Ini tipikal hari Rabu yang biasanya di kantin SMA Nusa bangsa. Semua orang sibuk sendiri. Di sebelah sudut kanan, kalian bisa melihat para penggosip yang diketuai Jessica. Pada bagian tengah kantin, bergerombol anak-anak populer. Biasanya, aku menduduki tempat itu pada jam istirahat kedua bersama ketujuh sahabatku yang lain.
Tapi, karena sekarang bukan jam istirahat kedua, aku duduk di sudut kantin sambil membaca naskah dialog.
Orang yang ada di sebelahku adalah Bianca Alexandra. Cewek paling populer, baik, cantik, dan, yeah, she's perfect. Selain karena mata Bianca berwarna hijau kebiruan. Bianca juga seorang model terkenal. Semua potret dirinya ada di segala majalah remaja. Bianca juga orang yang peduli sesama. Dia sering membantu siapa saja. Semua orang menyukainya, dan para cowok sangat ingin menjadi pacar Bianca.
Meski ketika kau melihatku yang berlabel 'sahabat dekat Bianca', pasti kalian langsung mengerjap beberapa kali sambil berpikir. "Cewek ini? Sahabat Bianca? Demi apa?!"
Kesamaanku dan Bianca adalah: kami populer, cantik, banyak yang ingin menjadi pacar kami. Hanya itu. Selebihnya, Bianca yang unggul daripada aku. Karena Bianca ramah, aku jutek. Bianca ekstrovert, aku introvert. Bianca sering tersenyum, aku selalu poker face. Bianca bisa membuat hati orang menghangat, aku sebaliknya.
Meski begitu, Aku tak pernah iri pada Bianca. Serius. Selain karena aku tak peduli pada kehidupan sosial di sekolah, pusat tujuanku hanya satu: menjadi aktris berbakat tahun ini.
Karena itu lah mengapa aku sekarang diam-diam membaca naskah dialog yang diberikan Jeremy, sutradara sekaligus managerku.
Kalau kau belum tahu, aku adalah aktris. Aku sering berakting dalam layar lebar. Meski hanya menjadi pemeran pembantu, cukup banyak yang menawariku pekerjaan. Ngomong-ngomong soal tawaran pekerjaan, hari ini Jeremy berkata akan memberiku kejutan kecil terkait hal itu di kantor agensinya.
"Makanannya abisin, D," Bianca mengetuk kepalaku dengam pulpennya.
Aku mendongak sambil melayangkan pelototan kejam pada Bianca. "Sekali lagi kau memanggilku D, nyawamu taruhannya."
Tawa Bianca yang lembut mengalun, "gue beruntung bisa tau lo adalah D."
Jadi, begini. Saat awal-awal aku masuk ke dalam agensi Jeremy, aku menyamarkan namaku. Aku tidak mau terganggu oleh para penggemar nantinya saat aku sudah populer di kalangan aktris. Aku hanya ingin menjadi aktris berbakat tahun ini, bukan ingin terkenal. Itu beda soal.
Sialnya, ternyata Mama Bianca adalah designer yang mendesain baju untuk agensi Jeremy.
Waktu itu, aku sudah menghapus make-up dan memakai kacamata hispter di ruang ganti. Kacama itu yang membuatku berbeda. Aku bukan D lagi saat itu, melainkan Danies. Tepat ketika aku membuka pintu ruang ganti, wajah Bianca langsung membuat tubuhku terpaku di tempat.
Lalu kami berdua berteriak seolah ada gempa berkekuatan 12 SR sambil menunjuk satu sama lain.
Itu benar-benar pengalaman yang paling memalukan.
"Danies," Bianca menyenggol lenganku.
Lamunanku buyar. Aku melihat Bianca sambil menunjukkan wajah bingung. Bianca mengalihkan pandangannya ke satu titik. Aku mengikuti arah pandangnya sambil bertanya-tanya kenapa seisi kantin menjadi hening.
Di ujung kantin. Dengan gaya berkuasa yang kental dari segi manapun. Juga senyum culas terpahat sempurna. Dua sidekick di sebelah kanan dan kiri. Seragam lecek, ujung kemeja keluar, converse diinjak. Terlebih, yang paling membuat mataku terkena polusi adalah, satu cewek yang dirangkul olehnya.
Kau tahu dia siapa?
Yeah.
Orang yang paling kubenci, Aaron Vinear Vanegas.
*
Buat @hohoho123 yang namanya ternyata ada di cerita ini, kebetulan banget:)
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [6] - Teach Me About Love
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [6] : Danies Arta Dinata Karena Danies Arta Dinata harus belajar akting seorang gadis yang sedang jatuh cinta untuk drama p...