"Hai, Je! Sendiri ajah?"
Yang ditanya tersenyum miring dan mengangguk.
"Mana Jessica positif-nya? Kayanya udah lama deh gak lihat kalian bareng. Lagi musuhan?"
Ini pertanyaan yang paling ingin Jeje hindari selama sebulan ini. Orang-orang mulai menanyakan si sahabat yang lama tak terlihat bersamanya--seperti biasa. Pasalnya apa yang mereka tanyakan, sama dengan yang dirinya sendiri tanyakan selama ini.
Jeje mengangkat bahu untuk menjawab pertanyaan dari teman sejurusannya--Naomi. Bukan sedang sariawan atau bau mulut, tapi memang Jeje tidak mengerti mengapa selama sebulan ini Veranda menjauhinya.
Andai ada satu saja petunjuk yang bisa membuat Jeje mengerti arti perubahan sikap dari sahabatnya itu.
***
Suara tuts piano yang ditekan dengan kasar mengisi seisi ruangan musik ini. Untung saja suasana ruangan sedang sepi. Hanya ada satu orang yang sedari tadi berkutat dengan pianonya namun tak pernah membuahkan hasil seperti yang diharapkannya.
Kesal karena tak juga bisa membawakan lagu dengan sempurna, Jeje menekan kasar tuts di depannya sebelum akhirnya dia menyandarkan kepalanya pada piano kayu itu.
"Seminggu lagi. Tinggal seminggu lagi lo tampil, tapi main masih acak-acakan," cerca sesosok yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu dengan tangan melipat di dadanya.
Tanpa perlu mengangkat wajahnya, Jeje sudah tau suara bass siapa itu.
Karena tidak mendapatkan respon, lelaki yang tadi berdiri di ambang pintu itu berjalan mendekat dan duduk di samping Jeje. "Lo tau? Benda mati sebenarnya bernyawa?"
Jeje tidak menjawab, tapi dia mengangkat kepalanya dan menatap saudara tirinya yang mulai mengalunkan lagu Pathétique Sonata dengan lembutnya.
"Kalau lo memainkannya dengan lembut dan sepenuh hati, dia akan mengalunkan lagu indah sesuai yang lo inginkan." Jemari Arka berhenti bermain sejenak, sebelum akhirnya dia memainkan lagu Für Elise dengan tempo cepat dan terdengar acak-acakan. "Dan akan rusak bila hati lo gak bisa mengontrolnya."
Jeje cengok menatap wajah Arka yang kini tersenyum penuh arti padanya. Pasalnya, Arka dan dia tak pernah sedekat ini. Bahkan mereka adalah rival dalam kompetinsi piano yang diadakan kampus mereka minggu depan.
Walau pada dasarnya setahun yang lalu mereka adalah saudara tiri--setelah kedua orangtua mereka menikah--tapi mereka jauh dari kata akur.
Arka yang selalu merecoki Jeje dan tak pernah mau mengalah, kini mengatakan hal bijak pada Jeje. Sungguh tak terduga.
"Super sekali!" Arka bertepuk tangan untuk dirinya sendiri dan berdiri.
Jeje memutar bolanya. Dia tau kalau Arka hanya sedang mengejeknya kali ini. "Balik ajah sana! Kerjaan lo cuma ngeledek gue," ucap Jeje.
Arka tersenyum miring. "Gue gak mau kalau orang yang harusnya jadi lawan terberat gue malah letoy kaya gini." Arka mendorong bahu Jeje dengan satu jari. "Kalau lo kaya gini terus, lo bakalan kalah, bahkan lawan junior yang baru masuk sekalipun." Seperti perintah Jeje, Arka melangkah pergi meninggalkan Jeje yang kini menunduk.
Jeje mendengus kesal. Tapi ucapan Arka memang ada benarnya. Permainannya yang seperti ini malah hanya akan jadi ejekan teman-temannya.
"Lo tau?" Arka membalikkan badannya dan tersenyum miring. "Veranda jadian sama Soni."
Seketika Jeje mengangkat kepalanya dan menatap Arka dengan mata bulat. Tubuhnya menegang dan hatinya berdetak kencang. "Jangan bercanda lo!" Walau terdengar meyakinkan, Jeje tidak mau langsung percaya pada ucapan Arka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot
OverigKumpulan cerita pendek sebagai selingan cerita yang pending Masih tentang JKT48 isinya hehe~