Prolog

99.5K 3.8K 143
                                    

Zahwa berlari mengejar mereka yang hendak pergi meninggalkannya dengan isak tangis yang semakin pecah. “Mama! Papa! Jangan tinggalin aku di sini. Aku ingin ikut kalian," jeritnya.

“Bang Zivan! Zahwa mau ikut, Abang. Jangan tinggalin Zahwa, Bang!” Zivan yang mendengar jeritan Zahwa, langsung melepaskan genggaman tangan mamanya. Lalu, ia kembali menghampiri sang adik, dan memeluknya dengan sangat erat.

“Jangan tinggalin Zahwa, Bang. Zahwa nggak mau di sini sendiri, Zahwa mau ikut.”

“Abang juga nggak mau tinggalin, Zahwa. Abang mau terus sama, Zahwa,” kata Zivan yang ikut menangis, mana bisa ia berpisah dengan adik bungsunya.

Zivan, ayo pulang!”

“Mama, kenapa Zahwa tidak diajak pulang?” tanya Zahra yang masih tak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang.

“Ada saatnya kamu tahu, Zahra. Tetapi, sekarang Zahwa harus tinggal dulu di sini," jawab Rena, yang semakin membuat dada Zahwa sesak. “Zivan, ayo!” lanjutnya.

Zivan menatap adiknya nanar, ia tak tega jika harus meninggalkan Zahwa di sana. Tetapi, ia juga tak tahu harus apa. “Maafin Abang, Zahwa. Abang harus pergi! Tapi, Abang janji. Nanti, abang akan sering ke sini buat jengukin kamu, ajakin kamu main bareng. Abang janji sama kamu.” Zahwa menggelengkan kepalanya, ia tak mau ditinggal. Kenapa mereka semua tega padanya?

Rena berjalan menghampiri Zivan, dan meraih tangannya untuk segera ikut untuk pulang.

“Maaf, Zahwa. Abang sayang sama, Zahwa.” Dan kata itu, yang terakhir Zahwa dengar sebelum akhirnya mereka benar-benar pergi meninggalkannya.

Cairan bening bernama air mata itu menetes begitu saja dari pelupuk mata seorang gadis yang kini tengah memperhatikan keluarga kecil yang tengah berkumpul dan berbahagia di taman sore hari ini. Ia tak sadar menangis setelah sepenggal cerita masa lalunya berputar di otaknya.

Cerita masa lalu yang berbanding terbalik dengan cerita satu keluarga yang saat ini ia pandangi dengan kedua matanya, di mana keluarga itu tengah asyik berbahagia, melempar canda yang menimbulkan gelak tawa yang terdengar renyah dan pecah.

Apakah ia iri?

Ya, gadis itu sangat iri dengan mereka, ia juga ingin seperti keluarga kecil itu yang bisa berkumpul, tertawa, dan bahagia bersama.

Namun, apa yang dilihatnya sekarang tak akan merubah bagaimana alur cerita hidup seorang Zahwa, gadis kecil berusia enam tahun yang sengaja ditinggalkan oleh orang tuanya, dan dipisahkan dengan saudara-saudaranya sendiri.

Zahwa ...

Gadis kecil yang sudah tak mengenal tawa, lupa kapan terakhir ia tertawa, dan lupa caranya bahagia. Gadis kecil yang menghabiskan hari-harinya dengan menangis, melamun, dan menyendiri. Seakan kesenangannya ikut pergi bersamaan dengan mereka yang meninggalkannya sendiri bersama sang Oma.

Zahwa Zivan Ayuanda. Sekarang nama itu tak lagi ia sematkan dalam hidupnya. Ia memilih memulainya dengan yang baru, kehidupan baru, nama baru, dan cara hidup yang baru.

Gadis itu meninggalkan semua tentang Zahwa. Tak ada lagi Zahwa yang ceria, periang, dan penuh kegembiraan. Semuanya telah berubah. Ia memulainya lagi dengan menjadi yang lain, melanjutkan hidup yang berbanding terbalik dengan kisah masa lalunya.

Kini ia menjadi sosok gadis tomboy yang keras kepala, gadis yang selalu menutup sebagian wajahnya dengan masker dan kacamata, gadis pemilik mata hazel di balik softlens hitam yang sering dipakainya. Selalu menatap orang dengan tajam di balik mata indahnya, gadis yang lebih suka menghabiskan waktunya dengan latihan boxing daripada berbelanja, gadis yang diam-diam suka nulis diary, gadis penyimpan kekecewaan yang besar, dan gadis penyimpan harapan yang sederhana.

Drrttt ... Drrttt ...

Gadis itu menghapus air matanya dengan kasar, saat mendengar suara dering ponselnya. Ada sebuah telepon masuk untuknya.

A calling

Tanpa menunggu waktu lama, ia pun menjawab telepon dari seseorang yang berada di seberang sana.

"Kenapa?" tanyanya to the point.

"Lo di mana?"

"Di taman, ada apa?"

"Ayo ketemu, ada yang mau gue bicarakan sama lo."

"Tentang?"

"Kita. Gue tunggu lo di tempat biasa."

Tut.tut.tut.

Gadis itu menghela napas setelah panggilan telepon diakhiri begitu saja, lalu ia kembali memandang keluarga kecil yang tak jauh dari tempatnya duduk. Dadanya malah semakin sesak ketika melihat keluarga yang berbahagia itu.

Ia pun memasang headphone dan menyambungkannya pada ponsel, lalu berdiri untuk segera pergi dari tempat itu. Bertahan di sana sama saja menyiksa hatinya sendiri.

11 tahun sudah berlalu, ia sudah berusaha mengubur kenangan masa kecil yang begitu menyakitkan untuknya. Ia sudah tak peduli lagi dengan mereka, waktu 11 tahun sudah cukup menyiksanya dengan cara mereka yang tak pernah memenuhi janji padanya.

Dengan wajah dingin dan datarnya, gadis itu terus berjalan sambil mendengarkan lagu dari headphone-nya. Tak banyak orang yang mengetahuinya, tak akan ada yang mengenali dirinya saat ini, sekalipun ia bertemu dengan teman sekelasnya. Karena sejak masuk SMA, ia selalu menutup sebagian wajahnya dengan masker dan kacamata hingga seluruh siswa tak ada yang mengetahui wajahnya.

Bruk

Tiba-tiba saja ia tak sengaja bertubrukan dengan seseorang yang berlawanan arah dengannya, membuat gadis itu mendesis karena bahunya terasa sakit.

“Eh, sorry ... gue nggak sengaja," ujar cowok itu, tapi tak digubris olehnya. Ia benci pengganggu, dan cowok yang sekarang berada di hadapannya itu telah mengganggu ketenangannya saat berjalan.

Tanpa berkata apa pun, ia berjalan meninggalkan cowok itu masih dengan wajah dingin dan datarnya.

“Cantik-cantik keturunan es papan triplek,” gumam cowok itu.

***

Garut, 2016

Tertanda

Reza Lestari

Diary Cewek Tomboy [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang