"Gue dapet pemeran sidekick?"
Hanya beberapa detik setelah raut wajah Bianca kembali biasa. Dia tersenyum senang lalu mengangkat bahunya seolah tak ada masalah. "Sekali-kali gue dapet pemeran sidekick gak masalah lah."
"Emang biasanya lo dapet peran apaan?" tanya Aaron santai sambil mencomot roti milik Cam. Aaron tidak peduli Cam mendelik padanya, malah cowok gila itu sudah mengunyah roti dengan lahap. "Gue baru kali ini jadi aktor, baik-baik sama gue ya."
Aku menghembuskan nafas lega setelah Bianca tidak melebih-lebihkan masalah sidekick dan main character. Yang kucemaskan, dia belum tahu aku mendapat peran Amber. Cepat atau lambat Bianca akan tahu. Aku tidak ingin membayangkan reaksi Sahabatku itu seperti apa.
"Oh, ya. D, lo dapet peran apa?" tanya Bianca, memalingkan wajahnya padaku tanpa menjawab pertanyaan Aaron tadi.
Dammit.
Aaron cemberut, "Ca, lo gak jawab pertanyaan gue tadi. For your information, Young Lady, D dapet peran Amber. Keren 'kan?"
Rasanya aku ingin membunuh Aaron saat ini juga. Dia memberitahu Bianca semudah itu!
Sekarang, perlahan wajah Bianca makin memucat. Dia menggeleng sambil menutupi bibir dengan telapak tangan. Aku menyentuh bahu Bianca, sepersekian detik, dia menepis tanganku.
"Kok bisa?" tanya Bianca dengan suara serak.Aaron mengerjap. Cameron meringis.
"Jeremy yang mengaturnya," jawabku tenang.
"Kenapa Jeremy ngatur kayak gitu? Bukannya gue yang harusnya jadi Amber? Kenapa lo? Kenapa harus lo?" Bianca menggeleng lagi. Dengan cekatan dia mengambil barangnya yang berserakan di meja lalu memasukkan ke dalam tasnya. "Gue pergi."
Seolah ada pisau yang merobek hati ketika Bianca sama sekali tidak ingin menatap mataku. Ini bukan salahku, ini salah Jeremy. Jeremy yang memberiku peran Amber. Aku sama sekali tidak ingin menjadi pemeran utama jika itu artinya harus kehilangan Bianca.
Sebelum sempat aku berbicara atau Bianca pergi, tak kusangka Aaron berdiri.
"Hei, Young Lady. Kenapa lo marah D jadi peran utama? Harusnya lo seneng. Bukannya marah-marah gini," omel Aaron sambil bersedekap.
Bianca yang matanya sudah berair, otomatis berhenti bergerak. Dia menunduk, sesekali mengusap air mata.
Yang lebih mengejutkan, Cameron ikut berdiri. Dia menghadap Aaron sambil mengernyit. "Lo gak perlu berteriak di depan Bianca bisa kali."
O-ow, aku berasa nonton sinetron.
Sekarang aku mengambil alih dengan memeluk Bianca. Kedua cowok gila itu langsung melongo melihatku memeluk Bianca.
"Ca, kamu boleh kok jadi Amber. Aku jadi pemain figuran juga tak masalah. Asal kamu senang," ucapku sambil mengusap punggung Bianca yang bergetar.
Bianca menjawab dengan suara parau, "gak mau, itu namanya curang. Bianca gak mau curang."
"Kalau begitu, aku yang akan mengundurkan diri," kataku lagi.
"D! Jangan bego," omel Bianca, dia merenggangkan pelukan kami sehingga aku melihat bibirnya yang cemberut. "Cita-cita lo kan jadi aktris berbakat tahun ini. Gue gak mau jadi penghalang buat lo. Maaf, ya, tadi sempet marah gak jelas."
Aku tersenyum, "maaf, ya, ngebuat kamu jadi sedih."
"We're cool now, okay?" tanya Bianca, perlahan senyum menghiasi wajah cantiknya.
"Okay." Jawabku, sedikit tertawa karena tingkah kekanakan kami.
Dua orang berdeham dengan waktu dan frekuensi yang sama di samping kami. Aku dan Bianca menengok. Cengiran di bibir tak bisa kusembunyikan saat melihat Aaron dan Cam salah tingkah di hadapan kami. Mereka pasti canggung melihat para perempuan bermaaf an di depannya.
"Lo sahabatan sama D?" tanya Aaron, kepo.
"Hah?" Bianca mengerjap, "di seko--aww!" kalimat Bianca terhenti ketika aku menginjak kakinya.
Kuberikan tatapan 'rahasiakan-identitasku-dari-makhluk-asing' pada Bianca. Dia meringis kecil sebelum menjawab pertanyaan Cam. "Gue sama D dari dulu satu agensi. "
Aaron hanya membulatkan bibirnya. Kuhembuskan nafas lega ketika cowok gila itu tidak bertanya macam-macam. Selanjutnya, hanya terisi keheningan karena tak satupun berbicara atau bergerak.
Kami hanya berdiri sambil menilai satu sama lain.
Akhirnya, Cam yang pertama bersuara, "mungkin kita udah saling tau nama, tapi gak baik kalo belom kenalan. "Cam berdeham sebentar, dia mengulurkan tangan pada Aaron. "Kenalin, gue Cameron Handerson. Lo?"
Tak kusangka, Aaron tersenyum seraya menyambut uluran tangan Cam. "Hi, Cam. My name is Aaron Vinear Vanegas. You can call me Aaron, Vinear, or Vanes."
Aku baru tahu nama Aaron ternyata panjang dan bagus. Vinear Vanegas? Kurasa aku pernah mendengarnya--tidak, aku yakin nama itu tak asing di pendengaranku. Sayangnya aku lupa dimana Vinear Vanegas sering disebut.
Dehaman Bianca menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Dia ikut mengulurkan tangan pada Cam, "gue Bianca."
Pipi Cam merona sesaat ketika menjabat tangan halus Bianca. "Cam."
Dahi Bianca berkerut, "kenapa lo selalu ngomong.singkat di hadapan gue, sih?"
Aku menyelamatkan Cam dengan mengulurkan tangan pada Aaron, sehingga Bianca berhenti menginterogasi Cameron. "Gue D."
"Cuman D?" tanya Aaron, mengernyitkan dahinya seraya menyambut tanganku.
Pendengaranku cukup tajam untuk bisa mendengar Cam dan Bianca menelan ludah. Mereka pasti merasa bersalah karena harus membohongi Aaron.
Tapi, siapa peduli?
Ini hidupku. Aku yang mengatur hidupku seperti apa. Termasuk rahasia kecil ini, dan dengan itu, aku menjawab, "cuman D, tidak ada bantahan."
Yeah, tidak ada alasan apapun untuk memberitahu Aaron yang sebenarnya tentang D.
*
[A/N]
Pendek banget, ha-ha. Lagi banyak tugas, jadi dampaknya gini. Kemaren banyak yang jawab heartbreaker so
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [6] - Teach Me About Love
Ficção AdolescenteDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [6] : Danies Arta Dinata Karena Danies Arta Dinata harus belajar akting seorang gadis yang sedang jatuh cinta untuk drama p...