My Heart ch 2

191 15 1
                                    

Malam harinya Jiyeon merasa ada sesuatu yang hilang. Ia masih belum.sadar kalau buku wishlist-nya tidak ada di dalam tas. Tas yang tadi ia bawa ke mana saja, termasuk ke kampus, ditumpahkan semua isinya ke atas lantai apartemen sederhana miliknya. Eopseo. Jiyeon mengingat-ingat dimana dia meletakkan buku itu. Sebenarnya buku itu tidak.terlalu penting baginya, tapi isi dri buku itu adalah semua hal yang ia cita-citakan dan ia impikan. Kalau buku itu benar-benar hilang, berarti ia harus menulisnya lagi. Itulah yang membuatnya malas menulis lagi. Ingatannya tidak sebagus para pengacara, hakim atau orang-orang cerdas lainnya. Jiyeon duduk termenung. Mengira-ngira dimana bukunya jatuh. Tidak mungkin diambil orang. Siapa juga yang mau mengambil buku jelek seperti itu.
...
Hari ini akan menjadi hari sibuk bagi Luhan. Ya, hari minggu adalah hari paling bersejarah bagi seluruh karyawan kafe karena pada hari libur itu, jumlah pengunjung yang datang 3 kali lipat lebih banyak dari hari biasanya. Tepat pukul 7 pagi, Luhan berangkat ke kafe naik bus. Sang sopir sudah hafal dengan jadwal kerja Luhan sehingga mereka berdua terlihat akrab.
Luhan memilih tempat duduk di belakang sopir. Ia terbiasa mengobrol sedikit dengan pak sopir. Hal ini tidak mengganggu konsemtrasi sang sopir karena memang sudah profesional.
"Berangkat kerja?" tanya sang sopir pada Luhan yang tengah menikmati pemandangan gedung bertingkat di seberang jalan.
"Nde, ahjussi," jawab Luhan singkat.
"Setiap hari kau pergi pagi buta lalu pulang hampir tengah malam. Seharusnya kau mengambil cuti untuk bersenang-senang."
Luhan hanya tersenyum mendengar saran dari sopir bus. "Anhiyo, ahjussi. Orang yang bekerja saja belum tentu bisa makan, apalagi orang yang tidak bekerja..."
"Tapi pemuda seusiamu itu harusnya menikmati masa muda," kata sangg sopir.
"Aku juga sedang menikmati masa mudaku, ahjussi. Setiap orang punya banyak perbedaan. Nasib mereka pun berbeda. Jadi, akan berbeda pula cara setiap manusia dalam menikmati hidup dan memanfaatkan diri mereka."
"Hmmm araseo araseo. Kau memang pemuda yang sangat rajin. Semoga kau bisa menjadi orang sukse ya Luhan-a..."
"Aamiin... Semoga, ahjussi."
...
Ting tiing... Bunyi bel sepeda Jiyeon saat ia hendak menabrak seseorang yang tiba-tiba melintas di depannya.
Brruukk!!
Jiyeob meringis menahan sakit di kakinya. Keseleo. Gara-gara namja itu, ia harus menabrak pagar. Hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa sepedanya, apakah mengalami kerusakan parah? Bagi Jiyeon, sepeda itu sangat berharga. Sama berharganya sebuah Mercedez Benz bagi orang-orang kaya.
"Gwaenchanayo?" seseorang berdiri di depannya, menanyakan apakah Jiyeon baik-baik saja. Jiyeon tak menggubris. "Yaak, neo gwaenchana?" suara namja itu semakin tinggi.
Jiyeon mendongakkan kepalanya. Matanya membulat. Namja itu lagi, batinnya. "Wae? Kau mau mengolokku?" tanya Jiyeon sewot.
Siwan mengerutkan keningnya, heran mendengar respon yeoja itu.
"Yaak, aku bertanya baik-baik padamu." Siwan masih belum ingat bahwa Jiyeon adalah yeoja yang ia temukan di depan gerbang rumahnya.
"Kalau berjalan, gunakan mata yang ada di kepalamu. Jangan menggunakan mata kaki!" Suara Jiyeon tidak kalah tinggi dengan suara Siwan. Yeoja itu berdiri dan menuntun sepedanya menjauhi Siwan.
"Jiyeon-a!" panggil Jieun yang sedang berjalan-jalan dan tidak sengaja bertemu Jiyeon yang baru selesai mengantar susu dan surat kabar.
"Eoh, Jieun-a. Tumben jam segini kau sudah pergi jalan-jalan. Biasanya kau masih bermesraan dengan selimut dan bantalmu."
"Enak saja... Kau tahu? Di seberang sana ada cafe yang waaah aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata." Jieun mulai bicara yang sulit dipahami oleh Jiyeon.
"Maksudmu apa?" tanya Jiyeon.
"Di kafe itu semua pelayannya namja tampan dan keren. Dari manajer, asisten manajer, kasir, pelayannya semua namja. Aku sudah menjadi pelanggan mereka dua minggu ini."
"Kau ini..." Jiyeon menggelengkan kepalanya.
"Oh ya, ada apa dengan si Siwan itu? Kenapa kau bersamanya?" tanya Jieun.
"Nugu?"
"Yaak, Siwan si namja yang bersamamu tadi."
"Siwan? Oooh jadi dia yang namanya Im Siwan? Aigoo..."
"Kau baru tahu?" tanya Jieun lagi.
"Eoh. Aku sudah bertemu dengannya dua kali."
...
Jiyeon dan Jieun sampai di sebuah kafe yang kebetulan tempat itu adalah tempat Luhan membanting tulang setiap hari. Seperti biasa pada hari Minggu, kafe itu dipenuhi para remaja yang menghabiskan waktunya berkencan atau sekedar berkumpul.
Jiyeon dan Jieun telah sampai di depan kafe, tanpa aba-aba, keduanya masuk dan memilih tempat duduk yang berdekatan dengan jendela agar mereka dapat menikmati pemandnagan orang yang berlalu lalang di depan kafe. Seorang pelayan datang menghampiri mereka, menanyakan pesanan keduanya. Jieun memesan Moccaccino dan Jiyeon memesan Americano Latte. Tak berapa lama pun pesanan meereka datang. Jiyeon sangat penasaran dengan rasa dari Americano Latte yang ia pesan. Apakah rasanya sangat nikmat, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Jieun. Ia menyendokkan cairan kental berwarna coklat lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Hmm nikmat, batinnya. Tumben selera Jieun cukup tinggi.
"Eotte?" tanya Jieun membuyarkan lamunan Jiyeon yang baru saja dimulai.
"Mwoya?"
"Pabbo. Tentu saja kopimu itu."
"Kau benar, rasanya sampai tak terlupakan. Tumben sekali seleramu bagus."
Jieun mempoutkan bibirnya mendengar sindiran halus dari sahabatnya itu.
Lonceng pintu kafe berbunyi. Seorang namja dengan dua orang temannya memasuki kafe dan duduk di bangku yang terletak tidak jauh dari Jiyeon dan Jieun. Melihat siapa yang baru datang, Jieun membelalakkan kedua bola matanya. Lagi-lagi Im Siwan. Kenapa namja itu selalu ada di sekitar mereka? Jieun mendesah kasar. Jiyeon yang menyadari ada sesuatu yang aneh pada sahabatnya itu, melihat apa yang ditatap oleh Jieun. Kini Jiyeon tahu alasannya kenapa Jieun membulatkan matanya. Ia pun kaget melihat namja itu ada di dekat mereka.
"Kenapa ada namja itu lagi? Apakah mereka mengikuti kita?" Jieun membuka suara membahas tiga namja yang duduk tidak jauh darinya.
"Molla. Aku tidak peduli mereka ada di sana."
