Aku pergi ke agensi Jeremy setelah acara perkenalan dengan calon ayah dan saudara tiri. Agak telat sedikit, tapi, daripada tidak datang. Kalau aku tak memberitahu Jeremy soal keterlambatanku, leher Cameronlah yang pasti digorok olehnya.
Kutepikan mobil di pinggir jalan dekat agensi untuk melepas kacamata hispterku. Bisa gila jika aku masih memakainya disaat mobil tengah masuk ke gedung. Soalnya, ada beberapa siswa NB yang juga aktris di agensi Jeremy, mereka bisa saja melihatku dalam wujud Danies.
Jelas-jelas bahaya.
Setelah itu, mobilku berjalan dan tak lama masuk ke dalam agensi. Sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di depan pintu ruangan Jeremy. Sekilas kulihat ada siluet Cam, Bianca, dan... Aaron.
"Oke, kenapa gugup?" aku mencemooh diri sendiri, lalu menenangkan jantungku yang melompat-lompat. "Tinggal ketuk pintu, ta-da, Jeremy akan membukanya lalu kami ke studio, berlatih akting untuk syuting minggu depan."
Jadi, aku mulai mengetuk pintu dan dari balik jendela buram, mereka berempat bereaksi. Kukira Jeremy yang akan berdiri dan membuka pintu, ternyata Aaron.
Aaron memberikan senyum hangat, dia membuka pintu lebih lebar ketika tahu aku yang mengetuk. "Kemana lo? Untung baru telat setengah jam."
Aku hanya mengedikkan bahu. Mana mungkin aku bilang aku baru saja bertemu calon saudara tiri menyebalkan berjumlah lima dan ayah tiri keren? Bisa-bisa dia tidak akan mempercayaiku lagi.
Tunggu, siapa peduli jika Aaron tidak percaya padaku? Hmph! Aku 'kan, benci padanya.
Benci? Haha, setelah lo curhat ke doi, lo bilang lo benci? What a shame! Benakku mencemooh.
Aku cemberut, lalu mengerjap saat jentikan tangan Aaron menyadarkanku.
"Melamun?" tanya Aaron, senyumnya makin mengembang.
Sikap Aaron sekarang beda sekali jika dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu. Kukira dia orang arogan, tak setia, munafik, dan pokoknya yang jahat-jahat ada pada Aaron. Aku pernah tak sengaja melihatnya sedang... uhm, kau tahu, "itu-itu" dengan ketua cheers.
Mungkin sekarang dia berubah.
Jadi, aku berusaha untuk tersenyum, "yeah, sedikit. Di dalem udah pada ngapain?"
Aaron mempersilahkanku masuk ketika dia menjawab, "baru ngomongin naskah. Yuk."
Aku duduk di sebelah Aaron, melayangkan senyum meminta maaf pada Cam, Bianca dan Jeremy. Kami mulai berdiskusi tentang naskah. Mungkin menurutmu aneh jika para aktrisnya berdiskusi dengan sutradara, tapi, Jeremy adalah Jeremy. Dia ingin semua pekerjaannya sempurna.
Betul-betul sempurna.
Setelah diskusi yang panjang, kami semua pergi ke ruang studio untuk berlatih. Aku tidak akan segugup ini jika Jeremy tidak menyuruh kami untuk berakting di bagian klimaks film. Kata Jeremy, di bagian klimakslah, emosi pemainnya berpengaruh besar.
Aku membaca ulang naskahku, lalu berdoa dalam hati. Danies bisa, Danies pasti bisa.
Dan kami ke ruang studio yang sudah didekorasi menjadi ballroom dengan gaya victoria. Ruang studio di agensi Jeremy memang yang terlengkap, jadi, semuanya seperti nyata.
Jeremy duduk di kursi panasnya. Hanya ada kami berlima, tapi, jantungku rasanya melorot ke bawah saat mendapati Jeremy mengamati kami berempat.
"Jadi, di scene klimaks, kalian berempat bakal berdansa. Amber dengan Dustin. Clara dengan Billy. Lagu bakal diputer, karena ini film remaja, jadi gue milih lagu Forevernya Chris Brown yang dicoverin Kurt Hugo Schneider. Gue bakal ngamatin kalian dari sini... terutama, D."
Tiga tatapan langsung mengarah padaku, ini membuat tenggorokanku tiba-tiba tersekat. Aku menunduk, menatap high-hells yang tadi diberi Jeremy untuk pemanasan.
"Oh, ya. Aaron, lo harus nyanyi lagu Chris Brown ini. Udah apal kan? Nanti, di film, bukan suara Kurt Hugo yang keluar, tapi lo. Ngerti?" Jeremy menaikkan alis, menunggu respon Aaron.
Kukira Aaron akan menolak, dan menyiapkan beribu alasan. Tapi, dia mengangguk mantap sambil tersenyum percaya diri.
Kami berempat pun menyiapkan posisi ketika instrumen lagu Forever mengalun lembut. Lagu ini memang dibuat slow oleh Kurt Hugo, artis youtube terkenal yang sering mengcover lagu.
Aaron perlahan memeluk pinggangku. Tangan kanan kami bertaut. Dengan luwes aku menyentuh bahunya.
Jujur, kalau bukan karena film, aku pasti gugup setengah mati.
"It's you and me.
Moving at the speed of light into eternity.
Tonight is the night to join me in the middle of ecstasy." Suara Kurt Hugo terkalahkan oleh kelembutan suara Aaron. Dia benar-benar berbakat. Berdansa sambil bernyanyi benar-benar... uh, aku tak tahu harus berbuat apa.
"Feel the melody in the rhythm of the music around you, around you.
I'm gonna take you there, I'm gonna take you there.
So don't be scared.
I'm right here baby.
We can go anywhere, go anywhere.
But first it's your chance, take my hand come with me," Aaron tersenyum, sementara kami terus bergerak mengikuti irama lagu. Aku agak kikuk saat Aaron seolah biasa merangkul pinggang perempuan. Padahal jika bisa, sekarang aku ingin menjerit dan mengenyahkan tangan itu dari pinggangku.
Awkward moment.
"It's like I've waited my whole life for this one night
It's gonna be me you and the dance floor'cause we've only got one night
Double your pleasure
Double your fun and dance
Forever (ever, ever)
Forever (ever, ever)
Forever (ever, ever)
Forever girl forever
Forever (ever, ever)
Forever (ever, ever)
Forever (ever, ever)
Forever on the dance floor," seharusnya ada lanjutan lagu ini, tapi, Jeremy menghentikannya.
Kami berhenti berdansa. Aku melepas Aaron dengan cepat. Jeremy melihat reaksiku tadi, dia langsung berdiri dari kursinya dan tersenyum penuh makna.
"D, lo bener-bener gak ekspresif."
Itu sindiran tajam pertama dari Jeremy Handerson, sutradara sekaligus manajer, untuk aku dalam wujud D.
Ini hari terburukku.
*
[A/N]
Danies oh Danies...
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [6] - Teach Me About Love
Fiksi RemajaDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [6] : Danies Arta Dinata Karena Danies Arta Dinata harus belajar akting seorang gadis yang sedang jatuh cinta untuk drama p...