Friendship

187 15 1
                                    

Chelseany Alnaira Atmadja menatap sebuah figura yang terdapat pada meja di sebelah ranjangnya. Figura berukuran sedang itu berisi sebuah foto tiga anak kecil yang terlihat seumuran sedang tersenyum memamerkan gigi rapinya. Membuat Chelsea-sapaan akrabnya-tersenyum tipis. Masa kecilnya memang sangat bahagia. Foto itu diambil di taman belakang rumahnya sepuluh tahun yang lalu. Dua anak laki-laki bernama Iqbaal Faza Widjaja dan Karel David Utama yang selalu siap siaga setiap Chelsea membutuhkan bantuan. Tapi memiliki dua sahabat laki-laki yang selalu menjaganya dari segala bahaya dan kedua orang tua yang over protective juga selalu menuruti semua keingannya, membuat Chelsea tumbuh menjadi gadis yang egois dan kurang perhatian pada keadaan sekitar.
***
Jam masih menunjukkan pukul 06.10 ketika Chelsea berjalan menuju perpustakaan sekolah. Sengaja ia berangkat pagi-pagi sekali supaya iq tak berangkat bareng Iqbaal.
Chelsea masih kesal pada Iqbaal yang dengan bangganya memberitahu Chelsea jika ia masuk tahap dua seleksi sebuah universitas ternama di Inggris. Jelas saja Chelsea marah, Iqbaal tak pernah memberitahunya kalau ia memiliki keinginan untuk kuliah di luar negeri. Belum habis sampai di situ, Karel juga membawa kabar yang luar biasa membuat Chelsea kesal bukan main. Minggu depan, Karel dan keluarganya akan pindah ke Jerman. Padahal, seumur hidup Chelsea, Iqbaal, dan Karel belum pernah tinggal berjauhan.
"Pagi Chelsea! Pantesan gue jemput nggak ada. Rajin amat jam segini udah di perpus." Sapa Iqbaal yang entah muncul dari mana.
Chelsea yang sedang serius membaca novel harry potternya langsung melirik Iqbaal kesal. Gadis manis ini paling tak suka jika kegiatan membacanya diganggu. "Iqbaal, please. Lo nggak liat gue lagi ngapain?"
Iqbaal nyengir. "Ya liat lah, lo lagi baca. Tapi gue laper, Chels. Kantin yuk."
Chelsea menggeleng. "Males."
"Ayolah Chelsea. Gue traktir sepuas lo." Mohon Iqbaal.
"Gue nggak mau Iqbaal. Ke kantin sendiri aja kenapa sih?"
Iqbaal menarik kursi dan duduk di hadapan Chelsea dengan kedua tangan menopang dagu. "Masih marah ya sama gue?" Tanyanya sambil tersenyum.
"Nggak. Ngapain." Jawab Chelsea ketus.
"Nggak usah bohong. Gue kenal lo dari masih dalam kandungan, Chels. Gue ngerti banget kalau lo lagi bohong."
Chelsea menutup novelnya kasar. "Nggak bisa dibilang sekali ya, Baal. Gue lagi baca juga." Katanya kesal. Dengan langkah cepat Chelsea keluar dari perpustakaan setelah sebelumnya menarug kembali novel yang ia pinjam di tempat semula.
Iqbaal pun keluar daru perpustakaan dan menyamakan langkahnya dengan Chelsea.
"Nggak usah ngikutin gue, Iqbaal." Pinta Chelsea sambil terus berjalan menuju kelas.
Iqbaal mempercepat langkahnya. "Gue cuma coba-coba kok Chels, suer. Lagian kan belum tentu juga gue keterima. Jangan marah dong."
Chelsea menghentikan langkahnya. "Lo fikir gue peduli?" Tanyanya ketus.
Iqbaal tertawa kecil. "Gue tau lo peduli makanya lo marah waktu gue kasih tau kemarin."
"Nggak, gue nggak peduli! Lo berdua juga nggak peduli sama gue!" Bentak Chelsea dan langsung berlari menuju kelas.
Iqbaal mengacak-acak rambutnya. "Harusnya nggak kemarin." Batinnya.
Ia merogoh saku dan mengambil ponselnya untug menghubungi Karel yang sedang sibuk dengan kepindahannya ke Jerman.
"Rel, bahaya! Gue melakukan kesalahan besar." Sambarnya begitu Karel mengangkat telfon.
"Gimana sih, Baal maksudnya? Nggak nangkep gue."
Iqbaal memindahkan ponsel ke telinga kanannya. "Chelsea ngambek. Dia nggak mau ngomong sama gue. Lo udah nggak akan masuk sekolah lagi, Rel? Bingung nih gue harus gimana."
Iqbaal merengut, ia dapat mendengar Karel tertawa di ujung telfon.
"Tenang kali. Lima menit lagi juga sembuh ngambeknya, Baal. Kayak nggak tau Chelsea aja."
"Ini ngambeknya udah serius, Karel. Gue keceplosan bilang kalau gue lolos test tahap dua ke Oxford."
Karel batuk. "Sumpah lo? Kok lo nggak bilang sih mau kuliah ke Oxford?"
"Itu nggak penting sekarang, Rel. Nggak tahan gue dijutekin."
"Nggak akan lama, Baal. Percaya sama gue."
***
Bel berdering sangat nyaring mengakhiri pelajaran matematika dari Miss Alana. Setelah Miss Alana keluar, anak-anak langsung berhambur ke luar kelas. Tak sabar untuk cepat-cepat sampai ke rumah masing-masing. Matematika memang selalu menguras otak dan perut.
"Chels, pulang yuk." Ajak Iqbaal. Chelsea dan Iqbaal duduk bersebelahan di meja paling depan dekat pintu. Biasanya Chelsea lah orang yang akan pertama keluar kelas saat bel berdering. Tapi kali ini Chelsea hanya diam di meja sambil membenamkan wajahnya.
"Chelsea ayo pulang. Di luar mendung, nanti keburu hujan." Kata Iqbaal lagi.
Chelsea mengangguk. Memasukkan semua buku yang berserakan di meja ke dalam tas dan keluar dari kelas.
Chelsea dan Iqbaal berjalan beriringan tanpa ada percakapan diantara mereka. Padahal biasanya mereka punya jutaan hal yang dibahas saat berjalan ke parkiran. Tak jarang banyak orang mengira kalau Chelsea dan Iqbaal mempunyai hubungan yang 'lebih dari' sekedar 'sahabat'.
Iqbaal memasang helmnya. Sekarang hari Senin, Iqbaal tak pernah berani mengambil resiko telat ke sekolah jika membawa mobil. Ninja biru yang selalu menemaninya di hari Senin.
"Gimana kalau ternyata lo lolos sampai tahap akhir, Baal? Lo pasti ambil kan?" Tanya Chelsea dengan suara lirih saat Iqbaal baru beberapa meter menjalankan ninjanya.
Iqbaal melirik Chelsea dari spionnya. Chelsea bukan marah, tapi takut kehilangan. "Gue nggak yakin bakal lolos sampai tahap akhir. Lagian kalaupun lolos gue berangkatnya kan tahun depan, Chels."
Chelsea mengencangkan peganganya pada pinggang Iqbaal. Jawaban Iqbaal tadi membuat hatinya semakin sakit. "Dan gue bakal kehilangan dua sahabat terbaik gue, dua malaikat penjaga gue, dua pelindung gue. Itu maksud lo?"
Iqbaal langsung menghentikan laju motornya, memarkirkan di punggir jalan. Ia dapat merasakan ada ketakutan akan kehilangan dari kata-kata Chelsea. "Chels..."
"Karel pergi, Baal. Minggu depan. Apa menurut lo itu nggak cukup menyiksa gue sampai lo mau pergi juga dari gue?" Tanya Chelsea. Matanya mulai berkaca-kaca.
Iqbaal memeluk Chelsea, mencoba menenangkan sahabat tersayangnya.

Forever?Where stories live. Discover now