(Arga POV)
Aku berjalan disebuah tempat yang sangat gelap dan dingin tanpa alat penerangan. Entah tempat apa ini aku tak tahu. Yang jelas untuk saat ini aku ingin keluar dari tempat gelap ini, aku sangat takut. Bagaimana jika tempat ini berhantu? Atau bagaimana jika tempat ini adalah gerbang antara dua dimensi. Oh tidak, aku tak mau mengalami astral projection.
"Argaa..." Suara siapa itu? Aku samar-samar mendengar suara seorang perempuan. Atau jangan-jangan benar kalau tempat ini berhantu. Siapapun tolong aku, aku sangat takut. Haha, aku seperti anak kecil yang ketakutan jika ditinggal ibunya. Tapi aku tak peduli, aku harus keluar dari tempat gelap ini secepatnya.
"Argaa...Aku disini." Suara itu lagi. Kali ini terdengar sangat jelas, dan sepertinya aku mengenali suara itu. Ya benar, aku memang mengenalinya, itu suara yang sangat kurindukan selama 3 tahun terakhir, suara Nindy. Lalu aku melihat seorang gadis berambut hitam panjang dengan baju putih berjalan mendekat kearahku.
Semakin dekat, semakin dekat. Aku memejamkan mata, aku sangat takut. Aku merasakan dia memelukku. "Arga...ini aku, jangan takut." Aku membuka mata secara perlahan, lalu menatap matanya. Mata hitam itu, mata yang selama ini telah menggantikan mataku yang pernah buta, mata Nindy. Jika benar ini mimpi, aku berharap mimpi ini tak akan berakhir.
"Arga, jangan pernah berharap pada sesuatu yang tidak akan pernah terjadi, jangan selalu melihat kebawah, atau kamu akan jatuh. Jangan selalu melihat kebelakang atau kamu akan selalu dibelakang. Arga, jangan pernah takut untuk melihat kedepan, karena apa yang didepanmu itu jauh lebih indah daripada apa yang ada dibelakangmu." Aku hanya diam meresapi kata-kata yang keluar dari bibir Nindy, meskipun aku tak tahu benar apa maksud dari kata-kata yang diucapkannya.
"Arga, kamu tahu. Kenapa akhir-akhir ini aku selalu datang dimimpimu?" Tanyanya lembut, aku hanya diam dan menggelang pelan.
Nindy semakin mengeratkan pelukannya. "Karena aku ingin menasehati kamu, ini adalah terakhir kalinya aku datang kemimpimu. Aku harus pergi, dan ingat kata-kataku tadi." Katanya lembut seraya melepaskan pelukannya secara perlahan lalu melayang keudara.
Seiring dengan perginya Nindy, tempat ini dipenuhi cahaya yang berasal dari sebuah lampu gantung besar. Aku melihat sekelilingku, ternyata tempat ini adalah sebuah rumah besar yang sangat nyaman, tidak ada suasana dingin dan mencekam disini.
Aku melihat seorang gadis seumuranku berdiri disisi kolam renang sambil tersenyum, aku berjalan mendekatinya namun entah kenapa tubuhku malah ditelan cahaya putih.
***
Aku bangun secara tiba-tiba. Hanya mimpi, batinku. Tapi apa maksud dari mimpi itu tadi? apa maksud dari ucapan Nindy, tempat yang sangat dingin mencekam berubah dalam sekejap karena ada cahaya, dan senyum seorang gadis dimimpi itu? Ah, entahlah. Itu hanya mimpi.
Aku duduk sejenak diatas kasur lalu mengambil sebuah foto seorang gadis dan memeluknya. Aku tersenyum melihat foto itu. Rasanya waktu berjalan sangat cepat, tak terasa ini adalah tahun ke-2ku tanpa dia. Aku menangis sambil memeluk foto itu.
Semua ini salahku!!! Batinku berteriak menyalahkan. Ya, benar semua ini memang salahku. Jika saja saat itu aku tidak terlalu cemburu padanya, pasti aku bisa berkonsentrasi menghindari mobil box sialan itu tanpa menabrak pohon.
Tok tok tok
Terdengar suara ketukan pintu yang berasal dari balik pintu kamarku, aku tahu siapa si pengetuk pintu ini. Chandra, sepupuku yang sudah kuanggap sebagai adik kembar. Kenapa kusebut adik kembar? Karena usiaku dengan usianya hanya terpaut 5 hari.
"Masuk." Teriakku dari dalam kamar.
'Si pengetuk pintu' ini pun masuk dan menyalakan TV kamarku. "Latihan band diundur lusa pulang sekolah." Katanya memberihathuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Player Heart [Slow Update]
Teen FictionSeharusnya aku mempercayai karma. Seharusnya aku mendengarkan pesan Nindy yang disampaikannya lewat mimpi itu. Seharusnya aku membuka mataku untuk melihat masa masa indah yang telah kita lewati. Seharusnya aku tak boleh mempermainkannya setelah aku...