiyeon akui rumah itu memang besar dan mewah, tapi nampaknya di dalam rumah itu tidak ada kehidupan dan aktifitas manusia. Ternyata dugaan Jiyeon salah. Nyatanya, kini seorang namja muda mungkin seumuran dengannya atau lebih tua sedikit, sedang menuntun motor sport nya. Namja itu terlihat mengendap-ngendap persis maling. Tapi bedanya, namja itu bukannya masuk ke halaman rumah, tapi maah keluar gerbang.
“Omo!” seru namja itu.
Jiyeon yang tadinya bengong menatap namja didepannya itu juga tersentak kaget karena seruan dari namja itu.
“Neo, nuguya?” tanya namja itu sambil menggerakkan kepalanya ke depan.
Jiyeon baru sadar kalau dirinya terlalu lama berhenti di tempat itu. “Oh, mian, tadi aku hanya istirahat sebentar di samping gerbang, disitu.” Yeoja itu menunjuk ke tempat istirahatnya tadi. “Aku pengantar susu dan surat kabar ini. ” Jiyeon menunjukkan kotak susu dan surat kabar yang tersisa pada namja asing itu.
Tanpa mau mendengar komentar dari namja asing itu, Jiyeon bergegas mengambil sepedanya. Di samping sepeda yang ia parkirkan di depan pagar, Jiyeon membaca nama marga keluarga pemilik rumah mewah itu yang terpampang jelas di sebuah papan dengan cat warna coklat muda. Keluarga Im? tanyanya dalam hati.
Rupanya si namja itu masih menatap Jiyeon yang sedang mengambil sepedanya. Ia mengerutkan kening, kenapa pagi-pagi begini ada yeoja aneh di depan rumahnya…
Jiyeon pun menaiki sepedanya dan pergi meninggalkan namja itu menatap punggungnya yang semakin hilang.
Siwan Pov.
Hari ini aku ingin membolos kuliah. Aku benar-benar tidak beenafsu.dengan kegiatan yang satu itu. Saat lulus SMA, aku senang bukan kepalang. Akhirnya aku telah menyelesaikan sekolahku. Bagiku, sekolah adalah penjara terburuk di dunia.
Yeoja yang aku temukan sedang berdiri di depan gerbang tadi sepertinya aku pernah melihatnya. Kapan dan dimana? Aah, molla. Tidak penting. Sekarang ini yang paling penting adalah segera kabur dari tempat ini. Jika halmoni tahu, aku pasti gagal bolos 100%.
Aku memacu sepeda motorku yang super keren ini. Aku ingin pergi ke cafe langgananku yang letaknya tentu saja jauh dari sini. Anhi. Aku ke bar saja.
Siwan pov end.

Jiyeon memacu sepedanya makin cepat. Kali ini tujuannya bukan menghampiri rumah-rumah untuk mengantarkan susu dan surat kabar melainkan menuju kampusnya.yang terletak cukup jauh, 15 km. Yeoja yang gemar olahraga, nyanyi dan ngedance itu selalu menggunakan sepedanya kemana saja ia pergi. Ia merasa sayang mengeluarkan uang untuk ongkos angkutan umum karena dalam sehari, ia menggunakan 3/4 waktunya di luarf rumah. Jiyeon pulang ke rumah jika ia sudah mengantuk atau lelah. Jika dia harus mengeluarkan ongkos untuk angkutan umum maka sebagian besar penghasilannya akan habis hanya untuk ongkos.
Dengan nafas terengah-engah, Jiyeon memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus sepeda lalu segera berlari menuju ruang dosennya yang berada di lantai 3 di gedung kampusnya yang megah.
Tok tok took…
“Masuk!” terdengar suara seorang yeoja dari dalam ruangan. Jiyeon membatin, kok yeoja ada di tuangan dosennya?
Cekleek…
Jiyeon membuka pintu kaca gelap di depannya. Baru setengah badannya masuk di ruangan itu, bola matanya.berkeliling mengitari seluruh bagian matanya. Ia mencari sosok yang tadi mempersilahkan masuk.
Tiba-tiba seorang yeoja menyembul dari rak buku di samping pintu masuk.
“Omo!” Jiyeon kaget melihat ada seseorang yang muncul tiba-tiba.
“Wae? Ekspresimu itu seperti melihat hantu. Apa kau pikir aku hantu?” tanya yeoja itu.
Jiyeon menggeleng pelan. “Keunde, dimana…” Jiyeon belum selesai bertanya eh yeoja itu merebut lembara tugas dari tangannya.
“Ini tugasmu kan? Gurae, kau boleh pergi.”
“Jeogiyo… Aku harus mengumpulkan langsung pada…”
“Aku tahu. Hai nona cantik, apa kau belum tahu kalau aku asisten dosen?”
Jiyeon membelalakkan mata. Asisten dosen? Seperti itu? Ia sungguh tak percaya.
“Ada apa lagi dengan ekspresi itu?”
“A, anhiyo. Gurae, aku pergi. Gamsahamnida…” Jiyeon membungkukkan punggungnya lalu melangkah pergi menjauh dari ruangan dosennya.
Dalam langkahnya, Jiyeon masih tak percaya ada asisten dosen aneh dan tidak sopan seperti yeoja itu. Perut Jiyeon terdengar keroncongan. Protes dan demo karena tadi pagi belum sempat sarapan.
Kriiing…
Ponselnya berdering. “Eoh, Jieun-a, wae?”
“Dino-a, aku di kantin. Ke sinilah. Aku pesankan sekalian yaa?” suara Jieun terdengar lirih.
“Eoh. Gamsayo. Aku pesan seperti biasa ya? Aku segera ke sana. Gidaryeo ne…”
“Eoh.”
Klik..
Jiyeon memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku celana jeans-nya. Dengan penuh semangat, ia berjalan menuju kantin.

Di tempat lain, tepatnya di aula kampus Universitas Seoul, seorang namja tampan sedang mengikuti pelatihan kerja yang diadakan oleh pihak kampus. Namja itu memiliki semangat tinggi untuk meraih sukses. Ia memilih duduk di deretan paling depan agar bisa membaca penjelasan yang tertera di layar LCD. Alasan lain adalah agar ia bisa lebig konsentrasi mendengarkan penjelasan dari sang narasumber. Namja yang dikenal dengan nama Luhan itu tak pernah kehilangan konsentrasinya. Ia sering menulis catatan penting atau bahkan merekam suara dari narasumber agar ia tidak mudah lupa.
Setelah memakan waktu hampir 3 jam, akhirnya seminar itu selesai juga. Semua peserta meninggalkan kursinya masing-masing. Luhan keluar ruangan dengan tergesa-gesa karena sekarang sudah saatnya bekerja di restoran. Ya, Luhan merupakan asisten manager di sebuah restoran China. Skill dan kecerdasannya mendongkrak karirnya dalam waktu singkat. Dengan langkah terburu-buru, Luhan meninggalkan ruang seminar yang letaknya tidak jauh dari kantin kampus yang kini sedang ramai pembeli. Luhan mempercepat langkahnya. Waktu adalah uang, begitulah prinsipnya.
Bruukk!!
Tiba-tiba ia bertabrakan dengan seseorang yang baru saja berbelok ke arahnya. Luhan dan seorang yeoja itu jatuh. Tas dan lembaran kertasnya berserakan.
“Auw appo…” lirih Jiyeon, yeoja yang bertabrakan dengan Luhan.
Luhan dan Jiyeon bangun dari posisi mereka masing-masing lalu membersihkan pakaian dan membenahi dandanan mereka. Luhan memungut lembaran kertasnya yang berserkan di lantai. Sedangkan Jiyeon mengambil tasnya yang terjatuh.
“Mianhamnida… Aku tidak tidak sengaja.” Luhan membungkukkan punggungnya di depan Jiyeon.
“Nado, mian. Seharusnya aku yang minta maaf karena belok terlalu cepat dan tidak memperhatikan sekitarku. Gwaenchanayo?”
“Ah, gwaenchana.”
“Gurae, aku permisi.” Jiyeon membungkukkan badannya kemudian mengayunkan langkahnya lagi mendekati Jieun yang sedari tadi menunggunya hanya untuk makan tteokbokki.

Sepasang mata milik Luhan mengikuti arah kemana Jiyeon pergi. Saat hendak pergi dari tempat itu, sepatu kanan Luhan menyampar sesuatu di lantai. Keningnya berkerut. “Ige mwoya?” gumamnya. Tanpa pikir panjang dan diburu waktu yang semakin mepet karena ia harus segera sampai di tempat kerja, Luhan segera memasukkannya ke dalam tas dan melanjutkan perjalanan kakinya menuju tempat yang sedari tadi tertulis dalam ingatannya.

Jieun baru saja menghabiskan tteokbokkinya. Ia tampak puas sekali setelah menyantap habis porsi tteokbokkinya sendiri dan porsi milik Jiyeon. Jiyeon tiba di kantin dengan sedikit terengah-engah. Ia berusaha mengatur napasnya.
“Tteokbokkinya mana?” tanya Jiyeon yang baru saja duduk di hadapan Jieun.
Jieun tersenyum lalu berkata, “Sudah habis.”
Jiyeon tidak habis pikir, bagaimana bisa tteokbokkinya sudah habis. “Kau memakannya?” Jiyeon memicingkan matanya, curiga pada Jieun.
“Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan aku?” dengan bangganya Jieun mengaku kalau dialah yang menghabiskan tteokbokki untuk Jiyeon.
“Haaish,, lalu apa gunanya kau memesan untukku? Cepat pesankan lagi!” seru Jiyeon dengan kesal. Jiyeon sering merasa kesal akibat ulah Jieun. Namun yeoja itu malah semakin dekat dengan sahabatnya karena rasa kekesalannya. Meskipun kesal, Jiyeon tidak pernah bisa marah pada Jieun yang sudah menjadi sahabatnya sejak tiga tahun terakhir.
Flashback.
Hujan membasahi Korea Selatan selama beberapa jam. Di dalam derasnya hujan hari itu, sebuah mobil jenazah dari salah satu rumah sakit tiba di sebuah pemakaman umum di wilayah Daegu.
Seorang yeoja remaja menangis terisak-isak meratapi kepergian sang appa yang telah meninggal karena kecelakaan dua hari yang lalu. Sanak keluarga yang hadir untuk memakamkan jenazah appa dari yeoja itu berusaha menenangkan yeoja bernama Park Jiyeon. Ia terus saja membayangkan hidupnya tanpa ditemani oleh appa tercinta. Jiyeon remaja takut kalau nasibnya akan lebih buruk jika tidak ada sang appa.
“Tenanglah, Jiyeon-a, masih ada ahjumma dan halmoni yang akan menemanimu,” kata Park Taehee yang berusaha menenangkan Jiyeon berukang kali namun hasilnya Jiyeon masih menangis tanpa henti.
Matanya sembab. Diliriknya pusara sang eomma yang bersebelahan dengan pusara baru appanya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya. Sulit. Itulah yang dirasakannya. Sangat sulit untuk menghentikan aliran deras airmatanya.
Prosesi pemakaman sudah selesai, para pelayat membubarkan diri untuk kembali melakukan aktifitas mereka lagi.
Jiyeon masih tertinggal di depan pusara kedua orangtuanya. Ia tampak kacau sekali. Betapa sedih hatinya saat ini.
“Ayahmu pasti akan sangat sedih melihat putrinya menangis tanpa henti,” ucap seorang yeoja sebaya dengan Jiyeon. Yeoja yang memegang payung berwarna hitam itu mendekati Jiyeon yang masih meratapi kepergian appanya. “Aku tahu kau merasa sangat sedih. Dulu waktu appaku pergi, aku juga sepertimu. Menangis berhari-hari.”
Jiyeon menoleh ke arah Jieun. “Kau kehilangan appa juga?” tanya Jiyeon lirih.
“Ne.” Jieun mengangguk pelan. “Igeo.” Ia menunjuk ke arah sebuah pusara yang di atasnya terdapat bunga yang basah terkena air hujan. “Itulah makam appaku. Aku melihat sendiri appaku meninggal. Saat itu, aku dan appa baru saja pupang dari tempat hiburan. Eomma yang sedang sibuk dengan pekerjaannya tidak dapat ikut bersama kami. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba sebuah truk menabrak kami dari belakang. Appa sepertinya kehilangan kendali, terlebih goncangab akibat tabrakan itu cukup membuat kepala kami terbentur dasbor mobil. Mobil kami terpelosok keluar pagar pembatas jalan kemudian menabrak sebuah pohon besar. Aku masih sadar. Karena yang mengalami goncangan dan kerusakan parah adalah sisi kiri mobil, tempat dimana appaku duduk untuk mengemudi. Kepala appa berdarah, bahkan sangat banyak. Aku yang pada saat itu masih berusia 6 tahun sama sekali tidak tahu kalau appa sudah meninggal di TKP. Aku menjerit dan berteriak meminta tolong. Ku goncangkan tubuh appa. Tak ada reaksi. Aku membuka mata appa, matanya selalu tertutup. Aku takut karena appa terus tidur dan tidak menggubrisku.” Airmata Jieun meleleh. Jiyeon sangat tersentuh mendengar cerita Jieun. “Kau masih beruntung dibandingkan aku. Meskipun sekarang appamu sudah meninggal, setidaknya kau memiliki waktu yang lebih panjang bersama appamu. Tidak sepertiku. Beberapa hari setelah peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa appaku, aku menangis dan menangis. Hanya itu yang aku lakukan setiap hari. Lalu eomma membujukku untuk bisa menenangkan diri. Katanya, meskipun appa sudah tidak ada di bumi, kini appa berada di langit dan mengawasiku setiap hari. Jika aku menangis maka appa juga akan sedih. Jadi perlahan-lahan aku bisa menenangkan diriku dan berhenti menangis. Aku yakin appa akan baik-baik saja meskipun tidak bersamaku lagi.” Jieun berusaha menyembunyikan rasa sedihnya.
Keduanya, Jiyeon dan Jieun mulai akrab sejak pertemuan mereka di pemakaman itu. Mereka berdua seperti menemukan saudara yang hilang.
Flashback end.

Jieun mengambil tasnya. Gelagatnya ini sangat dicurigai oleh Jiyeon. Pasti Jieun akan meninggalkannya di kantin. Benar saja, tak lama setelah Jieun mengambil tasnya di kursi sebelahnya, dia bangkit dari duduknya.
“Yaak, eodikka?” tanya Jiyeon selidik.
“Aku ingin membuat perhitungan pada namja yang merusak buku pedoman penulisan karya ilmiah milikku kemarin.”
Jiyeon mengerutkan kedua alisnya. “Buku? Kenapa aku tidak tahu?” tanya Jiyen.
“Kemarin saat aku baru saja keluar dati kantor pos, tiba-tiba seorang namja menabrakku. Aku tidak asing dengan wajahnya. Orang itu tidak merubah identitasnya sama sekali. Sekarang aku tahu siapa dia.”
“Nugu?”
“Im Siwan. Dia adalah namja keturunan kaya tapi perilakunya benar-benar membuat setiap orang naik darah.” Jieun melenggang pergi.
“Im Siwan?” gumam Jiyeon lirih. Ia teringat papan nama marga di depan sebuah rumah mewah tadi pagi. Apa mungkin namja itu Im Siwan? tanya Jiyeon dalam hati. Aish, kenapa aku memikirkan orang yang tidak jelas dan aneh itu. Nama marga Im kan banyak. Bukan hanya keluarga itu. Pabbo. Jiyeon menepuk dahinya, menyadari kebodohannya.

Malam ini Luhan berniat mampir ke kedai makcchang untuk membelikan makanan kesukaan eommanya. Ya, hari ini Luhan gajian. Ia ingin memberikan sesuatu yang sangat disukai oleh eommanya. Sebagai anak satu-satunya, Luhan tidak pernah melukai hati dan perasaan ibunya. Dulu waktu dia baru saja lulus SMA, keinginannya untuk kuliah sangat tinggi. Namun karena keluarganya tidak mampu membiayai kuliahnya, akhirnya Luhan mengganti keinginannya dengan menjadi seorang pengusaha jika waktunya sudah tiba. Ayah Luhan bekerja sebagai karyawan tambak kwango di pulau Jeju. Di pulau itu banyak terdapat tambak=tambak ikan kwango. Satu kolam tambak luasnya bisa mencapai luas lapangan sepak bola.
Setiba di rumah, Luhan memberikan makcchang yang tadi dibelinya kepada sang eomma. Tentu saja eommanya sangat senang melihat putra satu-satunya sangat perhatian padanya. Eomma Luhan mengajak puteranya untuk makan bersama, namun Luhan menolak. Dia beralasan sudah kenyang karena tadi sudah makan banyak bersama rekan-rekan kerjanya. Padahal sebenarnya, Luhan sama sekali belum makan. Ia hanya membelikan satu porsi makcchang untuk eommanya. Luhan sendiri akan membuat omurice untuk dirinya nanti kalau eommanya sudah tidur.
Di dalam kamar, Luhan membuka tasnya, dilihatnya sebuah buku seperti buku diary atau buku agenda. Luhan membuka halaman pertama, ternyata berisi identitas dari sang pemilik buku. “Park Jiyeo…” gumamnya. Jadi nama yeoja itu Park Jiyeon?. Di halaman itu juga terdapat beberapa identitas yang ditulis Jiyeon. No ponselnya, akun SNS nya, alamat rumahnya hingga julukannya sendiri. Luhan tersenyum geli membacanya.

tbc.

MY HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang