My Heart ch 5

127 13 1
                                    

Jiyeon dan Luhan merasa sedikit lega kerena telah mengabulkan permintaan terakhir eomma Luhan meski pernikahan mereka terdengar konyol, sangat konyol. Mereka berdua akan bergiliran menjaga eomma Luhan karena Jiyeon harus pergi ke kampus. Bagaimana pun statusnya, yeoja itu masih seorang mahasiswi. Sedangkan Luhan, dia harus mengalah. Dia akan mengambil shift malam. Jadi mereka berdua bisa bergantian menjaga eomma yang masih sangat memerlukan perawatan di rumah sakit.
Jiyeon duduk di atas bangku dekat ranjang. Dia mengamati raut ajah yeoja paruh baya yang biasa dipanggil dengan sebutan Lee ahjumma. Sekarang, yeoja iu harus ia panggil dengan sebutan eomminim. Sulit untuk dipercaya namun itulah kenyataannya. Meski pernikahan Jiyeon dan Luhan tidka didasari rasa cinta, mereka tetap menghormati satu sama lain seakan mereka benar-benar menikah karena saling mencintai.
"Luhan-ssi, bolehkah aku memanggilmu 'oppa'?"
Luhan sedikit kaget. "Eoh, boleh. Tentu saja."
"Aku tidak enak jika harus memanggilmu dengan sebutan Luhan-ssi saat kita berada di tampat yang sama. Aku pamit dulu. Satu jam lagi kuliah dimulai dan aku tidak boleh terlambat lagi."
"Gurae, cosimi." Luhan membukakan pintu untuk Jiyeon. yeoja itu tersenyum lalu pergi meninggalkan Luhan yang masih menatap kepergiannya.
...
Luhan pov
Sungguh sulit dipercaya kini aku memiliki seorang istri. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Bagaimana cara memperlakukan yeoja itu? Aku takut jika aku bersikap berlebihan, yeoja itu akan marah padaku. Sebaliknya, jika aku bersikap agak menjauh, dia pasti merasa tidak enak padaku. Aah, eottetohkaeyo? Kenapa eomma meminta hal aneh seperti itu? Apakah eomma mengira aku tidak bisa mencari calon istri sendiri? Meski aku belum pernah pacaran sama sekali, bukan berarti aku tidak bisa mencari calon istri sendiri. Ah, molla. Aku jalani saja takdir ini. Park Jiyeon, dia yeoja yang baik, perhatian, tidak sombong, dan ceria. Sebenarnya dia masuk dalam tipe wanita idamanku. Tapi jika dalam hatinya dia menolakku, apa boleh buat. Suatu saat aku harus melepaskannya agar dia juga bisa bahagia.
Ku lihat eomma masih tertidur pulas. Raut wajahnya kini sedikit cerah. Apa mungkin hal itu karena aku sudah menikah dengan Jiyeon? Aku tidak masalah selama eomma bisa bahagia. Semoga Jiyeon juga tidak keberatan.
Luhan pov end.
...
Jiyeon telah menginjakkan kakinya di halaman kampus yang megah. Kini dia memiliki satu misi yaitu menemukan Jieun dan meminta maaf padanya. Jiyeon mendesah pelan. Sejenak ia berpikir, dimana Jieun berada? Bagaimana reaksinya saat melihat dirinya datang menghampiri yeoja itu? Apa yang akan diucapkan Jieun padanya? Jiyeon sempat ragu untuk menemui Jieun. Tetapi tiba-tiba dia teringat peristiwa di pemakaman beberapa tahun silam. Jieun lah yang berhasil membawanya keluar dari keterpurukan sepeninggal appanya.
Jiyeon mengayunkan kakinya agak cepat agar dia bisa menemukan Jieu lebih cepat karena sebentar lagi kuliah akan dimulai. Jika saja dalam mata kuliah ini dia sekelas dengan Jieun, tentu Jiyeon tidak sepusing ini mencari keberadaan Jieun. Di kanting, perpustakaan, ruang musik, halaman kampus, tempat parkir, semuanya tidak ada. Jiyeon memutuskan untuk menghubungi Jieun lewat telepon. Tidak diangkat. Jiyeon mendengus kesal. Kali ini dia harus berhasil menemukan Jieun karena 15 menit lagi kuliahnya akan dimulai.
Jiyeon pov.
"Lee Jieun, neo eodiseoyo?" lirih Jiyeon. Saat melewati tangga menuju perpustakaan, Jiyeon melihat sosok yang ia cari. Benar, Lee Jieun sedang dalam perjalanan menuju perpustakaan dengan menaiki tangga di depan Jiyeon. Jiyeon pun menyusul Jieun. "Jieun-a!" panggil Jiyeon dengan suara lantang. "Yaak, Lee Jieun chakkaman gidaryeo!" Jiyeon naik tangga dengan tergesa-gesa. Ia harus berhasil memburu Jieun yang semakin jauh darinya.
Tap! Tangan Jiyeon menepuk bahu Jieun. Sontak yeoja itu pun berhenti. Jiyeon tersenyu tipis. "Jieun-a, ayo kita bicara." Jiyeon melirik arlojinya. Masih ada waktu 10 menit sebelum kuliahnya dimulai.
"Mwo?" tanya Jieun sewot.
Jiyeon tahu kalau saat ini Jieun pasti marah padanya. "Jongmal mianhae, Jieun-a. Kemarin aku kesal padamu. Perutku sangat sakit tetapi kau malah menyuruhku menunggu dan menunggu." Jiyeon berusaha menjelaskan apa yang terjadi padanya saat di kafe kemarin. Mianhae Jieun-a..."
Jieun menatap Jiyeon dalam-dalam.
"Shireo. Aku tika bisa memaafkanmu," ucap Jiaun seraya mengibaskan tangan Jiyeon yang memegang kedua lengannya.
Jiyeon terkejut. Sebegitu marahnya kah Jieun hanya karena seorang Luhan? Jika kejadian kemarin membuat Jieun jauh darinya, bagaimana jika chingunya itu tahu kalau dirinya sudah menikah dnegna Luhan? Jiyeon tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada hubungan mereka berdua. Jiyeon menuruni tangga dengan langkah gontai seakan tak bertenaga sama sekali. Karena tidak memperhatikan jalan, ia menabrak seorang yeoja. Mungkin hobae-nya. Jiyeon pun tak tahu.
"Ah, mian," ucap Jiyeon singkat.
Yeoja itu mengernyitkan keningnya. "Ada apa dengan yeoja itu? Seperti baru diputus pacarnya," gumam yeoja yang dikenal dengan nama panggilan Krystal.
Jiyeon masih memikirkan Jieunyang tidak mau memaafkannya. Dia berpikir keras, apa yang bisa ia lakukan untuk menebus kesalahannya pada Jieun? Anhi. Tiba-tiba ia tidak merasa bersalah sebelum kejadian tadi, sebelum ia bertemu dengan Jieun. Jiyeon merasa sangat bersalah sebelum ia minta maaf pada Jieun. Meskipun tidak mendapatkan maaf dari chingunya itu, Jiyeon sudah tidak merasa bersalah. Kejadian kemarin bukan sepenuhnya salah Jiyeon. Jieun pun bersalah, tapi kenapa hanya Jiyeon yang minta maaf?
Jiyeon masuk ke ruang kuliahnya. Ia melihat asisten dosennya yang pernah ia temui saat mengumpulkan tugas. "Kenapa ada dia lagi?" gumam Jiyeon.
Sepulang kuliah, Jiyeon merasa pusing memikirkan hubungannya dengan Jieun. Ia melihat matahari telah menyingsing, makin lama makin ke barat. Jiyeon mendesah pelan. Hari menjelang sore. Jiyeon memutuskan untuk pergi dari kampus terkutuk ini. Ya, ia menamakan kampus itu adalah kampus terkutuk karena selama di kampus itu Jiyeon sama sekali tidak mendapatkan keberuntungan ketika berada di lingkungan kampus itu.
Hari sudah sore. Jiyeon masih berjalan gontai kembali ke apartemennya yang berjarak cukup jauh dari kampus. Saat berjalan, dia memikirkan banyak hal sehingga tanpa disadari kini Jiyeon berada di depan rumah Siwan. Jiyeon melihatn pintu gerbanng itu sekilas. Kemudian ia terinfat pertemuan pertamanya dengan Im Siwan yang tidak disangka-sangka akan berbuntut panjang sampai ia harus mengenal namja itu sekarang. Jiyeon iseng-iseng berdiri di depan pintu gerbang itu. Ia ingin mengetuk pintu itu lalu jika ada yang membukanya ia akan kabur. Saat mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu gerbang itu, seseorang muncul dari dalam. Jiyeon kelabakan. Kenapa tiba-tiba ada yang keluar?
"Park Jiyeon?"
Kedua bola mata Jiyeon membulat melihat siapa yang keluar dari pintu gerbang itu. Ia masih berdiri mematung di tempatnya semula, tak bergerak sedikitpun dan tak berkedip sedikitpun.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Siwan yang heran akan kedatangan Jiyeon sore itu.
"A, a, aku... aku hanya... aku hanya lewat. Ya, kebetulan aku baru pulang dari kampus lalu lewat sini." Akhirnya Jiyeon menemukan alasan yang pas dengan situasi dan kondisi saat itu.
Siwan yang masih duduk di kursi roda tak curia pada Jiyeon sedikit pun. Ia manggut-manggut membenarkan alasan Jiyeon. "Kau mau mampir?" tanya Siwan.
"Nde?"
"Kajja!" Siwan mengajak Jiyeon mampir ke rumahnya. Jiyeon tidak menolaknya. keduanya masuk ke dalam rumah megah milik keluarga Siwan. Jiyeon mendorong kursi roda Siwan sampai di dalam rumah. "Anjaseo," perintah Siwan kemudian dia mengarahkan roda kursinya ke suatu ruangan. Tak berapa lama kemudian dia keluar dengan sebotol wine dan sekotak susu di pangkuannya. "Igeo."
"Ige mwoya?" tanya Jiyeon penasaran dengan bentuk botol wine yang tidak seperti biasanya itu.
"Ini wine dari Perancis. Kyuhyun yang membelikannya untukku," jelas Siwan. Ia membuka tutup botol wine itu dan menuangkan sedikit di gelas wine yang sudah ia siapkan tadi.
"Apa kau juga akan minum wine ini?"
"Anhiyo. Aku akan minum susu saja." Siwan mengeluarkan kotak susu dan membuka tutupnya. Kini gelas di depannya sudah penuh dengan cairan putih kental. "Mari bersulang." Siwan tersenyum pada Jiyeon. Mau tak mau, Jiyeon pun tersenyum pada Siwan.
Raut wajah Jiyeon masih terlihat lesu dan tidak bersemangat seperti biasanya. Siwan memperhatikan ekspresi dan gerak gerik Jiyeon. Ia ingin tahu apa yang telah terjadi pada Jiyeon. "Kau kenapa?"
Jiyeon mendongakkan kepalanya. "Mwo?"
"Kau kelihatan lesu dan sedih. Waegurae?" tanya Siwan lagi.
"Ah, anhiyo. Gwaenchana..."
Siwan tidak mudah ditipu. Mungkin namja itu suka menipu orang lain tapi dia tidak mudah ditipu oleh orang lain. "Yaak, aku tahu kau sedang punya masalah. Kau bisa cerita padaku. Rahasiamu aman. Aku bukan tipe orang yang ember."
Akhirnya Jiyeon menceritakan kalau dia memiliki kesalahan terhadap Jieun. Ia juga mengatakan bahwa sebenarnya Jieun bersalah padanya tapi Jieun tidak menyadari hal itu. Jiyeon sudah minta maaf tapi Jieun tidak menerima maafnya. Jiyeon bilang saat ini ia tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk meyakinkan pada Jieun bahwa dirinya sungguh-sungguh minta maaf.
"Menurutku kau hanya perlu memberikan waktu pada Jieun untuk menyendiri. Mungkin suasana hatinya sedang tidak bagus makanya Jieun menolak permintaan maafmu. Kau harus lebih bersabar. Menghadapi manusia bukanlah seperti menghadapi mesin."
Jiyeon kagum pada Siwan. Ternyata namja menyebalkan dan dingin seperti Siwan bisa memberikan nasehat yang berharga seperti tadi. Jiyeon berpikir bahwa kecelakaan yang menimpa Siwan ada keuntungannya juga. Mungkin karena kecelakaan itu, Siwan tidak seperti yang dulu.
"Gomawo nasehatnya. Sekarang sudah jam tujuh malam. Aku harus pulang." Jiyeon pamit pulang. Lalu meninggalkan Siwan yang ternyata saat itu sedang berada di rumah sendirian.
"Cosimi!" seru Siwan saat Jiyeon hendak menutup kembali pintu gerbang rumahnya. Jiyeon hanya tersenyum dan mengangguk.
...
Di rumah sakit, Luhan masih menunggu Jiyeon. dia berkali-kali melirik arlojinya yang melingkar di tangan kirinya. Sudah hampir jam 8 malam tapi Jiyeon belum muncul juga. Luhan harus segera berangkat kerja tapi sekarang pasti sudah sangat telat. Seharusnya dia bekerja mulai jam 6 tadi. Tapi ini sudah lewat satu jam lebih dan dia masih berada di rumah sakit. Eommanya tertidur pulas. Seharian ini eommanya hanya membuka mata sedikit-sedikit.
"Dimana Jiyeon?" lirih Luhan cemas.
Jiyeon yang sekarang sedang dikhawatirkan oleh Luhan malah pergi ke bar dan memesan beberapa botol bir. Ia menikmati setiap seguk bir yang membasahi tenggorokannya. Nikmat, itulah yang dirasakan Jiyeon. "Ahjussi, tambah satu botol lagi." Jiyeon menyerahkan empat botol bir yang sudah ludes. Ia meminum semua bir yang tadinya berada dalam botol-botol itu.
"Agassi, kau sudah mabuk berat. Pulanglah." Ahjussi itu tidak melayani permintaan Jiyeon dan malah menyuruh Jiyeon untuk segera pulang.
Jiyeon tidak menggubris kata-kata ahjussi itu. Ia malah mengoceh ria. Mengatakan hal-hal yang sama sekali tidak dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya. Jiyeon juga sudah lupa janjinya pada Luhan untuk gantian menjaga eomma di rumah sakit bahkan Jiyeon juga sudah lupa kalau dirinya telah menikah.
Luhan masih mengkhawatirkan Jiyeon. ia menelepon ke ponsel Jiyeon tapi tidak diangkat. Luhan pun mengirimkan banyak SMS tapi tidak dibalas juga.
...
Jiyeon yang sudah mabuk sangat berat, muntah-muntah di toilet bar. Saat ia keluar dari toilet yeoja, seorang namja yang juga baru keluar dari toilet namja, memperhatikan Jiyeon dengan seksama. Bedanya, namja itu tidak dalam keadaan mabuk seperti Jiyeon.
"Jeogi, kau masih sadar?" tanya namja itu.
Jiyeon mendengar suara namja itu. Ia ingin menjawabnya namun kepalanya terasa sangat berat. Ia tidak kuat berdiri dan akhirnya ambruk di depan dinding. Namja itu membantu Jiyeon untuk berdiri.
"Gwaenchana?"
Jiyeon tidak menjawab.
"Aku akan mengantarmu pulang. Alamatmu dimana?" tanya namja itu yang ternyata merupakan namja baik-baik.
Jiyeon memberitahukan alamat apartemennya. Tak lama kemudian Leo, panggilan namja itu, mengantar Jiyeon pulang naik mobilnya.
Di dalam mobil, Jiyeon tertidur pulas. Leo memperhatikan Jiyeon yang tertidur di kursi sampingnya. Ia tersenyum tipis. "Meski aku tidak mengenalmu, setidaknya aku telah membalas kebaikan orang yang berbuat baik pada dongsaengku dulu. Aku melakukan hal yang sama seperti dia."
Ckiiit!!
Mobil berhenti di depan sebuah apartemen 20 lantai. Leo memapah Jiyeon yang sedikit sadar.
Sampai di depan apartemen Jiyeon, mereka masuk ke dalam. Leo menggelar kasur milik Jiyeon lalu membaringkan tubuh Jiyeon di atas kasur itu.
"Jaga dirimu. Jangan hanya bermabuk-mabukan seperti itu."
Jiyeon sedikit sadar. Dia melihat wajah Leo lalu tersenyum. "Jongmal gomawoyo."
Leo pergi. Jiyeon pun tidur dengan pulas di apartemennya.
...
Karena tak mendapat kabar apapun dari Jiyeon, Luhan yang baru bangun dari tidurnya, langsung keluar kamar rawat eommanya untuk mencari keberadaan Jiyeon. Tiba-tiba eommanya bangun dan meminta Luhan untuk diantar ke kamar mandi. Luhan pun tidak jadi pergi mencari Jiyeon.
Di apartemen, Jiyeon bangun. Ia membuka mata perlahan-lahan dan mengumpulkan ingatannya saat sedang mabuk semalam. Ia bangkit berdiri tetapi kepalanya masih terasa berat. Saat sednag di kamar mandi, Jiyeon ingat kalau semalam dia harus bergantian menjaga eomma dengan suaminya.
"Omo! Eotteohkae?" Jiyeon buru-buru memasak Omurice, makanan yang paling mudah dan paling cepat dibuat. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah Luhan untuk mengambil pakaian dan keperluan Luhan yang lainnya. Kali ini dia tidak boleh mengecewakan Luhan. Dia sdah sangat bersalah pada Luhan. Pasti tadi malam Luhan tidak pergi bekerja.
Jiyeon sampai di rumah Luhan. Dia bisa masuk ke dalam rumah. Tentu saja itu karena Luhan memberikan kode kunci pintunya pada Jiyeon. Di dalam rumah, Jiyeon mencari kamar Luhan dengan terburu-buru. Ketemu. Jiyeon segera menghampiri almari berukuran sedang dan membukanya untuk mengambil beberapa pakaian milik Luhan. Pakaian namja itu tertata sangat rapi. Jiyeon mengmabil dua buah kaos, tak lupa setelan kemeja, celana panjang, dan dasi yang telah ia padu padankan warnany, ia masukkan ke dalam tas kertas dan ditata rapi agar tidak kusut. Kemudian ia masuk ke dalam kamar eomma Luhan dan mengambil beberapa baju yang dia anggap berguna dipakai di rumah sakit.
Selesai. Jiyeon meluncur ke rumah sakit naik taksi. Ia meminta sopir taksi mempercepat laju mobilnya karena sekarang sudah hampir jam setengah 7 pagi. Sampai di depan rumah sakit, Jiyeon yang baru saja keluar dari taksi, segera berlari secepat mungkin dengan membawa beberapa tas kerta berisi pakaian untuk suami dan mertuanya. Di lantai dasar, Jiyeon mengantri lift. Ternyata lift baru saja naik ke lantai sembilan. Jiyeon kecewa. Akhirnya dia memilih naik tangga daripada menunggu lilft yang memakan banyak waktu. Dengan nafas terengah-engah, Jiyeon bertahan untuk tidak istirahat di tangga saat ia menuju lantai lima dimana kamar eomma mertuanya berada.
Hanya butuh waktu lima menit bagi Jiyeon untuk melewati anak tangga yang terakhir. Ia kesulitan mengatur nafasnya. Jiyeon duduk sebentar untuk mengatur nafasnya, setelah itu ia melangkah masuk ke dalam kamar perawatan mertuanya.
Cekleeek...
Luhan sontak menoleh ke arah pintu yang ternyata dibuka oleh Jiyeon. Jiyeon masuk melewati pintu dengan nafas yang masih terengah-engah.
"Waegurea? Gwanchanayo?" tanya Luhan khawatir.
Jiyeon mengangguk. Luhan menyuruhnya duduk dan mengatur nafasnya. Jiyeon menurut.
"Igeo." Jiyeon menyerahkan semua yang ia bawa tadi kepada Luhan yang tengah duduk di sampingnya.
"Ige mwoya?" tanya Luhan.
"Oppa, segeralah mandi lalu ganti pakaianmu. Aku membawakanmu pakaian dan sarapan. Cepatlah, nanti kau bisa terlambat bekerja." Jiyeon menghela nafas panjang dan melepasnya secara kasar.
Luhan sama sekali tidak mengira kalau Jiyeon akan melakukan hal yang membuatnya tersanjung seperti itu. Baru kali ini ada orang selain eommanya yang perhatian padanya. "Eoh, gomawoyo. Aku akan segera mandi dan berganti pakaian."
Eomma menatap Jiyeon dengan tatapan bahagia. Jiyeon bingung. Ada apa dengan eommonim?
"Eommonim, waeyo?" tanya Jiyeon perlahan. Dia masih duduk di atas sofa kecil di sudut ruangan.
Eomma Luhan hanya tersenyum. "Aku tidak saah memilih menantu."
Deg!
Entah kenapa jantung Jiyeon berdebar saat mendengar eommonim mengatakan hal itu. Jiyeon hanya membalas ucapan eommonimnya tadi dengan senyuman.
Luhan selesai mandi dan berpakaian. Kini ia tinggal merapikan pakaiannya. Jiyeon membantu Luhan memakai dasi, sedangkan Luhan sendiri mengancingkan kancing lengannya dan merapikan baju bagian bawahnya. Saat Jiyeon membantu Luhan memakai dasi, wajah mereka berdekatan. Meski tidak terlalu dekat, ini adalah kali pertamanya wajah mereka berdekatan.
Jiyeon tersenyum puas saat dasi yang ia pakaikan di luar kerah baju Luhan tampak rapi dan bagus. Enak dipandang mata. "Oppa, sarapan dulu. Kau pasti lapar." Jiyeon menyerahkan sepiring Omurice pada Luhan. "Ah, mian oppa. Tadi aku hanya sempat membaut ini soalnya terburu-buru."
"Gwaenchana." Luhan tersenyum lalu menyuapkan sesendok omurice ke dalam mulutnya.
"Oppa, mianhae..."
Luhan menatap heran ke arah Jiyeon. "Wae?"
Jiyeon menggigit bibir bawahnya. Ia mengingat apa yang dilakukannya semalam. Benar-benar memalukan. Jiyeon enggan menceritakan apa yang dilakukannya semalam. "Tadi malam aku lupa kalau harusnya bergantian menjaga eomma di sini. Jongmal mianhae, oppa..."
"Jangan dipikirkan lagi. Hal itu sudah berlalu. Aku sudah selesai. Oh ya, hari ini aku berniat lembur. Eotte? Kau keberatan atau tidak?"
Deg!
Jiyeon bingung. Tatapan Luhan sungguh membuatnya tak bisa berkutik. Namja tampan itu malah tersenyum padanya dan meminta pendapatnya tentang rencananya untuk lembur hari ini. "Eoh, gwaenchana. Hari ini aku tidak ada jadwal kuliah." Omo! Hari ini Jiyeon bolos bekerja lagi. Dia menepuk dahinya.
"Waeyo?" tanya Luhan.
"Ah, anhiyo. Oppa cepatlah berangkat. Aku akan di sini menunggu eommonim." Jiyeon tersenyum pada Luhan yang dibalas senyum lagi oleh Luhan. Akhir-akhir ini mereka berdua sering tersenyum, baik saat sendiri maupun saat mereka tengah bersama.
...
Jiyeon menemani mertuanya sendirian. Dia menelapon Siwan dan bercanda tawa di telepon. Tentu saja Jiyeon tidak melakukannya di depan mertunya. Dia keluar ruangan sebentar. Jiyeon merasa penat dan butuh hiburan makanya dia menelepon Siwan. Siwan yang sudah sedikit berubah, mampu membuat Jiyeon terhibur dengan cerita-ceritanya, tebakan-tebakan lucu dan segala yang ia ucapkan.
Jiyeon selesai menelepon Siwan. Pikirannya sudah jernih seperti sebelumnya. Ia tidak lagi memikirkan Jieun yang tidak mau memaafkannya. Tiba-tiba Jiyeon berpikir,, apakah ia telah berselingkuh di belakang suaminya? Jiyeon mengernyitkan dahi. Tiadak mungkin. Dia hanya menganggap Siwan sebagai teman biasa. Jadi dia tidak berselingkuh di belakang suaminya.
Jiyeon mesuk kembali ke kamar dimana eommonimnya sedang menikmati pemandangan di luar melalui jendela di samping kanannya.
"Eommonim, apa kau merindukan berada diluar sana?"
Yeoja paruh baya itu mengangguk.
"Eommonim harus yakin kalau suatu saat kita bisa jalan-jalan bertiga. Pasti menyenangkan."
Eomma Luhan tersenyum pada Jiyeon.
Cekleeek...
Tiba-tiba seseorang membuka pintu dari luar. Jiyeon dan eommonimnya menoleh ke arah pintu.
"Omo!" Jiyeon terkejut melihat siapa yang datang. "Namja itu..." gumamnya.
Leo juga terkejut melihat Jiyeon ada di ruang perawatan ahjummanya.

Tbc

MY HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang