"Semua kepindahanmu akan kami urus, jadi," Bibi Merry memandangku tajam," jangan ganggu kami, jalang."
Kata kata yang jelas padat. Aku memberikan anggukkan, kemudian membersi barang-barangku. Bibi Merry keluar kamar sambil membanting pintu. Kenapa aku di panggil jalang? Ini semua karena Berry--anak semata wayang Bibi Merry dan Paman Morg. Usiaku dan Morg sama, dan kami mulai tinggal bersama beberapa tahun lalu, tepatnya lima tahun.
Ayah dan Ibuku meninggal sebelum aku merasakan kasih sayang mereka. Ayahku meninggal karena kecelakaan, saat itu usia kandungan Ibu 8 bulan. Satu bulan kemudian, Ibu melahirkanku, dan meninggal. Sejak lahir, aku memang pembawa petaka. Aku selalu berpindah-pindah dari satu kerabat, ke kerabat yang lain. Di usiaku 12 tahun, aku pindah ke rumah Bibi Merry. Sejak awal, keluarga Paman Morg memperlakukanku tidak baik. Bibi Merry suka menyiksaku, Paman Morg sering memukuliku ketika mabuk, dan anak bodoh mereka, Berry yang selalu melecehkanku.
Beberapa hari yang lalu, Berry memberikanku segelas jus jeruk. Tentu saja, awalnya aku curiga, karena tidak biasanya dia berbuat baik kepadaku. Aku menyuruh Berry untuk membawakan beberapa camilan, dan dia patuh. Tentu saja ini aneh, saat dia pergi, aku sengaja menukar minuman itu . Dan benar dugaanku, minuman itu tidak beres. Beberapa menit kemudian, Berry melepas semua pakainnya di hadapanku. Ternyata Berry memasukkan obat perangsan kedalam minumanku.
Berry menyerangku. Keadaan rumah yang kosong, tidak ada yang bis membantuku. Saat Berry perlahan-lahan membuka kancing celanaku, aku berhasil memukul kepalanya dengam botol alkohol milik Paman Morg. Berry merintih kesakitan, dan tepat saat itu Bibi Merry datang. Kepalaku dipukul dengan pumukul basebool. Kepalaku terbentur di lantai. Yang bisa kudengar hanyalah, rintihan Bibi Merry memanggil nama Berry.
Dan sekarang aku di usir. Bibi Merry menyebar fitnah jika aku menggoda Berry. Aku hanya mencoba melindungi diriku. Apa itu salah?
Saat berjalan dari tangga, aku melihat Berry sedang duduk di sofa . Memadangku tajam, sambil menunjuk lula di kepalanya. Apa dia bodoh? Justru aku yang mendapat luka lebih banyak. Butakah matanya? Atau dirinya sudah dibutakan dengan rasa kebencian? Entahlah.
"Taxi ini akan mengantarmu. Jadi cepatlah pergi!" Teriak paman Morg. Aku mengangguk, dan memasukkan barang-barangku.
"Silahkan masuk, nona." Ujar pengemudi Taxi itu. Aku mengangguk, dan masuk.
Selama perlanan berjam-jam, aku hanya memandang keluar kaca jendela. Aku ingin menangis, tapi untuk apa? Hal apa yang perlu kutangisi? Supir Taxi melihatku sesekali, bahkan orang yang tak mengenalku mereka merasa iba.
"Ingin tisu nona?" Tanya supir Taxi itu. "Terimakasih." Aku mengambil tisu yang disodorkannya, dan mengusap air mataku. Perjalanan kali ini cukup panjang, memakan waktu berjam-jam. Hanya hutan dan hutan, membuatku bosan. Mataku mulai terasa berat, ada aroma manis yang menusuk hidungku, membuat rasa kantukku menjadi-jadi. Karena tidak kuat, akhirnya aku tertidur, jatuh dalam bunga mimpi indahku.
Kau seharusnya tidak datang.
Aku membuka mataku. Menatap jalan yang sudah sore.
"Kau sudah bangun nona? Tidurmu nyenyak sekali." Ucap supir itu kepadaku. Aku mengerjapkan mataku, dan mencoba memfokuskan padanganku dijalan. Entah hanya firasatku atau memang ada seorang pemuda yang tengah berdiri dinatara pohon-pohon pinus. Wajahnya tidak terlihat karena terkena bayangan pohon pinus. Saat aku melihat kaca spion Taxi , pemuda itu menghilang.
"Ada apa, Nona? Wajah anda gelisah," tanya supir Taxi padaku. "Entahlah, aku merasa melihat seorang pemuda di antara pohon pinus."
Supir itu tampah menimang, "mungkin itu hanya halusi anda Nona. Bukankah Anda baru bangun tidur? Anda pasti salah lihat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lunar Eclipse Saga
VampireSerena, pindah ke Alaska untuk bersama orang tua asuhnya dan menjalani kehidupan barunya dari awal. Dihari pertama kampus, Serena merasa 'tertarik' dengan Edward, teman kampus yang sama-sama baru pindah beberapa bulan lalu. Bukan cinta, namun sesua...