Bad Year

97 14 1
                                    

Iqbaal membelokkan ninja birunya ke sebuah cafe yang tidak terlalu ramai. Sepertinya ia memang harus bicara dari hati ke hati pada Chelsea.
"Ayo, Chels. Turun." Katanya.
Chelsea menurut dan berjalan di belakang Iqbaal.
Mereka memilih sebuah meja yang terletak di pojok cafe. Iqbaal lalu memulai pembicaraannya dengan Chelsea setelah pelayan pergi meninggalkan meja mereka.
"Sorry gue baru bilang sekarang. Sebenernya kuliah ke luar negeri mimpi gue dari dulu, Chels." Kata Iqbaal.
Chelsea menunduk. "Bukannya gue nggak suka lo kuliah ke luar negeri, Baal. Gue seneng liat lo bahagia dengan mimpi-mimpi lo."
Chelsea terdiam sejenak, menarik nafas berat. "Tapi gue nggak bisa bayangin.. How I could live my life without you and Karel?"
Iqbaal membisu, tak bisa berkata-kata saat ia menatap Chelsea yang mulai terisak di hadapannya. Fikirannya melayang ke saat-saat sebelumnya. Dimana ia dan Karel selalu berada di samping Chelsea. Menjaganya, melindunginya, menghiburnya. Pertanyaan Chelsea tadi langsung terngiang di telinga Iqbaal. Apa Iqbaal juga akan bisa melalui hari-harinya tanpa Chelsea dan Karel?
"Gue udah takut banget, Baal waktu Karel bilang dia mau ke Jerman. Makanya gue langsung ke rumah lo. Tapi ternyata lo malah menambah rasa takut gue."
Iqbaal tersadar dari lamunannya. Ditatapnya Chelsea yang tidak lagi terisak. Tatapan Chelsea kosong.
"Chels, Baal. Sorry gue lama."
Karel datang dengan kaus putih dan celana jeansnya langsung duduk di sebelah Chelsea. Iqbaal memang meninta Karel untuk datang.
"Santai." Kata Iqbaal.
Karel memegang kedua bahu Chelsea dan memutarnya agar menghadap ke arah Karel. Ia lalu mencubit pipi Chelsea yang chubby. "Jadi ini yang hampir lima hari ngambek sama Iqbaal?" Tanyanya.
Chelsea melepas cubitan Karel. "Gue nggak cuma ngambek sama Iqbaal. Tapi sama lo juga." Katanya ketus.
Karel tertawa. "Duh, judes amat neng. Biasa aja kali gue mau pergi. Segitunya banget. Takut kangen ya?"
Iqbaal menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis fikir. Karel memang tak pernah serius dalam segala hal. "Lagian ngapain sih pake pindah ke Jerman segala?" Tanyanya.
"Keluarga gue pindah ke Jerman semua, Baal. Masa gue di sini sendiri."
Chelsea mengambil green tea float yang baru diantar oleh pelayan dan meminumnya tanpa selera. "Lo berdua nggak seru."
"Lo nggak santai. Kan kita masih bisa video call, Chelsea." Kata Karel.
"Tapi rasanya beda sama face-to-face. Ya kan, Baal?" Tanya Chelsea.
Iqbaal mengangguk. "Udah ngasih taunya ngedadak banget. Nggak ngerasa berdosa apa lo?"
Karel nyengir. "Iya gue ngerasa berdosa. Gue yang traktir. Itu kan maksud lo?"
"Bagus lah kalau lo ngerti." Kata Iqbaal.
Chelsea melirik jam tangannya. "Udah setengah enam nih, Baal. Balik yuk."
"Setdah, Chels. Gue baru dateng mau lo tinggal pergi?" Tanya Karel.
"Bodo. Gue nggak peduli. Gue marah sana lo."
"Ya udah, Rel. Gue sama Chelsea balik dulu ya. Takut dia dicariin bundanya." Pamit Iqbaal.
***
"Thanks, Baal. Sorry ya udah nyuekin lo selama di sekolah. Habis gue bingung harus ngapain. Gue terlalu kaget." Kata Chelsea.
Iqbaal mengangguk. "Santai aja, gue ngerti kok."
"Masuk dulu yuk." Ajak Chelsea sambil menarik tangan Iqbaal untuk memasuki rumahnya.
Dengan sedikit berteriak, Chelsea memanggil Bundanya yang entah berada di mana. Tapi tak ada respon dari sang Bunda. "Bunda mana ya, Baal. Biasanya jam segini ada di ruang keluarga."
Iqbaal duduk di sofa ruang keluarga Chelsea. "Di kamar mandi kali."
"Iya kali ya. Gue cari Bunda dulu ya, lo tunggu bentar."
Iqbaal memejankan matanya. Setiap sudut rumah Chelsea memiliki kenangan tersendiri baginya. Rumah bergaya eropa ini bisa disebut basecamp untuknya, Chelsea, dan Karel. Bahkan ada beberapa foto mereka bertiga yang terpajang rapi di ruang keluarga. Pemilik rumah ini memang sangat senang mengabadikan berbagai momen di dalam sebuah figura foto.
Terdengar suara kaki berlari di tangga yang terletak tak jauh dari tempat Iqbaal duduk. Penasaran, Iqbaal membuka matanya.
Ada Chelsea di sana. Dengan matanya yang basah. "Iqbaal tolongin gue. Tolongin gue." Isaknya.
Tanpa dipinta lagi, Iqbaal langsung berlari menghampiri Chelsea dan merangkul tubuhnya yang lemas. Ada apa dengan Chelsea?
"Chels kenapa nangis?" Tanya Iqbaal khawatir.
Tangis Chelsea semakin menjadi. Rasanya Iqbaal ingin ikut menangis mendengar tangisnya.
Chelsea menghapus air matanya yang terus mengalir. "Tadi gue masuk ke kamar Bunda. Bunda lagi tidur di ranjangnya, tapi Bunda pucet banget Iqbaal. Dan Bunda nggak bangun pas gue bangunin. Bunda sakit. Tolongin gue." Pintanya.
Iqbaal mengangguk. "Gue ambil mobil dulu di rumah. Lo tunggu bentar ya. Jangan panik."
Chelsea menggeleng. "Kelamaan pake mobil lo, pake mobil gue." Katanya lalu memberikan kunci mobilnya pada Iqbaal.
***
Chelsea menatap ruang UGD dengan tatapan kosong. Ia terjatuh ke lantai, mulai menangis tanpa suara. Dia tak tahu harus berbuat apa. Semuanya mati rasa.
Iqbaal yang telah selesai mendengarkan penjelasqn dokter yang menangani Bunda Chelsea langsung mundur beberapa langkah. Ia dapat melihat Chelsea menangis tanpa suara. Rasanya pasti sangat sakit. Tanpa diperintah, Iqbaal langsung mendekap Chelsea. Membiarkan dekapannya menghangatkan tubuh mungil Chelsea yang dingin. Membiarkan dekapannya menenangkan sahabatnya.
Tak perlu waktu lama untuk Chelsea menangis dalam dekapan Iqbaal. Tangisan yang begitu pilu membuat Iqbaal sulit untuk menahan buliran air mata tak keluar dari matanya.
"Kenapa harus gue sih, Baal?" Tanya Chelsea di sela tangisnya. "Gue capek, Tuhan nggak adil. Tiga tahun yang lalu Tuhan ambil Ayah, terus hari ini Bunda. Terus siapa lagi yang mau ninggalin gue? Karel? Lo?"
Iqbaal diam. Tak mau berkomentar. Ia hanya mengelus rambut Chelsea lembut. Supaya Chelsea merasa lebih tenang dan tak merasa sendiri.
"Chelsea. Ini Tante Riana."
Iqbaal melirik ke sumber suara. Mommy dan Daddy nya sudah berdiri di hadapan mereka saat ini dengan wajah yang sangat khawatir.
Iqbaal memang sempat menghubungi kedua orang tuanya tadi. Iqbaal bingung harus menghubungi siapa lagi.
Mendengar suara Mommy Iqbaal, Chelsea langsung melepas dekapan Iqbaal. Ditatapnya Mommy Iqbaal sebentar, kemudian memeluknya erat. "Tante.."
Mommy Iqbaal menangis sambil memeluk Chelsea.
"Udah telfon Anatasya, Baal?" Tanya Daddy Iqbaal.
Iqbaal menggeleng. "Iqbaal nggak punya kontaknya, Dad."
"Biar Daddy yang telfon."
***
Ponsel yang Iqbaal tarug di saku celananya bergetar sejak tadi. Telfon dari Karel.
"Lo sama Chelsea di mana sih? Gue bentar lagi take off nih."
"Sorry, Rel. Gue sama Chelsea nggak bisa ke airport. Bundanya Chelsea meninggal kemarin sore."
"Sumpah, Baal?! Kok bisa? Terus sekarang Chelsea gimana?" Tanya Karel
Iqbaal dapat mendengar nada kaget dan khawatir dari kata-kata Karel.
"Sama Mommy gue. Dari semalem nggak berhenti nangis. Sekarang lagi nunggu Mbak Anat, makanya Bundanya belum dikubur." Jelas Iqbaal.
"Terus Mbak Anatnya udah di mana?"
"Informasi terakhir sih tadi baru keluar airport."
"Bilangin ke Chelsea sama Mbak Anat maaf banget gue nggak bisa dateng. Pesawat gue bentar lagi take off. Gue ngerasa nggak berguna banget jadi sahabat, Baal." Sesal Karel.
"Udahlah, Rel. Jangan nyalahin diri sendiri. Kan Chelsea ada gue. Lo tenang aja. Semoga flight lo lancar. Kalau udh sampai kabarin gue ya."

Forever?Where stories live. Discover now