"Omo!" seru Jieun menutup mulutnya menggunakan telapak tangan kanannya. Jiyeon mengalihkan pandangannya lagi, melihat apa yang membuat Jieun begitu heboh. Kali ini Jiyeon juga terkejut dengan apa yang dilihatnya. Seorang namja tampan sedang menanyakan pesanan Siwan dan teman-temannya. Namun bukan itu yang membuat Jiyeon terkejut. Namja yang melayani Siwan adalah namja yang bertabrakan dengannya kemarin waktu di kampus. Namja yang entah siapa namanya. Ternyata namja itubekerja di sini. Namun kenapa kostumnya berbeda dengan pelayang yang lain?
"Jeogi, aku ingin memesan lagi," seru Jieun yang berhasil membuat namja bernama Luhan menoleh padanya.
"Eoh, nde. Chakkaman gidaryeo," jawab Luhan dengan senyumnya.
Jiyeon mengalihkan wajahnya saat Luhan menoleh ke arah bangkunya. "Yaak, Lee Jieun, kau mau pesan apa lagi, eoh?"
"Apa saja yang penting bisa membuat namja itu kemari," jawab Jieun dengan senyum evil-nya. Jieun benar-benar sudah terpesona dengan ketampanan Luhan. Namja itu juga sangat ramah pada siapapun. Sepasang mata indah Jieun tak lepas dari sosok yang sangat dikaguminya itu. Jiyeon yang melihatnya, memilih tidak berkomentar karena akan percuma saja.
Luhan datang menghampiri Jiyeon dan Jieun. Jieun ingin memesan kopi lagi. Kali ini ia memesan seperti yang telah dipesan oleh Jiyeon, Americano Latte. "Yaak, kau pesan apa, Jiyeon-a?"
Jiyeon tersontak kaget. Ia sama sekali tidak mengira kalau Jieun akan bertanya seperti itu padanya. "Aku pesan cupcake saja," jawab Jiyeon singkat.
"Nde, kalian tunggu sebentar." Luhan mengayunkan kakinya menjauh dari Jiyeon dan Jieun.
"Yaak, bisakah kau tidak membuat kita malu?"
"Malu? Wae?"
Pletaakk!!
"Apa kau tidak malu melihat namja itu tanpa berkedip sekalipun?" tanya Jiyeon pada Jieun. Kesal karena sikap Jieun bisa membuat mereka berdua malu apalagi kafe sedang ramai sekali.
"Anhi. Ambil saja kesimpulan bahwa, aku adalah salah satu fans namja itu."
Jiyeon memutar bola matanya malas. Ia penasaran bagaimana reaksi Jieun jika ia mengatakan pada sahabatnya itu kalau namja yang baru saja melayani mereka pernah bertabrakan dengannya saat di kampus. Membayangkan reaksi Jieun saja sudah membuat Jiyeon geli hingga tersenyum sendiri.
"Yaak, ada apa denganmu? Apa ada yang lucu?" tanya Jieun.
"Anhi. Aku hanya teringat kebiasaan anjing tetangga apartemenku. Dia sangat lucu."
Luhan datang lagi, kali ini dia datang dengan sebuah nampan yang berisi secangkir Americano Latte dan cupcake.
"Gamsahamnida..." ucap Jiyeon.
...
"Waah aku sudah puas sekali. Baru kali ini namja itu melayaniku. Aku penasaran, siapa dia sebenarnya? Kenapa baru kali ini dia melayani pengungjung?"
"Molla..." Jiyeon menggeser kursinya ke belakang dan berjalan menuju kasir untuk membayar total pesanan mereka.
"Eolmanayo? Eoh, gurae. Gamsahamnida..." Saat Jiyeon hendak beranjak dari depan meja kasir, seseorang menghentikan langkahnya.
"Jiyeon-ssi..."
Jiyeon berdiri mematung. Darimana namja itu mengetahui namanya? Bukankah mereka belum berkenalan. "Ah, nde. Waeyo?"
Luhan memberikan sebuah buku kecil pada Jiyeon. "Igeo. Pasti milikmu."
Jiyeon menatap buku wishlist-nya dengan tatapan tidak percaya kalau namja itu yang menemukannya.
"Aku hanya membuka sampul depannya untuk mengetahui identitas pemilik buku ini. Kebetulan kau datang ke sini, awalnya aku ingin menghubungimu untuk mengembalikannya langsung padamu," jelas Luhan.
Dari kejauhan, Jieun melihat Jiyeon sedang mengobrol dengan Luhan. Ia sangat ingin bisa akrab dengan namja tampan itu.
"Jongmal gomawoyo, eumm..."
"Luhan. Naneun Luhan imnida."
"Nde, jongmal gomawoyo, Luhan-ssi." Jiyeon membungkukkan badannya. Luhan pun membalasnya.
...
Sore ini, Jiyeon berencana untuk mengunjungi beberapa pelanggannya untuk yang sudah akrab dengannya selama ia bekerja sebagai pengantar susu dan surat kabar. Sebagian besar dari mereka adalah para ahjumma. Mereka senang melihat Jiyeon yang semangat bekerja setiap harinya. Kunjungan pertamanya adalah ke kediaman keluarga Im. Dia sengaja mendahulukan keluarga itu agar nantinya ia tidak berlama-lama di sana karena memiliki alasan bahwa ia harus melanjutkan kunjungannya ke rumah-rumah yang lain. Sebenarnya Jiyeon tidak terlalu ingin mengunjungi kediaman keluarga Im, mengingat mereka hanya menutup gerbangnya saat Jiyeon datang utnuk mengantar susu dan tidak pernah sekalipun mereka menyapanya. Oh iya, pernah sekali. Seorang namja aneh keluar dari gerbang saat dia mengantar susu tapi itu hanya kebetulan. Jiyeon berpikir apakah keluarga Im adalah keluarga yang misterius? Tanpa disadari,, Jiyeon sudah berada di depan kediaman keluarga Im. Nama marga keluarga itu terpampang jelas di depan pagar rumah. Kediaman orang kaya itu selalu terlihat misterius. Jiyeon memencet bel yang ada di samping pintu gerbang. Tak menunggu lama, seorang namja paruh baya membukakan pintunya. Jiyeon ragu untuk masuk ke halaman rumah mewah itu.
"Silahkan masuk, agassi..."
"Nde. Gamsahamnida."
"Agassi mencari siapa?" tanya namja paruh baya yang pantas dipanggil ahjussi itu.
"Mm - aku mencari Im Siwan. Ya, Im Siwan. Apa dia ada di rumah?" Jiyeon harus berbohong pada ahjussi itu karena ia sendiri tidak tahu ingin bertemu siapa. Keluarga Im memang sudah lama berlangganan susu dan surat kabar dari tempat Jiyeon bekerja, namun anggota keluarga itu jarang sekali menunjukkan batang hidung mereka pada siapapun termasuk kurirs pengantar susu.
"Nde, tuan Siwan ada di dalam kamarnya. Silahkan duduk, agassi. Saya panggilkan tuan muda."
Jiyeon merasa ingin muntah mendengar kata 'tuan muda' yang ditujukan pada namja menyebalkan seperti Siwan. Jieun saja sering dibuat kesal olehnya. Jiyeon bingung apa yang harus dia katakan jika bertemu namja itu. Harga dirinya pasti sudah anjlok seperti harga saham Korea Selatan saat ini.
Tap tap tap tap!
Terdengar suara sepatu beradu dengan lantai keramik. Seorang namja yang tidak asing di pandangan Jiyeon semakin mendekat. Jiyeon masih belum menemukan alasan apa yang akan dia katakan karena berani mendatangi rumah namja itu. Jari jemarinya berkeringat karena Jiyeon merasa gugup.
"Nuguya?" tanya Siwan yang belum melihat wajah Jiyeon secara jelas.
Deg! Jiyeon tidak tahu apa yang harus dia katakan. "Aigoo... sesangi, eotteohkae?" gumam Jiyeon.
"Neo, nuguya?" tanya Siwan lagi.
Jiyeon memberanikan diri menatap Siwan yang sudah dalam posisi duduk di atas kursi tepat di depan Jiyeon. Kedua mata Siwan membelalak. Yeoja itu kenapa ada di sini? Ada urusan apa dia ke sini? Itulah yang ada di benak Siwan.
Jiyeon memasang wajah dengan senyum yang dipaksakan.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Siwan. Ekspresi Jiyeon berubah seketika.
"Aku datang ke sini untuk berkunjung ke rumah ini. Hanya keluargamu lah yang belum pernah aku kunjungi. Tenang saja, aku tidak akan lama."
Siwan hanya menatap yeoja yang duduk di depannya dengan tatapan tak percaya. "Apa alasan itu bisa diterima?" tanya Siwan
"Terserah. Aku datang ke sini memang ingin mengunjungi pelangganku. Setelah dari sini aku masih akan mengunjungi keluarga yang lain."
Siwan diam. Ia masih mencerna kata-kata Jiyeon. Maklum saja, sejak kecil, Siwan sering membolos. Bahkan kuliah adalah sesuatu yang sangat tidak ia harapkan. Jika bukan halmoninya yang menyuruh Siwan kuliah, namja itu tentu dengan senang hati tidak melanjutkan kuliah. Yang ada di otaknya hanya bersenang-senang.
"Gurae, karena aku sudah bertemu dengan sang pemilik rumah maka sekarang aku ingin pamit. Perjalananku masih panjang."
"Andwae!" seru Siwan.
"Mwo?" Jiyeon mengerutkan keningnya.
"Kau sudah menyita waktuku hanya untuk hal ini?"
"Keurom, apa yang kau inginkan, eoh?"
"Yaak, aku adalah pemilik rumah. Sedangkan kau hanya tamu di sini. Bersikaplah sopan padaku."
"Aigoo, lihatlah namja aneh ini... tamu adalah raja. Jadi, di sini yang harus lebih dihormati adalah tamu. Ara?" Jiyeon menegakkan badannya kemudian berdiri. Tak berapa lama setelah itu, kakinya mulai terayun. "Gomawo atas waktunya." Jiyeon meninggalkan Siwan yang masih duduk di kursinya.
Sampai di depan rumah, Jiyeon terkejut melihat ban sepedanya kempes. Ia menggigit bibir bawahnya. Mencari ide untuk keluar dari masalah ini.
"Waeyo, agassi?" tanya ahjussi pelayan yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jiyeon.
"Anhiya, ban sepedaku kempes, ahjussi. Apa di sini ada pompa angin?" tanya Jiyeon.
"Ada. Tunggu sebentar. Akan saya ambilkan."
"Nde."
Jiyeon menunggu ahjussi mengambilkan pompa angin untuknya. Ahjussi itu baik. Tidak seperti majikannya, pikir Jiyeon. Ahjussi tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Jiyeon jadi ragu untuk menunggu ahjussi itu. Tiba-tiba seseorang masuk ke halaman kediaman keluarga Im. Seorang namja yang wajahnya tidak berbeda jauh dengan Siwan. Mungkinkah dia saudara kandung Siwan? Tanya Jiyeon dalam hati.
Namja itu melihat Jiyeon yang sedang berdiri di depan sebuah sepeda berwarna pink. Ia menatap Jiyeon dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kemudian namja itu melepas kacamata hitam yang tadi menghiasi wajahnya. Jiyeon merasa risih jika ada yang menatapnya begitu lekat seakan-akan dia adalah tersangka pembunuhan berantai.
"Jeogi, neo nuguya?" tanya namja itu. tentu saja dia merasa asing melihat Jiyeon di halaman rumah sepupunya, Im Siwan.
"Nega? Eoh, aku hanya kenalannya Im Siwan." Jiyeon terpaksa mengatakan hal itu. tapi untunglah, tidak lama kemudian ahjussi datang dengan membawa sebuah pompa angin di tangannya. Jiyeon dapat bernapas lega. Akhirnya ia akan bebas dari cengkeraman namja-namja menyeramkan di rumah itu.
Ahjussi membantu Jiyeon memompa ban sepedanya. Hasilnya nihil. Itu artinya ban sepeda Jiyeon bukan hanya kemps tetapi bocor. Jiyeon menghela napas panjang. Berusaha meneteralkan emosinya agar tidak meluap sembarangan apalagi di depan orang-orang asing. Ahjussi menawarkan bantuannya untuk membawa sepeda Jiyeon ke bengkel terdekat. Namun Jiyeon menolaknya. Ia merasa sungkan jika terus menerima bantuan orang lain apalagi orang yang baru saja dikenalnya.
"Sepedamu kenapa?" Suara Siwan tertangkap indera pendengaran ketiga orang yang ada di halaman. Jiyeon menoleh. Benar saja, Siwan sudah pasang body di bawah tiang di teras rumahnya.
"Ban sepeda Agassi ini bocor, tuan muda," jawab ahjussi.
Jiyeon tergagap. Sungguh memalukan jika ban sepedanya bocor di depan namja itu. "Aku akan membawanya ke bengkel terdekat. Terimakasih sudah menolongku, ahjussi. Aku pamit."
"Chakkaman!" seru Siwan. Ia bergegas turun ke halaman untuk memeriksa sepeda Jiyeon. Benar, bannya bocor. Siwan melihat sebuah motor sport yang telah terparkir rapi di depannya. Motor sport milik Cho Kyuhyun, sepupunya itu menjadi sasaran mepuk untuknya.
"Yaak, kenapa kau melihat motorku seperti itu?" tanya Kyuhyun curiga pada Siwan.
"Anhi. Baru kali ini aku terpesona melihat motormu. Motormu itu lebih keren dari para yeoja yang cantik." Siwan mendekati motor Kyuhyun. Kebetulan kuncinya masih menancap mesra di tempatnya. Siwan tersenyum evil.
"Sudah, biarkan saja sepedamu di sini. Ahjussi yang akan mengurusnya," kata Siwan.
Jiyeon menatapnya tajam. Apa maksud namja ini? Tentu saja dia akan membawa sepedanya untuk melanjutkan kunjungannya ke rumah-rumah yang lain. "Kau bercanda? Apa aku harus berjalan kaki mengunjungi rumah-rumah pelangganku?"
Siwan menarik lengan Jiyeon untuk mendekat ke arahnya. "Aku yang akan mengantarmu. Biarkan sepedamu di sini untuk diperbaiki. Aku akan berbaik hati mengantarmu ke rumah mereka." Siwan sudah nangkring di atas motor Kyuhyun yang baru saja dihidupkannya. Kyuhyun membulatkan kedua bola matanya. "Mwo?" Siwan malah menantangnya. Ia memutar balik sepeda motor super keren itu lalu menyuruh Jiyeon naik di belakangnya. Awalnya Jiyeon menolak, tapi mengingat beberapa alas an yang mengharuskannya ikut dengan Siwan, akhirnya ia mau dibonceng Siwan.
Siwan mengendarai motor Kyuhyun dengan kecepatan cukup tinggi. Namja itu terbiasa dengan kecepatan tinggi saat mengendarai motor ataupun mobil. Jiyeon menutup matanya. Tiba-tiba seseorang menyeberang di depan mereka.
Ckiiiitt!!
Siwan otomatis mengerem ban motor Kyuhyun dengan sigap. Kedua tangan Jiyeon mencengkeram baju Siwan, takut terjadi apa-apa. Kemudian dia membuka matanya, mulutnya terbuka membentuk huruf O ketika melihat seorang namja berdiri di depan motor mereka.
"Luhan-ssi..." lirih Jiyeon.
"Jiyeon-ssi?" Luhan juga melihat Jiyeon dengan ekspresinya itu.

tbc

MY HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang