TMAL : (2) Aaron Vinear Vanegas

80.3K 5.3K 189
                                    

Aku melengos ketika mata Aaron denganku tak sengaja bertemu. Dari ujung mata, Aaron tersenyum misterius. Dia melepas rangkulan dari cewek di sampingnya. Dengan santai, Aaron duduk di hadapanku tanpa mempedulikan pelototan orang-orang.

"Hai, Danies. Kacamata lo ganti? Makin bagus aja," seperti biasa Aaron mulai meluncurkan jurus Sok Kenal Sok Deketnya.

Entah sejak kapan, mungkin saat aku kelas 7 hingga sekarang. Aaron tiap hari mendatangiku, kapan pun, dimana pun. Aku merasa dikuntit, dan itu benar-benar menganggu meski seluruh cewek ingin sekali ada di dalam posisiku.

"Danies, ngomong dong." Aaron mengetuk jarinya di meja, menatapku lekat-lekat. "Muka lo makin mulus aja. Pake apaan?"

Jangan hiraukan.

Jangan hiraukan.

"Kok minum jus mangga? Biasanya jus melon," jari Aaron beralih pada sedotan jus manggaku.

Jika saja bisa, aku ingin meledak sekarang. Cowok ini benar-benar membabat habis kesabaranku. Tapi, meski ingin meledak pasti Aaron malah makin gencar menggangguku.

Jadi, aku hanya diam sambil melotot pada tingkah aneh Aaron.

"Tau ga, nama lo bagusnya tuh Arta. Gimana gitu. 11 12 sama aorta. Lo tau lah aorta apaan. Istilah biologi gitu pasti lo apal. Lo kan pinter." Sekarang, Aaron duduk di meja sambil menatapku lekat-lekat.

Dasar otak dungu.

Bianca yang ada di sebelah kanan hanya menatapku iba. Terbukti, tak ada satupun dari kami yang berani melawan Aaron. Bahkan Bianca sekalipun yang terkenal tidak suka kerusuhan.

"Nanti malem, kencan yuk?" Aaron makin menjadi-jadi karena aku tak bereaksi apapun.

"Ayolah, Danies. Gue selalu mendambakan kencan paling romantis di antara kita berdua." Bujuk Aaron. Brb muntah.

"Gue bakal ngelakuin apapun yang lo suruh. Asalkan, lo mau pergi sama gue."

Tepat ketika Aaron menyelesaikan kalimatnya, aku menggebrak meja. Aaron tak tersentak sedikitpun. Senyumnya malah melebar ketika melihat kobaran api di mataku.

"Bisakah kau diam untuk sebentar saja?!" Aku mengepalkan kedua tangan dengan kekesalan kian memuncak.

Aaron malah meloncat dari meja. Dia menganga takjub. "Wow. Satu tarikan napas. Lima kata. Tiga puluh satu huruf. Satu perintah dan pertanyaan di saat yang sama. Ini rekor!!"

Semua orang mulai tertawa karena lelucon murahan Aaron.

"BACOT!"

Seketika, semua tawa berhenti ketika seseorang bersuara. Mereka langsung menengok ke satu titik. Aku mengikuti pandangan semua orang. Seulas senyum menghias bibirku saat itu juga.

Cameron, sahabat sekaligus rekan kerjaku di dunia aktris, sekarang masuk ke bagian dalam kantin. Dia melirik Aaron tajam sesaat, lalu beralih padaku.

"Kita keluar." Kata Cam, menarik tanganku tanpa peduli menjadi perhatian orang banyak. Aku pun sebenarnya tak peduli. Sudah terbiasa.

"Gue bakal lakuin apapun buat lo, Danies. APAPUN!" teriakan itu yang terakhir aku dengar dari Aaron, sebelum Cam menarikku jauh dari kantin.

Saat aku dan Cam sampai di perpustakaan, ia melepas gandengan tangan kami. Cam tampak menghembuskan nafas sebelum berbalik menghadapku.

"Apa yang bisa ngebuat lo sabar ngadepin makhluk kayak Aaron?" tanya Cam dengan sorot mata khawatir.

Aku sedikit tersentuh karena pertanyaannya. Cam peduli padaku, seperti biasa. Disaat orang lain pasti bertanya, "lo baik-baik aja?", "kok lo diem aja digituin?", "sabar yaaa," Cam pasti bertanya di luar dugaan.

Itulah mengapa hanya Cam yang bertahan menjadi sahabat dekatku. Yang lain, memang sahabat. Tapi, tak ada yang tahu berapa ukuran pakaian dalamku selain Cam. Oke, itu menjijikan. Cam tahu karena dia yang merapikan koper ketika aku sedang diopname.

"Aku sabar karena, kau tahu? Tidak ada gunanya melawan Aaron. Hanya menghabiskan tenaga," aku menghembuskan nafas lalu menyusuri deretan rak perpustakaan.

Cam berada di samping. Buku novel yang tampak menarik di mata menghentikan langkahku. Dengan sigap Cam mengambil buku yang sulit kugapai. Aku tersenyum padanya seraya mengambil buku tersebut.

"Terima kasih," kataku, dibalas anggukan Cam.

"Ini udah lima tahun, Danies. Lo gak ada perlawanan sama sekali?" tanya Cam, penuh perhatian.

Aku membaca novel sebentar, lalu menoleh pada mata biru Cam sambil tersenyum. "Sudah kubilang, tidak ada gunanya. Kau sendiri? Masih tidak ingin mengaku pada Bianca? Aku masih menjadi Biancameron shipper."

Wajah Cam memerah. Dia menggaruk tengkuknya sesaat sebelum nyengir padaku. "Lo tau kan, Bianca gak mungkin suka gue. Dia suka Jeremy."

Aku memutar bola mata. Selalu begitu. Selalu bertingkah semua baik-baik saja padahal tidak. Aku benci ketika Cam mulai berpura-pura.

Karena pada dasarnya, tidak ada kebohongan secuil apapun yang bisa disembunyikan oleh sahabat.

"Kau hanya tahu Bianca menyukai Jeremy dari mulut orang-orang. Kau tidak mengenal Bianca, Cam. Kau tidak mau mengenal dirinya lebih jauh. Kau hanya tahu, Bianca itu cantik, populer, baik dan, yeah, perfect. Jika saja ada kemauan, kau bisa mendekatinya secara teratur. Bukan menguntit Bianca diam-diam." Kataku panjang lebar.

Cam lagi-lagi tersenyum, sorot matanya seolah meresapi kata-kataku. Kupikir dia akan mengucapkan kalimat yang panjang. Ternyata Cam hanya menepuk puncak kepalaku pelan, "lo bener. Gue harusnya mengenal dia, bukannya menilai."

"Tuh kan," aku nyengir sambil menaruh buku di tangan ke tempatnya lagi, "kamu pasti bisa mendapat perhatian Bianca. Hidup Biancameron!"

"Lo ngomong kayak tadi seolah lo orang yang paling ngerti cinta. Padahal kenyataannya enggak," kemudian Cam tertawa kecil pada perkataannya sendiri, sialan memang.

Tapi ini salah satu keuntungan memiliki sahabat cowok. Less drama. Cam selalu mengutarakan suaranya, sama sepertiku. Tidak ada acara gossiping each other, atau menyindir lewat twitter.

"Aku memang tidak pernah suka pada cowok. Namun, bukan berarti aku tidak mengerti tanda-tanda jatuh cinta," memutar bola mata, aku menyandarkan punggung di dinding. Cam ikut bersandar. Kami sekarang hanya melihat deretan buku-buku fiksi remaja. "Saat kau melihatnya, kupu-kupu berterbangan di perutmu. Matamu tak bisa lepas dari semua gerakannya. Kau marah jika ada seseorang yang dekat dengannya, lebih daripada kamu. Tiap hari kau tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski menolak ratusan kali, hatimu terlanjur jatuh.

Tepat di saat kau belum sadar telah jatuh, dia bersama yang lain."

Cam menghela nafas di sebelahku. Dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. "Kenapa lo tau semua itu?"

"Novel. Wikipedia. Blog alay. Twitter," jawabku, dan kami berdua tertawa pelan.

"Lo selalu unik," Cam menepuk kepalaku lagi, ini memang kebiasannya. "tapi sayangnya, lo gak tertarik sama cowok dan cewek."

Kutinju bahu Cam dengan keras, "kau berkata seperti itu seolah aku abnormal atau apa?"

Dan kami berdua kembali tertawa. Yeah, inilah aku yang sebenarnya jika bersama Cam.

Tertawa karena random things.

*

[A/N]

terimakasih vote dan komennya kemarin, terharu banget ternyata masih ada yang mau baca PS sampe seri ke enam, ganyangka:''

A for Aaron
B for Bianca
C for Cameron
D for Danies

ABCD LOVE!!

ST [6] - Teach Me About LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang