TMAL : (3) Tokoh Utama

69.2K 4.8K 102
                                    

"Lo gak bosen apa gini terus?" tanya seseorang dengan nada jengkel.

Aku mendongakkan kepala. Ternyata Rafa. Dia Sepupu yang sama introvertnya denganku, sekaligus pacar Kiera. Sekarang, cowok itu ikut duduk di soffa. Membuatku jengkel karena tempat ini disabotase olehnya. Sialan, sedang enak-enak bersantai di rumah, Kunyuk ini menggangguku.

Mana bertanya hal aneh lagi.

"Ini tempatku, Jelek," seruku, mengusir Rafa yang sekarang malah mencomot pop corn milikku.

"Ya bodo, Tante Lova juga gak masalah. Lebay amat," mata Rafa berputar-putar, benar-benar menyebalkan. Mana cowok gila ini membawa-bawa nama Ibuku.

"Pergi sana." Aku menyumpah dalam hati. Mataku lagi-lagi melirik jam di dinding. Sudah nyaris jam empat. Aku masih ingin bersantai di rumah di sela-sela waktuku yang padat. Tiba-tiba ponselku berbunyi, untuk yang kesekian kalinya.

Pasti telepon dari Jeremy yang menyuruhku pergi ke agensinya.

Aku malas, ok.

"Danies," Rafa menyenggol bahuku.

Mataku melirik Rafa, lalu kembali pada layar ponsel yang masih menampilkan caller ID Jeremy. Jeremy bilang dia akan memberiku kejutan. Aku suka kejutan, tapi, entah ada setan apa, sekarang Danies lebih memilih di rumah.

Sepertinya indera ke delapanku memiliki firasat yang tidak enak tentang kejutan ini--jangan anggap omonganku serius--.

"Jeremy? Bukannya sutradara lo?" Rafa lagi-lagi berkoar. Aku meliriknya tajam, dan dia hanya mengangkat bahu. Hanya dia, Bianca, dan Cam yang tahu tentang pekerjaanku. Tapi, lama-lama aku tak bisa percaya pada Rafa jika mulutnya itu tidak disumpal.

"Ada apa? Tidak biasanya kau banyak omong seperti ini," cibirku kesal sambil menaruh ponsel di saku seraya berdiri. Mau tak mau aku harus ke agensi Jeremy sekarang.

Nata tersenyum bodoh, "gue dicium Kiera dong."

"BANGGA!" Aku memutar bola mata sambil melempar bantal ke arah Rafa. Yes, kena mukanya.

"BANGGA DONG," Rafa ikut melempar bantal tadi, lalu melanjutkan omongannya. "LO KAPAN COBA?"

Sepupu menyebalkan!

"Aku tidak pernah jatuh cinta dan itu berarti bibirku masih suci, masalah?" kulempar bantal lagi, tapi kali ini Rafa menangkapnya sambil berjalan ke arahku.

"Gak normal lo," hina Rafa. Dalem, Bro.

"Siapa peduli?" tanyaku sambil cemberut. Memangnya kenapa kalau aku belum pernah suka sama manusia? Apa itu masalah?

"Gue bisa ngajarin lo buat suka sama orang," tawar Rafa, dia tersenyum najong setelahnya, "gini-gini gue mantan player."

Aku langsung menggeleng kuat, "aku masih sayang nyawaku, oke." Bisa panjang urusannya jika Kiera tahu.

Rafa mengangkat bahu, mengambil pop corn di pelukanku lalu lanjut menonton TV. "Good luck, deh ya. Moga cepet fall in love ama orang."

Memutar bola mata, aku langsung pergi tanpa pamit pada Rafa. Dia juga datang ke rumah tanpa salam, buat apa aku pamit padanya?

Aku menghembuskan nafas setelah duduk tenang di mobil. Tanganku perlahan melepas kacamata hipster. Aku bersyukur memilikinya. Tiap hari, benda berwarna hitam ini menyembunyikan identitasku.

Sekarang, aku D.

*

Di tengah perjalanan menuju agensi, ponselku berbunyi. Kali ini panggilan dari Cameron. Aku langsung mengangkat teleponnya setelah menepikan mobil ke bahu jalan.

"Kenapa?" tanyaku pada Cam.

Butuh beberapa saat untuk Cam menjawab pertanyaanku, "lo dimana? Jeremy udah nungguin dari tadi di agensinya. Marah-marah mulu," Cam berbisik di sana, suaranya kecil sekali.

Aku menghembuskan nafas, "sebentar lagi aku sampai." Padaha bohong, masih perlu waktu dua puluh menit untuk sampai ke sana.

"Oke. Heart-heart in the road," yang tidak mengerti bahasa Cam tadi, maksudnya 'hari-hati di jalan.'

Aku menaruh ponsel kembali di jok samping. Kepala mendongak, aku langsung mendapati mobil yang terlihat mogok tak jauh dariku. Dahiku berkerut, sepertinya aku kenal mobil biru itu.

Untuk beberapa alasan, aku mencoba tidak peduli.

Mobilku pun kembali berjalan. Sesekali aku melirik mobil biru yang di bahu jalan tadi. Aku benar-benar pernah melihatnya. Tapi kapan?

Aku masih memikirkan mobil biru itu ketika sudah sampai di agensi Jeremy. Dengan langkah pelan aku memasuki gedung tersebut setelah memarkirkan mobil. Ruangan Jeremy ada di lantai paling atas.

Tak berapa lama, aku sudah sampai di pintu berkayu cokelat dengan label bertuliskan 'JEREMY'. Aku menghembuskan nafas, lalu mengetuk perlahan pintu tersebut. Kepala Cam menyembul tak lama kemudian, wajahnya benar-benar pucat. Pasti Jeremy memarahinya.

Aku tersenyum meminta maaf, "Cam--"

"D! Gue nungguin lo dari tadi," sekarang sebuah tangan membuka pintu lebar-lebar.

Dia adalah Jeremy. Sutradara termuda sekaligus berbakat. Berperawakannya tinggi seperti hulk tapi tetap saja tampan di segala sisi. Rambutnya hitam legam dan mata Jeremy biru, persis seperti Cam karena, yeah, mereka kakak beradik.

"Maaf membuatmu menunggu," kataku sambil menundukkan kepala. Dari nada suaranya, Jeremy benar-benar marah besar.

"Sudahlah," Jeremy menghembuskan nafas. Aku tersenyum. Mau bagaimana pun, Jeremy dan Cam memiliki sifat yang sama: mudah memaafkan orang lain.

Setelah mempersilahkanku masuk, Jeremy duduk di kursi panasnya. Sementara aku di hadapannya. Cam pergi sebentar, dia bilang dia harus membeli makanan di kantin. Aku tahu seberapa mental dan tenaga yang terkuras jika seruangan dengan Angry Jeremy.

"Seperti yang lo tahu, kali ini gue akan membuat film baru." Aku manggut-manggut pada penjelasan Jeremy. Pasti Bianca lagi yang menjadi tokoh utamanya. Sebenarnya, selain model, Bianca juga menjadi aktris, sama sepertiku. Dan dia selalu menjadi tokoh utama dalam film yang disutradarai Jeremy. "Terdiri dari empat remaja. Dua perempuan dan dua laki-laki. Lo salah satu di antaranya."

"Hah?!" Aku langsung terkejut, seolah tahu reaksi seperti apa, Jeremy memutar bola mata.

"Jangan potong ucapan gue." Perkataan Jeremy otomatis membuat bibirku terkatup rapat.

Jeremy bertopang dagu, "selama ini lo hanya menjadi pemeran pembantu dalam semua film yang disutradarai oleh gue. Padahal, gue tau lo punya potensi." Mata biru Jeremy bersinar jernih saat melihatku, "lo mirip batu berkarat yang belum diasah jadi emas."

Aku meneguk air ludah. Aku tak sehebat yang dikatakan Jeremy, sungguh!

"Untuk itu gue bakal nguji lo kali ini dalam film baru," senyum misterius Jeremy muncul. Bahkan Cam yang telah hidup 17 tahun dengan Jeremy tidak mengerti arti senyuman tersebut. Apalagi aku. "Untuk itu gue mau ngerekrut lo jadi Amber, tokoh utama dalam film ABCD Love."

BO--BOHONG!

Tepat saat itu, suara pintu terbuka. Kepala kami berdua menoleh ke asal suara. Aku langsung lemas ketika melihat orang itu. Entah kenapa, firasatku tidak enak. Dari awal aku juga sudah merasakannya. Kuharap firasatku salah... Kuharap--

"Nah, perkenalkan, D. Dia Aaron. Dia yang akan memerankan tokoh Dustin dalam film baru ini. Sekarang, kalian partner."

Sekarang, kalian partner.

Ya, Tuhan!

*

[A/N]

Gaada yang nyangka judul filmnya Jeremy itu ABCD Love... Gatau kenapa pas nulis ingetnya itu, jadi, meski bapuk, deal with it:''

ST [6] - Teach Me About LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang