PENGAKUAN

529 57 0
                                    

"Ada sesosok pria yang terlihat sempurna, namun tidak ada rasa bahagia di hatinya"

---..---

-Samsung Medical Center-

Sehun

"Kamu harus mulai perawatanmu. Tidak mengulur waktu lagi. Walau aku tahu kamu pasti ingin menyerah dengan peluang penyakitmu. Ayolah Sehun, mari kita coba. Aku akan mengusahakannya semaksimal mungkin. Bukan karena aku dokter, tapi sebagai saudara sepupumu"

Ku lihat matanya berkaca. Raut wajahnya malah membuat aku menjadi makin takut.

Aku hanya melihat tangan kananku bergetar sesekali dan tangan sebelah kiriku terasa kaku. Efek dari penyakit ini, penyakit yang sama merenggut nyawa mamaku.

Aku sudah tidak bisa berlari, memakai alas kaki saja terkadang sulit sekali-untuk mengkoordinasi gerak tubuhku yang tak dapat dikomandani. Pandangan dan pendengaranku terkadang tak jelas dan keluhan-keluhan lainnya yang menyakitkan.

Mengingat itu semua, makin ingin menyerah dan benci akan diriku. Aku lelah dengan jarum-jarum itu, sakit yang tertahankan dan harapan kosong. Aku tak butuh dikasihani akan nasib malangku ini. Aku hanya....

"Aku bukan kasihan terhadapmu, Hun. Kau adalah keluargaku juga. Dan....aku percaya kau dapat sembuh" Ia seperti dapat membaca pikiranku.

"Aku hanya sedang berhitung"

"Aku bukan Tuhan, Sehun. Selalu ada kemungkinan. Yang kau butuhkan hanyalah percaya..."

Ia tarik ujung kemeja biru muda ini. Kemudian tiba – tiba mendekapku erat.

"Menangislah! Kenapa kau bisa setegar ini, melalui ini sendirian. Beritahulah Papamu. Sudah sejauh ini Sehun. Aku mohon. Aku sangat – sangat mohon padamu. Biar dia tahu, biar dia menjadi alasanmu untuk mencoba sembuh"

Entah mengapa dadaku terasa panas. Membuatku bergetar. Sekuat mungkin aku menahan air yang akan meluap dari mataku. Tapi aku tak bisa, tenggorokanku makin tercekat. Sakit terasa di lubang hidungku. Tapi aku tahu bukan karena penyakit itu. Akhirnya aku relakan perasaan ini dan menyisakan erangan lirih. Yang ku tahu aku akan menangis.

"Hiks...hiks...kenapa dengan aku? Apa Tuhan menghukumku" kataku pelan diantara tangisan.

Selama tiga tahun berjuang sendiri. Baru kali ini aku menangis. Aku menangis di depan dokter pribadiku yang sekaligus kakak sepupuku. Ia mengelus punggunggu. Mendekapku, menguatkanku.

---..---

Ku tinggalkan ruangan dokter Kim atau kakak sepupuku yang sering aku panggil kak Suho. Dia adalah salah satu dokter muda berpengalaman di rumah sakit ini.

Aku pandangi pasien dengan penyakit serupa denganku di kursi tunggu. Wajah – wajah mereka, wajah sendu dan putus asa. Wajah – wajah yang akan menjadi kenangan di bumi. Ya, sebentar lagi.

Aku telusuri lorong rumah sakit yang bergaya jet set ini dengan pasrah. Ku tundukan kepalaku, ku lihat dengan jelas caraku berjalan yang mulai tak seimbang. Sepatu merah ini, sepatu yang aku beli di salah satu outlet Gangnam bersama So Hyun. Tiba – tiba aku seperti mendengar suaranya. Pastinya, karena aku rindu sekali padanya. Tapi bagaimana caraku bertemu dengannya lagi. Kau sudah milik Kak Bo Gum. Aku tersenyum miris.

Tak terasa aku telah berada di pintu depan rumah sakit. Manajerku sepertinya belum selesai melakukan meeting terakhir. Dimana, aku mulai membatalkan kontrak yang tak mungkin aku penuhi dengan waktuku ini. Maka, ku putuskan untuk mencari udara segar terlebih dahulu. Ku kenakan lagi topi dan maskerku agar tak dikenali.

Aku susuri jalan setapak di taman ini. Daun – daun di musim semi mulai menggugurkan diri. Waktunya habis. Iya waktu daun itu habis untuk mendampingi si ranting. Dengarkanlah, suara ranting itu seperti terkoyak tak rela karena tergesek angin. Waktunya habis seperti diriku.

Di taman, mengingatkanku pada taman Koizora. Aku bisa lihat berbagai bentuk kehidupan. Seorang anak kecil yang sibuk minta disuapi ibunya dan ibunya malah sibuk membenahi bekal piknik keluarga mereka. Seorang ayah yang bermain sepak bola dengan anak laki-lakinya. Pasangan pelajar sedang asyik bermanja menyebarkan cinta. Kakek dan nenek sedang duduk bersama menikmati suara burung di pohon mereka tempat duduk. Aku iri dengan mereka. Aku hanya berdoa, mereka tidak memiliki takdir sepertiku.

Di ujung persimpangan jalan aku berhenti. Aku pandang lama papan iklan besar yang terpampang di hadapanku. Ada sesosok pria yang terlihat sempurna, namun tidak ada rasa bahagia di hatinya. Dia merindukan masakan mamanya. Merindukan bermain sepak bola dengan papanya. Dia merindukan cinta pertama yang tak pernah ia katakan pada siapapun.

Pemuda itu adalah aku.

Rasanya aku ingin berteriak marah kepada Tuhan. Sesak sekali dadaku. Bergetar napasku. Tercekat tenggorokanku, tak ada satu patah kata pun dapat keluar dari mulutku.

Aku benci kaki yang tak dapat lagi berlari ini. Aku pukul dengan satu kali hentakan, membuatku ingin berlari. Dan akupun berlari.

"Terima kasih, Tuhan. Dapat membuatku berlari kembali" batinku.

Aku berlari sambil menangis. Tak peduli dengan mereka yang menghalangi jalanku. Aku hanya ingin terus berlari. Terus berlari.... memastikan kakiku ini baik – baik saja. Sampai aku tersadar. Aku hampir menerobos lalu lintas. Namun ada tangan yang menarikku, sentuhan tangan yang aku kenal. Hampir saja, aku tertabrak mobil.

"So Hyun...." lirihku pelan diantara nafas tersengal karena kelelahan.

Seketika itu pula, dia menarik masker di wajahku. Dapat kulihat dengan jelas ada butiran air di ujung mata cantiknya. Aku diam menatap wajah yang aku rindukan selama ini. Wajah marah ini, aku sulit sekali untuk mengartikannya.

"Itu kan Sehun!" segerombolan siswi pelajar menyadari kehadiranku.

Naasnya, ini jam pelajar pulang sekolah. Mereka langsung saja histeris berteriak mendekatiku.

---..---

Taman Rumah Sakit

So Hyun hanya duduk memandangku marah dengan tatapan tajam. Air mukanya sedari tadi tak berubah. Aku hanya sesekali melihatnya dan kemudian menunduk kembali.

"Aku ingin sekali menamparmu"

Katanya tiba-tiba membuatku pilu. Ia tak bergerak sedikitpun. Namun dapat aku rasakan bibirnya bergetar menahan tangis. Aku tambah pilu.

Ku genggam tangan cantiknya itu. Berharap dia lebih tenang. Berharap wajah sedihnya yang aku benci ini menghilang. Aku memandang sepatu putih elegan itu senada dengan baju perawatnya. Walaupun sepatu yang ia pakai sudah nampak usang, tapi ia tetap menggunakannya. Dan aku pun tersadar.....itu sepatu yang aku berikan padanya. Kenapa ia tetap setia menggunakannya.

"So Hyun, benarkah kau sangat merindukanku....Kau.... sangat mencintaiku" lirihku hati – hati, takut-takut yang aku kira salah.

Tak ada satu katapun yang terucap dari bibir manisnya. Ia mendekapku dan mengangguk pelan bersama tangis. Tangisnya berluber-luber membasahi pucuk punggungku.

"Aku juga So Hyun. Kamu adalah cinta pertamaku"

Tubuhku bergetar. Tangisnya makin pecah mengguncang.

---..---

NEVER LET ME GOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang